Monday, November 23, 2009

And the Result Is............

one woman down....

Apa ini? Ada apa ini? Tragedi berawal dari sebuah perkara yang biasa-biasa saja yang kemudian menjadi luar biasa. Gara-gara sebuah balon bentuk pedang berwarna "umu" (read: ungu) milik keponakan saya hasil dari muka polosnya di depan badut pembuat balon. Mari kita flash back pada November 22, 2009.

"Krieeeet...Krrrriiiieeeettttt.." Suara ini ditimbulkan dari aksi manis si bocah bernama Janice, umur 4 tahun, hobi nyanyi sambil cekakakan. Tangannya yang imut itu sibuk "mengelus-elus" si balon pemberian badut, bintang tamu sebuah acara di mal daerah Pluit. Sambil jalan menuju parkiran di depan gedung, Janice masih saja sibuk membunyi2kan balonnya dengan cara yang "asik" itu.

Kami pergi berlima, anggotanya adalah sebagai berikut. Kakak saya yang tertua, sekaligus ibu dari sang bocah, Novitaria a.k.a Ce Nov. Berada di barisan paling depan, kaka saya kedua yang bernama Leni. Berada dalam gandengan ci Ce Nov, tak lain dan tak bukan, si kecil Janice. Sedangkan saya sendiri, berasama Ko Robeth mengikuti dari belakang sambil menenteng barang belanjaan.

Tidak lama kemudian...

"Mamiiiiiiiiiii!!!!!" Teriakan si Janice, diikuti sebuah sceen yang "antik" kemudian terjadi.

Balon pembawa bencana itu terbang ditiup angin kencang. Adegan yang terjadi berikut ini, saya ceritakan dari sudut pandang orang yang sudah berhasil menyeberang jalan. Mudah-mudahan bisa menggambarkan dengan tepat dan benar kejadian kemarin itu.

Leni, si tante baik hati sedang berlari di barisan paling depan, mengejar si balon ajaib. Gerakannya terlihat seperti orang yang sedang mengejar ayam. Posisi kedua diduduki oleh keponakan kecil saya, Janice yang ikut berlari mengejar si tante pengejar balon. GErakannya terlihat seperti ayam yang dikejar orang. Tepat di belakangnya, si ibu Novi sedang mengejar ayam, maksud saya Janice, sambil teriak-teriak memanggil namanya. Sedangkan sisa kontestan yang berada di bagian terakhir adalah saya yang cuma bisa melongo dan Ko beth yang juga cuma terdiam. Kira-kira kejadian ini berlangsung sekitar lima detik dalam kecemasan.

Tiba-tiba....

"Cekiiiiiiit..... GUBRAK!!!!" Seorang peserta lomba tangkap balon terbang mendaratkan pantat dengan mesra dan dengan sakses (baca: success). Meringis, entah karena malu atau beneran sakit, si ibu cuma bisa terduduk lemas di atas aspal yang saya yakin 100%, sangat keras sekali!

Kami buru-buru menghampiri korban kecelakaan kecil dengan muka pasrah tak berdaya itu, lalu membantunya berdiri. iring-iringan satpam berseragam biru juga datang untuk CUMA menanyakan "Gak apa-apa bu?" Udah jelas ini ada apa-apa PAAAAK..... Gimana sih? Tapi salah seorang dari mereka akhirnya berhasil menggenggam balon-ungu-sialan-pembawa-bencana sambil cengar-cengir. DAPET BALOONNYAAAAAA.... HORAAAY!!! (Dooh!) Saya tau ini tidak setimpal dengan pengorbanan seumur hidup si ibu yang khawatir dengan keselamatan anaknya yg riang gembira lari-larian di tengah jalan. Owalaaaah....

Kalau direkam, bencana ini mungkin bisa menjadi salah satu pelajaran bagi kita semua.
1. Jangan main balon di tengah jalan, terutama dalam keadaan angin berhembus kencang
2. Jangan mengejar balon kalo si balon terbang, karena jerih payah anda akan sia2, dan si balon bisa dengan sigap ditangkap oleh orang yang ada di depan, bukan Anda yang mengejar dari belakang
3. Jangan lari sambil terjatuh. Anda boleh berlari sambil menari, sambil minum, sambil ngupil, sambil apapun, asal JANGAn sambil terjatuh!

Ingat! Setelah anda terjatuh, perhatikan kanan-kiri Anda. Pasang tampang se-kasihan mungkin, supaya orang-orang sekitar tidak menertawakan. Kejadian tertawa-menertawakan boleh dikerjakan setelah berada di dalam mobil saja. Pasang tampang sejelek mungkin juga diperbolehkan, supaya orang-orang sekitar tidak bisa lagi mengenali Anda ketika anda mampir ke mal yang sama.

Begitu sajalah akhir dari cerita saya kemarin. Terima kasih untuk orang-orang yang telah terlibat dalam pembuatan cerita ini. Terima kasih sebanyak-banyaknya saya sampaikan kepada pemeran utama, tanpa sutradara...ibu Novitaria. Semoga cepat sembuh! Amin...

FYI: si balon yang sudah diselamatkan dari angin kencang, alhasil meledak juga dengan cantiknya di dalam mobil ketika perjalanan pulang. Capeee deee...hehehehehehe.....

Saturday, November 21, 2009

Aneka Obrolan Taxi

Bila kita berada di kota besar layaknya jakarta atau Anda adalah seorang yang sangat dan diwajibkan mobile ke mana-mana tanpa sebuah kendaraan, satu-satunya pengharapan adalah taxi. Taxi ini begitu saya sanjung ketika musim hujan seperti sekarang, karena tentu saja keberadaan taxi kosong sangat sulit didapat. Ketika capek meloncat dari satu meeting ke meeting lain, karena selama perjalanan menggunakan taxi kita bebas tidur. Atau saat sedang melayani banyak telepon dari para klien yang ribet dengan permintaan itu dan ini, taxi jugalah yang memberi tempat nyaman untuk komunikasi telepon seluler.

Dalam sebulan ini, tidak terhitung jumlah taxi yang sudah saya tumpangi. Mulai dari taxi dengan logo si burung biru, burung perak, atau burung-burung yang lain. DAri keragaman jenis taxi yang saya naiki, makin beragam pulalah cerita yang bisa saya dapat selama menikmati jadi penumpang. Berhubung termasuk orang yang tidak bisa diam, saya sering membuka pembicaraan dengan sang sopir. Ada-ada saja topiknya. Biasanya sih, kalimat pembukanya adalah, "kok jalanan macet terus ya pak?". Betul-betul pertanyaan yang sangat-amat-tidak-penting, karena basa-basi ini bukan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Semua orang juga tahu, Jakarta bukan sebuah kota yang jalannya ramah. Sama seperti saya nanya kepada rumput yang bergoyang, "kenapa langit warnanya biru ya?"

Tapi anehnya, pertanyaan saya itu bisa menimbulkan reaksi macam-macam. Keluhan saya ini padahal cuma sebuah pancingan supaya saya bisa ngobrol lebih lama dengan si pengemudi. Ada saja yang bilang, "Wah kalo gak macet, bukan Jakarta namanya Neng!" Ada juga yang menjawab, "Kalau tidak mau macet, lebih baik kita bikin jalan raya sendiri saja neng." Sampai ada juga yang bikin emosi jiwa, kalau pertanyaan saya malah dijawab dengan nada sengit, "Terus mau bagaimana lagi neng?"

Owalaaaah... Susah juga ya. Saya benci sekali kalau ditanya, "mau lewat mana". Jelas-jelas pada waktu ditanya, saya itu cuma diberi pertanyaan, tujuannya ke mana atau mau diantar ke mana. Begitu. kalau ada pertanyaan lanjutan begini, biasanya saya jawab saja, "sesuka bapak deh, ang penting gak macet". Tapi pernah juga, salah satu sopir taxi yang saya tumpangi malah balas menjawab, "kalau mau lewat jalan yang tidak macet neng, kita lewat jalan sabar saja". Si bapak menjawab itu tanpa ragu, bikin saya yang di belakang jadi mesem-mesem sendiri, tertohok dengan kata-katanya.

Lalu pernah juga, seorang sopir taxi tidak saya ladeni karena terlalu bawel. Di tengah perjalanan, dia malah menawarkan nomor simp**i cantik. Saya bilang saja, tidak punya hape pak, biasanya pake radio panggil. Eh, dia malah ketawa dan meneruskan jualannya dengan nomer seri provider CDMA. Begitu saya bilang, "saya itu udah cantik pak, jadi gak perlu nomer yang cantik lagi. Nanti takut kelewatan cantiknya", baru dia mingkem. Perlu dikasih pelajaran juga nih sopir, sampai saya mencatat nama dan nomer seri taxinya supaya nanti saya buat pengaduan.

Kemarin siang, waktu saya naik taxi sendiri dari arah bandara ke BEJ, saya juga ngobrol yang panjang dan lama dengan si sopir. Kita ketawa-ketawa dengan berbagai lelucon tentang bajaj dan kopaja sampai bergosip tentang menangnya si empunya taxi Gam*a terhadap tuntutannya ke Blu*Bi*d. Berlanjut ke kasus KPK vs Polri. Berlanjut lagi ke kasus pembunuhan di Tj.Duren. Berlanjut lagi ke curhat colongan si bapak yang keluar dari salah satu bank dan menjadi sopir taxi, gara2 perusahaan outsourcing. Di topik yang satu ini, saya cuma diam. Ketar-ketir juga. Jangan-jangan saya diturunkan di jalan, kalau saya sempat membela perusahaan2 outsourcing itu...hehehe...

Pernah, dalam perjalanan saya ke daerah kemang, saya ngobrol panjang lebar dalam taxi. Si bapak sopir menasehati saya dengan bijaknya. Kata dia, "Orang baik itu ada tiga macam. Yang pertama, memang dia berhati baik. Yang kedua karena dia ingin dianggap sebagai orang baik. Dan yang ketiga, hanya karena merasa kasihan." Saya cuma bisa mengangguk-angguk dan mengiyakan perkataannya ditambah dengan nasihat panjang lebar selama 15 menit berikutnya. Tapi saya senang, karena si Bapak memberikan saya banyak pelajaran juga. Makasih ya Paaaak...

Tapi ada satu pengalaman tak terlupakan dengan sebuah taxi. Saya lupa namanya pengemudinya. Yang pasti, pria, usia sekitar 40 tahun, tinggi tidak diketahui karena saya tidak pernah melihat si bapak dalam posisi berdiri, rambut hitam, muka seperti orang kebanyakan jadi susah dihapal. Begini ceritanya.

Malam itu, saya pulang dari kerja di daerah senayan menuju kost di daerah Benhil. Saya cuma sendirian. Di depan Mal tempat saya mengantri taxi, ada banyak orang yang juga ingin menggunakan jasanya. Saya mungkin salah satu dari 10 orang yang mengantri dan jumlahnya terus bertambah. Akhirnya saya dapat juga, dan menyandarkan pantat saya yang besar ini di jok belakang kursi penumpang.

"Malam bu," sapa si bapak.
"Malam Pak. Saya mau ke Benhil ya Pak," saya menjawab tak kalah sopan.
"Baik bu"

Tak lama kemudian, seperti biasa saya jugalah yang tak tahan berlama-lama dalam kebisuan. "Habis mengantar saya kke Benhil, bisa pulang lagi dong pak ke senayan? Tadi banyak banget yang ngantri mau naik taxi. Dari Benhil kan deket ya pak? Bisa dapet satu orang lagi tuh." Dengan semangat berapi-api saya mengajukan usul yang sebenernya kurang penting.

"Oh, nggak neng. Saya mah mau pulang sehabis mengantar Neng ke Benhil."
"Lho, kan masih pagi pak? Baru jam 11 kurang," kata saya lagi.
"Saya mau pulang saja neng, kebetulan sudah dapat setorannya," katanya pelan.
"Wah, baguslah kalau begitu pak. Pasti rame ya hari ini?" saya menyahut dengan senyum centil.
"Ya, syukur alhamdulillah neng. Cukup."

Si Bapak mengingatkan saya untuk bersyukur pada malam itu. Saya kadang terlalu mengejar ini dan itu, sampai lupa untuk merasakan nikmat dan kecukupan yang diberi oleh Tuhan begitu luar biasa. tapi itu belum selesai. pada saat sampai di depan pintu kost, argo menunjukkan angka 16.500 rupiah. Saya cuma punya uang 50rban. Akhirnya saya mintalah kembalian 30rb. Tapi si bapak malah mengeluarkan uang 35rb dan menyodorkan kepada saya. Karena ingat mau membeli gorengan untuk sarapan besok pagi, maka saya cuma mau mengambil 30rb saja dan menanyakan apakah si bapak punya uang seribu rupiah selembar. Kan lumayan, kalau ada. Ternyata si bapak menolak, dan memaksa saya untuk menerima kembalian yang dia siapkan. katanya, "Neng, ini uangnya neng. Kalau saya cuma kembaliin 30rb, terlalu banyak. Saya gak mau neng. Ini saja kembaliannya, pas kok."

Yang terjadi selama dua menit berikutnya adalah adegan sodor-menyodorkan uang 35ribu itu. Pada akhirnya saya lah yang mengalah karena si bapak terlihat kekeuh sekali dengan kata-katanya malam itu. Saya cuma bisa menyampaikan salam perpisahan, "terima kasih banyak, Pak. Mudah-mudahan selamat sampai rumah ya, Pak." dan kalimat saya itu dibalas dengan senyum berikut ucapan terima kasih yang terlihat tulus sekali.

Dari semua tipe pekerjaan yang saya kenal dekat saat ini, mulai dari creative agency sampai sopir taxi, saya melihat bahwa orang-orang sabar itu kebanyakan yang berprofesi sebagai sopir taxi, apalagi yang ada di Jakarta. Sudah setiap hari harus menghadapi macetnya ibu kota, sampai meladeni penumpang yang cerewet seperti saya. Bagi para sopir taxi, maafkanlah kesalahan-kesalahan saya. Mudah-mudahan saya terus berjodoh dengan taxi-taxi yang baik hati. Amin.

Tuesday, November 3, 2009

pengen marah

gak bisa dikendalikan. meledak-ledak dalam secangkir kopi,kepulan asap rokok di ruangan ini dan makan siang yang tidak enak hari ini. Tuhan, saya tidak bisa mengendalikan emosi yang tumpah ruah. Kalau saja ada sedikit waktu dan pengertian dari orang-orang yang bersangkutan... Oh, tidak! Saya tidak mau menyerah hanya karena orang lain yang tidak bisa diajak kerja sama. Saya harus bisa. Yes, I can!!!!

Sebuah Perpisahan

Berikut ini adalah bukan karya asli diriku. Sebenernya ini adalah hasil tulisan temen, sahabatku yg jauh...walopun deket sebenernya... Katanya sih ini buat dijadiin lagu. Semoga berhasil dengan lagunya...hehehe...Maaf ya, gak biasanya nulis dari gubahan dari hasil tulisan orang. mudah2an maksud tulisan yg udah aku baca, sesuai dengan hasil tulisan yg kali ini. Tidak mau menghilangkan maksud asli dan tujuan dari orang yg nulis... Skeeter, thanks for being a very nice friend!



Kebersamaan adalah mimpi
Perpisahan berarti luka mendalam
Mimpi yang tak selesai,
Menyakitkan
Mendera dalam asa
Kehilanganmu masih bisa kuterima
Lalu cinta akan berakhir dengan perasaan hampa

Aku ingin menjadi lirik lagu
Selamanya dapat berputar memelukmu
Kuingin kau terlelap dalam tidur
Dalam hangat pelukanku

Kau bilang ingin melepaskan
Kenangan ini dengan sendirinya juga akan menghilang
Sampai nanti kata pisah kemudian terlontar
Kasih antara kita tidak mati, hanya memudar

Air matamu menari bersama hujan
Kau bilang, jangan lagi ucapkan cinta
Aku sulit menerima
Berbohong pun aku tak bisa
Ketika aku berhenti, apakah artinya aku menyerah?

Lalu kini aku hanya bisa berkata
Raga pun menghilang bersama angan
Cinta kita sudah terbagi menjadi dua
Biarlah hilang, semua kenangan


Lirik Asli:

Kebersamaan adalah mimpi, berpisah adalah luka
Apalagi, mimpi yang tidak terselesaikan pasti lebih menyakitkan
Konsekuensi dari kehilangan, bisa di terima
Jalan keluar terkahir hanyalah tetap ada setelah cinta berakhir dengan perasaan hampa

Dapatkah saya seperti sebuah lirik lagu
Berputar drastis yang memelukmu kedalam keabadian
Terlelap tidur di atas pelukan ku

Jika memang keputusanmu untuk melupakan, kenangan dalam diri ini juga akan menghilang dengan sendirinya, untuk mendengar cerita ini sampai selesai sebelum kata selamat berpisah di lontarkan.

Air mata yg kau berikan menghilang dalam sekumpulan derasnya hujan
Ketika kau berkata “tidak seharusnya kau mengatakan aku cinta padamu saat ini”
Bagaimana aku bisa menerima, untuk berbohong saja aku tidak mempunyai kekuatan
Tolong beritahu aku apakah berhenti Dihitung sebagai arti Menyerah..?

aku hanya bs berkata
ada sebuah kenangan sehari untuk raga yang sudah Hilang.

Paruh Waktu Menghilang

Paruh waktu menghilang, menghadap senja yang turun dari balik bukit bebatuan. Aku kembali menabuh kesakitanku mengingatmu. Mencari sisa-sisa kekeruhan suasana yang kita bangun dari sebuah rasa percaya, dari balik ketidakpercayaan kita akan dunia. Kita pernah menantang mereka, mengajak mereka berdiskusi. Kita pernah merentangkan tangan, berlari sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya kita kalah.

Ingatkah kamu akan sebuah nama? Sebuah nama yang pada akhirnya hanya kau panjatkan sebaris doa. Mungkin tidak lagi saat ini. Kamu sudah resmi pergi. Sejak saat aku membaca tulisan yang kau kirim, hampir setahun yang lalu. Kamu berbalik dan mengakui kesalahanmu. Mungkin lebih mudah bagimu.

Aku melambai pada kenangan. Kukuras dengan segala cara supaya bisa mengeringkan hatiku yang basah karena air mata. Rindu yang terlukis, tidak berbentuk lagi. Aku hanya ingin menggenggam sebelah tanganmu. Sederhana. Tapi apa yang bisa aku lakukan kini? Mendengar lagu yang kau rekam pun aku tak berani.

Kalau saja saat itu aku tidak melepasmu pergi. Andai saja saat itu aku lebih mengerti. Sandiwara ini akan menemui ujungnya begitu saja, sehingga tidak ada satupun pemeran yang tersisa. Kau dan aku mungkin telah banyak berdusta. Sakit. Kita salah, dan kita mengakhiri semua. Pada akhirnya.

Gulita menyergapku yang terisak. Bergelung dalam remang malam, aku menyuarakan kehampaan. Mencintaimu adalah sebuah keberhargaan yang selama ini aku simpan. Tak ada lagi yang kupunya, dulu habis untukmu saja. Seharusnya kubiarkan setengah hati sebagai cadangan untukku sendiri. Tapi aku tak pernah begitu peduli. Sampai kini. Sampai saat ini, aku menyesal setengah mati.

Terlanjur mencintaimu apa adanya, begitu polos tanpa daya. Aku terlambat menyadari semua keindahan pasti akan selesai dan terurai. Aku tidak akan pernah bisa melihatmu lagi. Kau seorang kekasih yang berpaling pergi, meninggalkan arena pertempuran kita dengan dunia. Kita berdua sudah kalah.

Deru nafas fajar, menghembuskan embun yang mengalir di sela dedaunan. Aku kembali menutup kenanganku dalam sebuah kotak biru. Pada tiap lembar yang tersimpan, kuselipkan sebuah permohonan. Jangan pernah aku berhenti mencintai.

Wednesday, October 14, 2009

Tak Bisa Berhenti

Aku tak bisa berhenti
Melukiskan matamu pada mimpi
Menggaungkan suaramu dalam hati

Aku tak bisa berhenti
Mengukir sajakmu yang berlalu pergi
Mendekap harummu buaian nurani

Aku tak bisa berhenti
Mengecup
Mengenang
Merasakan

Aku tak bisa berhenti
Mengatakan segenggam perasaan
Menyatakan untaian harapan

Aku tak bisa berhenti
Mencintaimu

Wednesday, September 23, 2009

Salam Langit Untuk Bumi,,,the story,,,

Hidungku memerah. Dinginnya cuaca pagi ini membuat aku gemetar. Kakiku malas bergerak, meringkuk dengan nyaman di balik selimut tua berwarna jingga. Tak sejumput pun awan melintas di langit. Ayam baru saja riuh berkokok, bersahutan satu sama lain di tempat yang jauh namun tetap bergaung sampai ke beranda rumah ini. Warna biru muda mulai memudar di langit, menuaikan warna-warna baru menyambut matahari yang terlihat megah berpendar.

Angin lalu berhembus, menyusup pelan ke balik jejaring selimut tua jingga. Aku merinding diterpa angin gunung yang tidak pelan tidak juga kencang, tapi tetap dengan dinginnya yang luar biasa bagi mahluk kota seperti aku. Baru tadi malam aku sampai ke sini. Rumah ini tersembunyi dari kekejaman metropolitan, asap kendaraan, sampah, banjir, macet, dan tetap tegar berdiri selama puluhan tahun lamanya. Kayu yang menyusun lantainya masih berwarna cokelat cerah. Ini adalah kali pertama aku kembali ke sini setelah dua puluh tahun belakangan. Pak Tanto dan keluarganya yang tinggal di pondok belakang setiap hari merawat rumah ini. Walaupun umurnya sudah melebihi setengah abad, tapi Pak Tanto dan keluarganya dengan setia menjaga rumah tua peninggalan tiga generasi. Rumputnya terpangkas rapi, tidak ada debu di perabotan, dan segalanya masih tertata dengan apik dan indah.

Kereta memori melintas dengan kudanya yang memacu kencang dalam batin. Keluh kesah milikku teredam. Aku lalu mengingat satu nama, Asih. Asih yang lincah bergerak di balik berbagai panci dan abu. Asih yang seringkali memakai gaunnya yang kepanjangan, menyapu setiap jengkal sudut rumah ini. Asih yang selalu tersenyum manis ketika menemukan permen yang tersembunyi di balik rak buku, atau menangis ketika melihat foto tua peninggalan orang tuanya. Dia yang tertinggal dalam serangkaian kenangan milikku yang sedikit kelu.

Suara yang tidak pernah aku lupakan, dengan keceriaannya tersendiri, dengan nada yang mengalun riuh. Suaranyalah yang aku rindukan beberapa hari belakangan ini. Asih, suaranya, kelakuannya, kepolosannya. Asih, seorang teman yang pada akhirnya kucinta.

Tiga puluh tahunan yang lalu. Aku hanyalah seorang lelaki yang baru akan beranjak remaja. Aku yang menikmati setiap sore dengan sepeda, menyusuri tanah merah berbatu di sekitaran rumah. Tanpa saudara, aku cukup santai menikmati hari-hariku dengan kesendirian yang tidak bisa ditebus dengan kehadiran seorang kakak atau adik. Aku terbiasa melakukan segalanya sendiri, tidak menuntut bantuan seseorang, atau meminta pertimbangan orang lain. Ayah dan Ibu cukup tahu, bahwa aku puas dan mampu hidup sendiri. Makanan selalu disiapkan oleh Bik Idah, sopir yang mengantar dan menjemputku ke sekolah adalah Pak Tanto yang kemudian menjadi penjaga rumah, rumah bagian dalam dirawat oleh Mbak Titin dan Mbak Nin, sedangkan halaman dan kebun tertata rapi berkat Pak Oleh. Rumah ini jarang sekali sepi, karena memang semua orang tinggal di sini. Para pembantu memiliki kamar-kamar tersendiri di bagian belakang rumah. Tapi sepanjang hari, aku bebas berceloteh dengan siapa pun yang aku temui, entah Bik Idah di dapur, atau Pak Oleh di depan rumah. Mereka siap mendengarkan cerita-ceritaku dan menjadi teman bagiku.

Lalu tibalah kedatanganmu, mengusik hatiku yang tidak bisa kunjung tenang atau diam. Aku ingat, hari itu tepat dua hari sebelum ulang tahunku ke empat belas. Dengan muka takut dan malu, aku menyaksikan kau berdiri di depan gerbang, tidak mau masuk. Tanganmu menggenggam erat kain yang dipakai Bik Idah. Air matamu hampir menetes, melengkapi raut wajah yang sudah memerah. Kau menunggu saja di sana. Aku bisa melihat Bik Idah yang kemudian membungkuk untuk mengelus pipimu, berusaha membujuk rayu agar kau mau masuk ke dalam. Kau sempat menggeleng pelan. Aku heran. Dalam hatiku saat itu, bertanya-tanya siapa gerangan engkau, yang begitu lugu.

-17 Juli 1979, Pertemuan Pertama-

Aku menatapnya dengan pandangan sebal, sekaligus iba. Aku bingung, siapa dia. Mengapa dia hanya diam saja, berdiri di depan gerbang sana dengan tangan tergenggam dan raut muka yang sedih, hampir menangis. Aku melihat rambutnya dikuncir dua, yang sebenarnya tidak terlalu rapi. Bajunya lusuh, warna birunya sudah pudar. Dia memakai sepatu yang warnanya tidak sesuai. Terlalu mencolok.

Aku yakin lima menit lagi, pasti dia sudah bercucuran air mata, walaupun aku tidak mengerti kenapa. Dia kelihatan sangat tidak mau datang kemari, lantas mengapa dia ada di sini, pikirku. Aku berdiri saja mengamatinya dari balik jendela yang ada di beranda. Dari sini, dari kamarku, aku bisa melihat halaman tanpa takut-takut ada orang yang balik memperhatikanku. Kamar ini dan jendelanya adalah daerah kekuasaanku.

Lima menit sudah berlalu. Aku melihat Bik Idah dengan hati-hati melepaskan genggaman tangannya. Ia lalu semakin menunduk saja. Ah, aku tidak bisa dengan jelas melihat wajahnya, apakah sudah basah karena menangis atau belum. Bik Idah kemudian mengelus pipinya, entah bicara apa. Tidak lama, si perempuan itu terduduk. Dia tidak menangis, hanya duduk saja di sana. Tidak mau diangkat, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras tiga kali. Dia diam. Bik Idah terlihat pura-pura akan meninggalkannya. Bibik berjalan ke arah gerbang, membukanya dan masuk ke dalam. Kukira Bik Idah akan keluar lagi, tapi ternyata dia terus saja masuk ke dalam dan si gadis hanya duduk saja di sana dalam diam, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Aku jadi geram melihatnya.

Langkah-langkah panjangku menyusuri koridor lantai dua, bergegas menuruni tangga dan menyeberang ke depan rumah. Hari ini aku hanya bermain dengan sejumlah mobil-mobilan koleksi kesayanganku. Liburan sekolah sudah di ujungnya, beberapa hari lagi tahun ajaran baru akan segera dimulai. Kedatangan mahkluk bernama perempuan yang tidak dikenal itu melempar aku dari kebosanan. Aku merasa penasaran, ingin melihat dia dari dekat. Aku ingin menggodanya, menjadikan dia sebagai pengusir kebosanan hari ini.

Di depan gerbang berwarna merah tua itu aku terkesima. Entah untuk berapa lama aku membeku, entah masih sempat menarik napas atau tidak. Aku melihatnya dari jarak yang cukup dekat. Dia terduduk lemah, tidak lagi menguraikan air matanya. Aku bisa melihat wajahnya muram, menunduk lesu. Kedua kakinya ditekuk, tertarik ke arah dagu yang dia letakkan di atas lututnya. Tangannya mencengkam ujung sepatu. Perempuan mungil berkulit putih bersih itu memiliki mata yang sendu. Rambutnya hitam legam, lurus dan panjang. Tapi aku paling bisa mengingat bibirnya yang berwarna merah muda, tipis, tanpa senyum merekah. Dia hanya diam saja.

Tidak tahu dorongan macam apa yang akhirnya membuat aku melangkah lagi ke sana. Aku mendekati dia yang tidak bergerak. Di hadapannya aku lalu berdiri, menunggu sampai dia memalingkan muka ke arahku. Aku terus menunggu hingga setidaknya lima menit di situ. Mungkin dia tidak menyadari keberadaanku, terlalu terpaku dalam alam liar pikirannya sendiri. Hingga tidak kunjung dia mengangkat kepala, aku ingin rasanya pergi dan berlalu saja. Mungkin lebih baik aku kembali bermain dengan mainan tanpa nyawa. Sempat berpikir akan berpaling, tidak kusangka pada akhirnya dia bicara.

“Asih,” satu kata dia sebutkan tanpa emosi.

Aku melihatnya tidak beranjak sedikit pun dari posisinya yang semula. Kepalanya masih tertunduk layu dan tangannya mencengkram ujung sepatu. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, mengapa dia menyebutkan itu. Setengah bertanya-tanya, aku lalu duduk juga di sebelahnya, mencoba sebuah posisi yang serupa. Tapi aku tidak menyentuh ujung sepatuku, hanya menyilangkan kedua tanganku di balik kaki. Aku diam saja. Aku ikut tidak berkata apa-apa.

Kami duduk bersisihan, dengan jarak yang sedemikian dekat. Aku hampir bisa mencium bau keringat dan kepulan asap kendaraan yang menempel di bajunya. Aku ingin menoleh, melihatnya sekali lagi. Memastikan dia sudah mengangkat kepala atau belum. Tapi aku tidak berani menggeser badan atau memalingkan wajah. Jadilah kami untuk beberapa lama benar-benar tidak menimbulkan suara.

Semenit kemudian, dia berdiri tiba-tiba. Pergerakannya membuat aku terkejut setengah mati, karena aku masih berpikir dalam-dalam tentang keanehan ucapannya. Tanpa memalingkan muka ke arahku, di menepuk-nepuk bagian belakang roknya yang sedikit kotor, lalu memutarkan badannya ke arah berlawanan.

“Asih mau pulang,” katanya dengan suara yang sengaja ditegas-tegaskan.

“Tunggu!” Sanggahku cepat. “Aku tidak tahu siapa kamu dan dari mana kamu berasal.

"Tapi kalau kamu pergi, Bik Idah pasti akan bingung mencarimu. Memangnya kau tahu arah pulang?”

“Asih tidak mau di sini bersama Si Mbok,” suara tegasnya sudah memudar menjadi rengekan kecil.

“Namamu Asih?” Aku bertanya, walaupun sudah tahu pasti jawabannya.

(Nantikan kelanjutan cerita ini... Masih ada yg harus di edit sana sini untuk chapter pertamanya, jadi blom bisa dimuat secara lengkap. Maaf ya... Trus untuk cerita dari versi Asih, blom bisa dimuat juga...karena masih banyak juga yg harus diedit. Sementara ini dimuat dulu, supaya diriku lebih semangat nyelesaiin ceritanya setidaknya sampe 1 verse dari Andikha Bima alias Abi, selesai. Secara teratur, saya akan menerbitkan lagi lanjutan-lanjutan ceritanya. Mudah2an berhasil dan bisa menghibur...amin...)

Monday, September 7, 2009

Liburan kali ini...

Penuh sekali rasanya isi kepala saya, karena sudah berhari-hari tidak menulis. Biasanya, saya membiasakan diri supaya produktif menulis dan membaca setiap hari. Tapi beda rasanya ketika di rumah, terlalu banyak kegiatan yang sebenarnya kurang penting tapi harus dilakukan juga. Misalnya saja, mencuci mobil. Coba bayangkan, mencuci gigi sendiri dua kali sehari aja sudah berasa rajin banget, apalagi diserahkan tugas mencuci mobil. Tentu saja malasnya gak ketulungan.

Apa mau dikata, ketika saya tidak lagi bisa bebas merdeka. Di rumah, bangun jam delapan pagi pun dianggap kurang pantas bagi seorang gadis. Padahal dulu, waktu masih menikmati hidup sebagai anak kost, tidak ada yang ngomel kalau bangun ketika matahari sudah naik tinggi. Susah payah, setiap hari jam tujuh harus “melek-melek”in mata. Mungkin dalam waktu satu bulan di rumah, mata saya yang sipit ini sudah sedikit membesar akibat kegiatan pagi hari yang menyiksa batin itu, kegiatan “ngumpulin nyawa”.

Bisa dibilang, saya tidak sepenuhnya pengangguran. Kalau diberi istilah, mungkin saya adalah karyawan lepas atau magang. Jangan dikira, di rumah lantas bisa berleha-leha. Anda salah besar, Saudaraku! Di sini saya butuh asupan energi lebih karena pagi hari rentetan tugas sudah menanti. Mulai dari membantu di dapur sampai membantu di luar area dapur. Coba hitung, ada berapa banyak area yang tidak termasuk dapur. Lumayan banyak juga bukan? Kalau di suruh bekerja di area kamar mama misalnya, saya harus membantu beliau ini untuk mengecat rambutnya yang mulai beruban. Belum lagi pegelnya ilang karena tangannya kerja keras, eh si mama malah membuat kegagalan pewarnaan dengan tingkahnya yang sangat inisiatif dan kreatif…yaitu memasker rambutnya setelah dicuci pertama. Jelas-jelas hilang dong obat pewarnanya. Aduh, kalau kejadian sudah begitu terpaksa cuma mengurut dada pas si mama tanya dengan muka polosnya, “Dek, kenapa warnanya gak ada ya?”

Pernah mendengar istilah pucuk dicinta ulam tiba? Nah, bagi saya penyelamat jiwa saya ketika di rumah adalah seorang teman lama yang sering kali mengajak saya makan di luar atau sekedar bertemu saja untuk mengobrol. Kalau sudah tiba waktu untuk keluar rumah, senyum berseri-seri langsung terkembang. Padahal saya ini pengangguran lho. Dapat uang dari mana untuk bisa jajan? Satu-satunya jalan adalah, ya itu tadi. Bekerja sebaik-baiknya di rumah supaya bisa mendapatkan uang jajan yang ideal.

Bahagia bagi saya (dan tentunya bagi keluarga di rumah juga), adalah kami bisa tertawa lebih banyak daripada biasanya. Dengan adanya si babeh a.k.a papih di deket-deket saya, makin banyak lah lelucon yang suka meluncur seadanya. Kadang-kadang di meja makan, di ruang tamu, waktu nonton tv bareng, atau ketika di mobil. Memang ayah satu ini, luar biasa sekali. Kebiasaannya menceritakan lelucon sudah dari bakat lahir yang alami. Sebenarnya tanpa perlu bercerita, dengan melihat wajahnya saja saya sudah ingin tertawa. Malahan, saya lebih suka tertawa keras-keras sebelum ceritanya mulai. Karena biasanya, beliau suka membuat kaliman-kalimat pembuka terlebih dahulu yang membuat kita tersentil urat gelinya.

Seperti kejadian baru-baru ini. Satu jam yang lalu, saya sedang asyik membuka account facebook saya. Tiba-tiba beliau masuk ke kamar dan berkata, “Lia nanti punya anak lima aja ya. Biar aku yang kasih nama”.

Saya lalu cekikikan sambil berusaha menebak, lelucon apa lagi nih kira-kira. Dia menambahkan, “nama-namanya Maribu, Marika, Marice, Marila, dan Marina”.

Saya hanya bisa melanjutkan aksi cekikikan, makin bingung dan makin merasa aneh. Katanya lagi, “biar mudah nanti manggil anak-anaknya semua. Kalo mau panggil lima-limanya sekaligus, tinggal teriak saja… MARIBUKACELANA”.

Kontan saja saya tertawa sekeras-kerasnya mendengar kalimat terakhir dari sang ayah. Begitulah beliau dengan sejuta aksi yang biasanya dipertontonkan kepada kami sekeluarga. Kadang-kadang diikuti dengan tingkah langsung disertai gerakan-gerakan yang membuat ketawa bisa meledak tiba-tiba.

Liburan kali ini berkesan sekali, lengkap dengan penderitaan yang membuat saya “misuh-misuh” sampai cape. Tapi untung saja, saya gak didera sakit seperti tahun kemarin, yang mengharuskan saya tidak keluar rumah selama liburan akibat cacar air dan bentol2 sekujur badan. Masih bersyukur, walaupun tidak punya uang dan kerjaan, saya bisa berkumpul lagi sama the greatest family of the world…hahaha…

Mudah-mudahan saya sempat menuliskan beberapa cerita dan tulisan seperti biasanya. Semoga saja bisa aktif lagi menulis dan membagi pengalaman-pengalaman saya yang tidak terlalu berarti apa-apa. Sedikit saja, sapa saya untuk Anda semuanya di liburan kali ini.

Salam damai….
Tuhan berkati!

Kasih Allah


Maka dari setiap langkah yang telah aku tempuh, baik dan buruknya telah menempa aku menjadi sebuah pribadi. Urat-urat dan nadiku tegang menebal dalam lapisan kehidupan. Di balik tulang-belulang, ada materi kasih yang tersebar. Kasih itu meresap dalam. Kasih itu merekat erat.

Pada siapa aku menuntut kasih bisa pergi? Itu telah kubawa dari mula aku lahir ke bumi. Bahkan saat kukuliti diri dan kupatahkan tulang. Bahkan waktu aku menjamah yang tidak seharusnya keraba dan melihat semua yang tak pantas kusapa. Bahkan ketika aku memaki hidupku sendiri dan lupa bersyukur dari sebuah anugerah.

Kasih itu nyata. Dia mengalir sewaktu kuraup bulir-bulir udara. Seperti embusan angin pagi ini yang dapat kurasa. Di dalamnya aku menjadi hidup, sebagai manusia sekaligus hamba. Melalui kasih pula aku terjatuh, berdiri, melangkah, berlari, hingga nanti aku tergolek mati.

Detik-detik perjalanan usia membuat aku kadang buta, kadang lupa. Aku ini siapa? Aku ini kepunyaan siapa? Kuhabiskan saja umurku demi menjaga kulit , urat, dan tulangku berpuas diri. Mereka tak lagi mampu merasa. Sudah tak pernah kuajarkan lagi mereka untuk bisa berdoa. Tak tahu mereka, sebenarnya terbuat dari apa.

Sebenarnya kasih itu sungguh dekat.

Maka ketika aku bangun tidur pagi ini sebelum alarm sempa berbunyi, aku berdiam lesu. Aku menikmati dinginnya fajar, bergulat dengan guling dan bantal. Dan pada suatu detik, aku menyadari cinta dari-Nya. Kasih dan cintanya yang selalu sama, menguraikan air mataku sampai habis. Dia membisikan padaku sebuah janji, dari pengorbananNya untuk menebus aku. Bukan sebuah cinta yang sementara, tapi selamanya.

Di ujung terdiamku, kuingat sebaris lirik sebuah lagu. Kusampaikan pada-Nya kalimat yang sungguh sederhana itu, yang kurasa tak sebanding dengan megah cinta dan kasih dari Dia. Kukatakan dengan
berbisik, “Hidup ini kuserahkan pada mezbah-Mu ya Tuhan dan jadilah padaku seperti yang Kau ingini”.

Menjadi siapapun kita sekarang, menjadi seperti apa kita nanti...semua adalah kuasa Tuhan yang maha penyayang. Dan percayalah, dia selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

Tulisan ini aku persembahkan bagi diriku, imanku, dan bagi sahabat-sahabatku yang berulang tahun di bulan ini. Buat Melsa Trinita Situmeang, Skeeter a.k.a Ferry Huang, Ade Juhana a.k.a Abi, Ci Komala, Ci Eva, dan teman-teman semuanya sebagai bahan perenungan diri yang jarang-jarang kita lakukan. sebagai 5 menit waktu untuk mengingat kuasa Tuhan, sebagai ucapan syukur pada Dia. Semoga di usia yang semakin menua, iman kita semakin bertambah, makin bijaksana dan makin dewasa. Amiiin...

Friday, August 21, 2009

Para Lelaki Bilang....

Kalo mereka gak ngerti dengan jalan pemikiran kami, perempuan. Mereka bilang kami terlalu banyak mengeluh. Kami juga sering tidak jujur sama diri sendiri atau pasangan kami. Mereka kira, kami sedang 'ngambek' atau 'pundung' atau 'marah', padahal kami cuma capej mata atau bicara. Lalu para pria dengan semangat 45 berusaha memperbaiki keadaan hati, yang gak bisa begitu aja dibuat jadi lebih cerah. Yang ada justru makin mendung deh suasananya. Lalu kami akan berpikir, kalian para pria hanya memaksa dan semua jadi lebih ribet daripada awalnya.

Kadang-kadang kami tidak ingin diajak makan malam. Bukan karena kami betul-betul tidak mau, buka karena orang yang mengajak bukanlah tipe orang yang asyik untuk diajak makan. Ada banyak alasan yang tidak kami beritahu pada dunia. Perempuan memiliki pride nya sendiri, bagi dirinya atau lawan jenisnya. Mana lah kami mau keluar, dan berjalan-jalan ria dikala cekak. Tentu saja kami mengerti bahwa ajakan ini berarti sebagai wanita, kami tak perlu mengeluarkan uang se-sen pun demi makan sushi atau steak. Tapi kami lebih senang pergi dalam keadaan dompet yang jelas-jelas basah. Bila ketemu kalung yang cantik, bisa langsung beli. Gak sengaja liat sepatu yang lucu, bisa langsung minta diambilin ukuran, nyoba bentar, trus pergi ke kasir dan gesek pake kartu, keluar dengan tentengan paperbag, lalu puaslah kami. Ada kalanya juga kami hanya malas keluar rumah, ingin bersantai nonton tv ditemani satu box eskrim rasa vanilla. Cuma sedang tidak mau saja. Bahasa kerennya, "gak mood".

Gak ngerti? Ya sudahlah, beginilah wanita dengan sejuta rahasianya. Inilah yang menjadikan kami jaya di dunia. Beberapa bilang, perempuan gampang ditipu. Salah besar! Karena kadang-kadang kamilah yang sedang menipu. Dari situlah mucul sebuah istilah, "jinak-jinak merpati". Tapi bukan dalam arti yang jelek ya. Kami cuma susah ditebak, itu saja.

Sebagai pria yang sedang mendekati wanita pujaannya, kumohon mengertilah. Kami bukannya mau bermain-main dengan hati. Mungkin sebuah proses yang 'cukup panjang', akan menjadikan kami puas dan yakin dengan Anda. Mengapa harus menyerah di tengah jalan, hanya karena kami sempat berkata, "maaf, saya sedang tidak mood untuk ngobrol. Saya capek beberapa hari ini."

Walah...walah... Susah sekali menyatukan pemikiran pria dan wanita rupanya. Kalau kalian bilang, kami haus pujian, itu betul. Kami memang ingn diperlakukan sebagai satu-satunya perempuan yang eksis di muka bumi, tidak ingin ada saingan. Kami tidak mau lebih banyak obrolan tentang si 'anu' atau si 'ini', atau 'teman kostku', atau 'anak tanteku', atau siapapun. Mengobrollah tentang kami, yang sedang duduk di hadapanmu dan fokuslah hanya untuk aku.

Pertanyaan-pertanyaan menjebak yang mana yang membuat kalian para lelaki serba salah? Di mana letak susahnya menjawab pertanyaan ini?
1. Gimana my dress malem ini? Udah oke?
2. Kalo aku potong rambut sebahu, bagus gak?
3. Temen kamu yang kemaren maen basket bareng itu siapa?
4. Kamu gak bisa ngurangin rokok kamu ya?
5. Darimana aja kamu, kok telat sih?

Kan tinggal dijawab aja...
1. Uhm...mendingan kamu pake celana panjang biar gak kedinginan di jalan
2. Bagusnya rambut panjang, karena keliatan lebih cantik lho
3. Itu tetangga, kost di sebelah rumah. Ganteng ya? Emang banyak yang naksir...hehe
4. Aku juga pengen ngurangin, ini juga lagi belajar. Punya saran ato info?
5. Maaf, aku gak sengaja ketiduran. Semalem begadang ngerjain project buat minggu ini. Besok-besok aku bakal pasang alarm lebih cepet dari biasanya.

Kalau memang pembiacaraan selanjutnya jadi panjang dan alot, setidaknya kalian tidak berusaha menipu. Kami, para wanita tidak suka ditipu (basicly, semua orang gak suka ditipu). Jujurlah, maka semua (mudah-mudahan) akan baik-baik saja.

Ada saja, tipe lelaki yang suka 'ngintil' apapun yang sedang terjadi pada wanitanya. Entah via facebook, twitter, ato status YM. Memangnya kenapa kalau kami shout out begini, "aduuuuh...males banged deh".

Pernah seuatu ketika, seorang pria langsung 'ngeh' dengan status FB saya yang rada-rada aneh. Tidak sampai lima menit, dia langsung menelepon dan bertanya, ada apa? Padahal saya tidak ada maksud untuk membuat cemas siapa-siapa. Jika kami butuh, kami pasti langsung, secepat kilat, automatically texting you, orang yang kami butuh. Percayalah. Status-status yang ditulis itu jangan terlalu dianggap serius. Itu hanya akan membuat si wanita lalu jengah dan sebel dengan perlakuan yang 'terlalu'.

Sewajarnya, apa yang saya tulis ini juga menjadi bahan bacaan untuk wanita. Saya juga harus belajar mengerti para pria yang juga punya 'sisa cadangan tenaga hampir habis', 'ingin kumpul dengan teman-teman pria', 'pengen maen game sampe pagi', 'sedang banyak kerjaan', dsb.

Maaf kalau tulisan ini lalu menimbulkan kontroversi. Saya hanya ingin mengungkapkan pemikiran saya setelah ngobrol panjang lebar dengan salah seorang teman yang bercerita tentang keadaan "perburuan wanita"nya yang naik turun. Life really is a rollercoaster, begitu juga dalam masa penjajakan. Mau terus maju atau menyerah saja, itu semua terserah Anda.

Jadi kesimpulannya, sudah siapkan Anda mendekati perempuan seperti saya???? Hahahahahahahahaha....

Thursday, August 20, 2009

How Full is Your Bucket


Tadi malam saya tidak bisa tidur sampai jam 3 subuh. Coba bayangkan betapa pegelnya tiduran di kasur yang setipis awan (tipissss banged, beneran!) selama beberapa jam dan cuma bisa bolak-balik badan sambil baca buku.

Satu buah buku seru untuk saya bagi kepada Anda, judulnya "How Full is Your Bucket". Keren nih bukunya, isinya dalaaaam tapi bukunya gak tebel-tebel amat. Inti dari buku ini adalah, "manusia memiliki ember dan ciduk yang tidak terlihat". Setiap hari ember itu diciduk dan diisi kembali. Pengisian ember akan membuat kita semakin "baik", tetapi tak jarang orang-orang disekitar kita menciduk isi ember kita. Mengisi ember dilakukan dengan hal-hal yang positive. Kita diingatkan untuk berbuat positive dan memenuhi ember kita sendiri. Suatu saat ember ini akan luber, lalu kita juga diwajibkan mengisi ember-ember orang sekeliling kita.

Banyak hal yang bisa kita perbuat untuk orang lain. Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa memulai belajar untuk mengisi ember orang terdekat seperti sahabat dan rekan kerja di kantor. Bagaimana caranya? Simple dan mudah saja. Salah satunya adalah dengan memberikan penghargaan yang tulus kepada dia, dengan pendekatan personal dan tentunya baik untuknya. Hal tersebut akan mengisi embernya dan membuatnya lebih produktif, lebih sehat, dan lebih baik lagi.

Kuncinya adalah dengan mengisi ember sebanyak-banyaknya untuk orang lain dan melakukan perubahan lingkungan, supaya keadaan menjadi nyaman bagi semua orang. menurut buku ini, perbandingan idealnya adalah 5x perlakuan positif:1x perlakuan negatif. Jadi ketika kita melakukan perbuatan negatif pada orang lain, lakukanlah 5x perbuatan positif sebagai balasannya.

Setelah selesai membaca buku itu, saya lalu susah tidur. Saya memikirkan bagaimana caranya untuk mengisi ember saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Lalu saya menemukan satu cara, yaitu dengan membagi ilmu ini kepada orang lain. Saya lalu berniat untuk membeli buku ini dan "mengedarkan"nya kepada banyak orang. Tentu saja, bukan saya sendiri yang bekerja.

Saya hanya akan memulai dengan membeli buku ini, menandatangani halaman paling belakang dan memberi tanggal saya selesai membacanya, lalu memberikannya kepada salah satu mantan atasan saya. Saya berharap beliau juga bsia menyelesaikan membaca buku ini, lalu menandatanganinya dan memberikannya kepada satu orang lain lagi. Dengan cara ini, mudah-mudahan ilmu yang berguna untuk kita semua ini bisa beredar luas. Kita tidak lagi menerima perlakuan negatif dari orang-orang sekitar, termasuk di kantor, dan mulai mengisi ember-ember mereka yang berada di sekitar kita.

Memulai dari sesuatu yang kecil, ilmu yang seadanya ini ingin saya sumbangkan bagi dunia supaya kita hidup dengan lebih POSITIVE dan dunia menjadi tempat yang nyaman untuk kita semua. Saya juga memulai perdamaian dengan diri sendiri, sebagai salah satu upaya mengisi ember saya sendiri.

Salam damai...
Salam Langit Untuk Bumiku^^

(kunjungi juga www.bucketbook.com)

Tuesday, August 18, 2009

masih seperti dulu

melangkah kaki
riang
tiada ragu aku padamu
walau letih dan lesu tungkaiku

dan sepanjang jalan membentang
jarak ini menjauhkan
tidak bersua sekian lama
kita masih bersahabat saja

ketika bimbang dan air mata tertuang
kuketikkan cerita
sebait kata seadanya
untuk kita bertegur sapa

engkau yang ada di sana
setahun hanya sempat sekali bertemu muka
tapi di ujung jalan ini
terdapat kasih tulus dari hati

kita masih seperti dulu
jarang bicara
tapi hati ini tahu
ke mana harus pergi ketika sendu

sahabatku yang jauh
engkau masih seperti pertama kita bertemu



(sebuah sajak untuk temanku... Ferry Huang a.k.a skeeter... Thanks ya udah jadi temennya hime^^. Ini janji tulisan, akhirnya aku buat juga. Walopun jelek,,,maaf yaaa...)

Monday, August 17, 2009

Lomba 17an Terbaru...............

Entah sejak kapan, setiap tanggal 17 Agustus, dalam memperingati hari kemerdekaan negara kita Indonesia, kita selalu ikut memeriahkannya dengan mengadakan berbagai perlombaan. Mulai dari upacara bendera pagi-pagi sekali, dilanjut dengan panitia yang bersibuk-sibuk ria mengatur meja pendaftaran lomba. Lombanya juga beraneka macam. Ada yang ringan, seperti kerupuk, sampai yang berat seperti pohon pinang. Ada juga yang sedikit berbahaya, seperti bermain-main paku.

Saya sempat bertanya pada salah satu teman saya tadi sore, sejak kapan tradisi ini dimulai dan mengapa harus ada lomba? Dia tidak tahu pasti jawabannya. tapi dia sempat mengatakan bahwa perlombaan ini dimaksud (mungkin) untuk mengingat kembali perjuangan bangsa dan supaya rasa perjuangan itu tidak hilang dari dalam diri kita. Sekarang perjuangan itu bisa digunakan dalam berbagai ajang perlombaan yang digelar dan kita ikuti saat 17an. Gak salah juga sepertinya...

Lalu coba kita hitung, ada berapa jenis lomba yang diadakan? Dari tahun ke tahun, si lomba yang dimaksud gak jauh-jauh dari makan kerupuk, tarik tambang, paku botol, sepakbola sarung, dan panjat pinang. Tampaknya 17an identik sekali dengan lomba-lomba macam ini. saya dan teman saya, rupanya memiliki ide lebih kreatif untuk tahun ini.

Mari kita ganti lomba makan kerupuk dengan lomba makan duren, yang tentunya lebih nikmat daripada sekedar kerupuk. Kalau bisa, durian digantung berikut kulit-kulitnya supaya lebih menantang. Tapi untuk lomba ini, diperlukan dana cukup besar, jadi mungkin para peserta diharuskan untuk memberikan uang pendaftaran.

Berikutnya, tarik tambang kita ganti saja dengan angkot. Lomba macam ini lebih berguna bukan? Karena kita bisa mendapatkan penghasilan, yang tentunya seimbang dengan keringat dan jerih payah yang kita habiskan. Konpensasi bagi peserta, uang hasil menarik angkot boleh dibawa pulang setelah dipotong pajak (kita seorang warga negara yang taat pajak kan?).

Paku botol mungkin sudah ketinggalan zaman. Memasukkan paku ke dalam botol tantangannya terlalu ringan. Jika kita ingin menjadi anak2 bangsa yang lebih kreatif, bisa dicoba perlombaan mengeluarkan paku dari dalam botol. Tentunya si botol tidak boleh dipegang dengan tangan, tapi masing-masing peserta diberi sebuah alat bantu berupa sepasang sumpit. Gimana gak menantang tuh?

Kalau main sepakbola dengan sarung sudah biasa. Bagaimana dengan lomba sepakbola dengan tidak menggunakan sarung? Tidak dengan rok, tidak juga dengan celana. Tapi peserta-peserta diperbolehkan menutup aurat dengan menggunakan kertas koran. Perlombaan ini pasti lebih banyak penontonnya. Mungkin tetangga-tetangga dari kampung sebelah akan datang dan berpartisipasi (karena malu mendaftar di kampung sendiri).

Yang terakhir dan terbaik adalah puncak acara 17an, ditutup dengan lomba panjat-memanjat. Bukan pinang yang dilumuri dengan oli, karena yang satu itu sudah biasa. Kita ganti saja pinangnya dengan le****. Maklum, mencari pohon pinang sekarang lebih sulit daripada le**** yang bertebaran di muka bumi. Lomba panjat pinang, biasanya diikuti oleh para pria, untuk lomba panjat le****, khusus wanita saja. Emansipasi dong, kan sudah maju bangsa ini. Le**** disediakan oleh panitia dari hasil karantina dan sudah dieliminasi oleh penonton (emangnya reality show???). Pemenangnya dinilai dari teknik-teknik yang dipakai oleh peserta saat memanjat, dan hasil akhir. Hadiahnya tentu saja luar biasa, tidak bisa dinilai dengan materi. Le**** yang berhasil dipanjat, boleh anda bawa pulang.

Menarik bukan? Mudah-mudahan ide2 di atas, hasil obrolan kurang penting saya dan teman-teman bisa diwujudkan. Kalau bisa kita bawa sampai ajang internasional, apalagi kalau bisa dilombakan dalam olimpiade, itu lebih bagus lagi.

Selamat hari kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia. Semoga pemuda-pemudanya makin kreatif (read: gila) sehingga menciptaktan kreasi2 perlombaan baru...

Saturday, August 15, 2009

belajar dari kebelet pipis

Tau rasanya kebelet pipis? Pasti menderita sengsara lahir dan batin. Apalagi ketika si pipis sudah di ujung, nyawa berasa tinggal sebentar lagi, terus "tamat" deh. Si kebelet ini gak kenal waktu dan kondisi, apalagi lokasi. Kadang-kadang datang waktu lagi kuliah, waktu lagi maen bola, waktu lagi berenang, waktu lagi santai, waktu lagi nonton, waktu lagi kencan, waktu lagi rapat, bahkan waktu tidur pun suka tiba-tiba datang. Sebenarnya kebelet bisa terjadi apabila air seni sudah berkumpul di kantung kemih. Yang repot, adalah ketika si kebelet berkunjung ketika kita tidak bisa meninggalkan apa yang sedang dilakukan. Bagaikan buah simalakama, dimakan ibu mati, gak dimakan bapak yang mati. Serba salah pokoknya. Mau tak mau harus segera dikeluarkan secepatnya, bila tidak mau ketiban penyakit yang bernama 'kencing batu'.

Kebelet yang tidak tahu tata krama dan sopan santun ini datang tanpa permisi. Perasaan tidak enak tiba-tiba menyergap bagian perut ke bawah. Terpaksa kaki disilangkan serapat-rapatnya untuk menghindari adegan jebolnya tanggul pertahanan terhadap pipis. Kalau kebelet datang pas kita sedang asyik-asyiknya berenang, betapa malas rasanya naik ke atas lalu pergi ke toilet. Tak jarang, beberapa orang (yang sama tidak tahu tata krama dan sopan santun) lantas berenang ke arah sedikit di pojok kolam lalu pura-pura berdiri, padahal sedang buang air. Entah di laut lepas, entah di kolam, kita manusia selalu saja mencemari air dan sekitarnya.

Masih mendingan kalau yang datang adalah si kebelet pipis. Nah, gimana ceritanya kalau yang datang adalah si kebelet yang lebih besar? Suatu hari ketika dapat giliran presentasi tugas mata kuliah di depan kelas, saya tiba-tiba diserang 'panggilan alam". Alhasil, karena tidak sempat ke toilet, seluruh presentasi menjadi kacau balau, jawaban tidak nyambung dengan pertanyaan, mulut mengkerut menahan sakit, keringat dingin sebesar-besar biji jagung pun ikutan nimbrung. Karena si kebelet ini juga, maka saya tak bisa menghindari salah satu ujian harian Tata Negara di kala saya masih duduk di bangku SMA. Di tengah kebingungan harus mengingat hapalan yang setengah mati dipelajari malam sebelumnya, menuangkannya ke dalam lembar jawaban secara tepat, di tengah waktu yang sempit sekali, bahkan terasa kurang. Saya sempat kabur dari ujian selama sepuluh menit. satu menit pertama untuk lari menuju toilet terdekat, sembilan menit berikutnya berkutat dengan urusan perut, dan sisanya untuk kabur lagi ke kelas lalu lanjut mengerjakan ujian dengan napas yang tinggal setengah.

Manusia seperti saya dan juga Anda, kadangkala hanya bisa mengutuk kekejian si kebelet ini karena berhasil mengacaukan rencana kita, presentasi, kencan pertama, negosiasi harga, wawancara kerja, dan kegiatan-kegiatan kita lainnya. Dibuat pusing tujuh keliling, kita lalu memaki-maki dalam hati, berharap si kebelet itu cepat pergi. Tapi apa mau dikata, si kebelet tak kunjung usai menggelitik dan menyiksa jika si air seni tidak dibuang oleh si empunya.

Masalah-masalah yang datang dalam hidup ini datang dan pergi. Datangnya tiba-tiba, lalu pergi begitu saja jika kita sudah berhasil menyelesaikannya. Ada yang prosesnya cepat, secepat kilat. Ada yang lama tandasnya (apalagi jika sudah ditahan sekian lama). Seperti kebelet yang mengganggu, masalah hidup manusia ada yang besar dan ada pula yang kecil, berbeda waktu penyelesaiannya dan berapa banyak air yang dihabiskan a.k.a berapa banyak energi yang kita gunakan untuk menyelesaikan masalah itu.

Si kebelet yang ditahan-tahan, dalam waktu lama pasti akan menimbulkan penyakit dan gangguan. Masalah yang ditunda-tunda untuk diselesaikan pastinya juga bisa menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih sulit lagi efeknya bagi kita. Si masalah datang silih berganti tak kenal waktu, kondisi, apalagi lokasi. Sama betul bukan? Kadang-kadang di tempat ibadah, kita juga mendapatkan masalah. Entah karena terlambat datang, tidak kebagian posisi yang nyaman, atau karena tetangga sebelah berisik sekali sehingga kita menjadi tidak khusyuk. Ada-ada saja.

Maka seperti kebelet yang senang sekali mengganggu manusia, seharusnya kita menangani masalah dengan santai. Tidak perlu keliling penjuru sekolah dulu sebanyak dua kali, lalu baru pergi ke kamar mandi. Tidak perlu bilang pada seluruh kelurahan bahwa kita ingin buang air, tinggal mencari toilet umum terdekat dan menandaskan hasratnya. Bila kita berada di tempat asing, dan tidak menemukan toilet umum, kita bisa juga bertanya, atau meminta izin untuk memakai kamar mandi di rumah penduduk. Masalah yang datang, jika tidak bisa kita selesaikan sendiri, maka ada baiknya kita meminta bantuan orang lain juga. Ini lah kenikmatan hidup sebagai mahluk sosial, kita tidak bisa hidup sendiri. Lalu setelah buang air, jangan lupa menyiramnya. Masalah yang sudah selesai, jangan sampai membuat kita berlarut-larut. Waduh, semakin lama saya menulis tema ini, semakin banyak saja saja mencari-cari persamaan antara kebelet dan masalah manusia.

Daripada saya membahas kebelet lebih lama, lebih baik sekarang saya ke toilet (cafe ini) dan buang air kecil, karena si air sudah teriak-teriak ingin dibuang karena sedari tadi saya menahan-nahan pipis untuk menyelesaikan tulisan ini. hahahaha....

Salam damai... Be happy^^

Thursday, August 13, 2009

Menapaki Alam...


Kira-kira 15 menit yang lalu saya baru saja selesai makan siang. Menu hari ini hanya nasi,telur dadar,dan oseng tempe kecap buatan sendiri. Dengan kekenyangan,saya lalu ingin berangin-angin diluar rumah kontrakan. Jongkoklah saya,santai,di pinggir tembok pembatas rumah. Halaman samping rumah ini memang ditumbuhi beberapa tanaman seadanya. Ada cabai rawit dan pepaya. Tidak disemen,tp hanya bertanah merah.

Saya keluar tanpa alas kaki. Matahari yang terik menyinari bumi begitu dasyat. Kaki saya melompat-lompat kecil menghindari kerikil. Lalu saya berjongkok dan termenung. Selintas menikmati anugerah yang Tuhan beri bagi saya hari ini. Saya mendongak,melihat langit biru bersih,rangkaian awan hanya tipis saja.

Tersadar dengan keadaan,saya menapaki alam. Dibalik perumahan daerah sini,sebuah gunung menjulang. Tidak terlalu tinggi memang,tapi menakjubkan. Datarannya hijau. Saya seperti melihat dunia yang lain dari biasanya.

Karena kesadaran terasa semakin hilang, bangkitlah saya. Lalu perlahan melewati halaman menuju pintu depan. Panas dari tanah menyapa telapak kaki saya,menyusupkan kehangatan. Semua rangkaian itu saya sadari dan syukuri. Nikmat sekali bertelanjang kaki. Rupanya si telapak sudah lama lupa rasa sakit dicubit oleh hawa panas tanah. Saya biarkan dia ingat,supaya kedua kaki ini mampu bersyukur lagi.

Hawa panas hari ini menenangkan saya. Tapi yang lebih penting,mengingatkan saya. Siapakah sebenarnya hamba,dibalik segala alam dan siapa penciptanya. Kerinduan akan Tuhanku terlengkapi sudah. Saya menyapa Allah dari sepasang kaki ini (tidak ada maksud merendahkan).

Sampai sekarang sebenarnya telapak kaki saya masih terasa sedikit perih dan panas. Tapi syukur tak henti-hentinya mengindahkan hati saya. Si kaki ini mengajarkan saya untuk merendahkan diri kepadaNya. Luar biasa. Syukur kepada Allah...

Wednesday, August 12, 2009

Bicara dan Mendengar

Siapa yang bicara
Siapa kemudian mendengar?
Aku berdoa
Aku berkata

Siapa yang bicara
Siapa kemudian mendengar?
Tuhan bersabda
Tuhan menjadikannya

Siapa yang bicara
Siapa kemudian mendengar?
Aku meminta
Tuhan kabulkan semua

Siapa yang bicara
Siapa kemudian mendengar?
Aku dan Tuhanku
Apakah kau tahu?

Kapan Dia akan bicara dan aku dengarkan?
Semua lalu tertutup demi sepasang telinga yang tuli
Aku bukan lagi mendengar lewat nurani
Dia tetap mau mengetuk pintu hati

Masih saja berdiam diri
Tuhan menepuk pundakku
Sekali lagi
Namun aku kelu bisu

Siapa yang bicara?
Siapa kemudian mendengar?
Aku dan Tuhanku
Siapa yang tahu?

Tuesday, August 11, 2009

Jangan Berhenti Berharap

Ada kalanya kita merasa lelah dan menjadi sangat tidak berdaya. Ada kalanya pula kita menjalani hidup dengan setengah hati, setengah jiwa, setengah mati malahan. Ada kalanya kita mencuri-curi waktu untuk mengamati rencana yang tertunda, yang sudah tidak tercapai, atau yang terlupakan.

Seperti halnya pohon besar yang dulunya hanya tanaman kecil, tanpa batang dan akar yang kokoh sebagai pondasinya, kita juga pernah tidak memiliki daya yang kuat untuk menjadi sesuatu yang kita harapkan. Lalu perjalanan waktu, dibantu dengan cahaya, air dan komponen lain, maka tumbuh dan berkuasalah dia dalam hutan yang asing. Maka bersahabatlah dia dengan penghuni-penghuni kehidupan dan merindangi alam.

Proses mendewasakan kita. Entahlah quote yang diciptakan oleh siapa. Tetapi saya sangat menghargai kalimat sederhana tersebut. Proses membuat kita belajar. Belajar mencapai impian. Belajar menghadapi kegagalan. Belajar melihat kenyataan dan menerimanya sebagai suatu kemenangan diri. Tidak pernah kita berhenti, kita berlari di sepanjang pita waktu yang tertulis berbagai proses dan peristiwa di atasnya. Kita pun menorehkan warna-warna, entah yang kelabu, merah membara, kuning bersemangat, atau biru. Tak mungkin kembali pada pita yang tergulung rapi sebagai kitab hidup kita, sebuah jejak nyata bagi pribadi masing-masing.

Lalu tiba pula ganjalan-ganjalan kecil atau besar yang menghalangi langkah kita. Kita seakan-akan dibuat tidak berdaya karenanya. Si pita tersobek di bagian sana dan sini. Lalu kebingungan menyergap kita berkali-kali. Rasa bimbang membuat kita tergelincir, menoleh pada harapan yang kian menjauh. Padahal itu hanyalah sebuah batas. "Batas" itu mampu ditempuh, mampu kita jangkau bukan?

"Maka di manakah harapanku? Siapakah yang melihat adanya harapan bagiku?" (Ayub 17:15)

Harapan itu masih ada. Ada pada Dia, sang khalik pencipta langit dan bumi. Maka Ia memberi kita sebuah pengharapan baru, kepada para ciptaan-Nya jika kita menjadi setia dan berdoa memohon pada-Nya.

"Harapan yang tertunda menyedihkan hati, tetapi keinginan yang terpenuhi adalah pohon kehidupan." (Amsal 13:12)

Siapa yang tidak ingin hidup yang menyenangkan? Siapa yang tidak ingin segala kebutuhannya tercukupi? Siapa yang tidak ingin keinginannya terkabulkan? Maka tidak kamu, tidak juga saya, yang tidak ingin demikian.

Hari ini, beberapa rekan saya bercerita tentang masalah hidup mereka. ada pula yang merasa menjadi manusia yang paling worst sedunia. saya sampai geleng-geleng kepala. Bukannya membohongi diri sendiri, saya berusaha jujur kepada semuanya. saya katakan pada mereka, bahwa tiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, kekecewaan, begitu pula saya. Saya juga tidak luput dari kesalahan dan sempat mengalami masa-masa sulit sepanjang hidup saya yang sudah menumpang hidup 23 tahun di dunia. Saya ceritakan lagi, mengingat lagi masa lalu yang kelam, membuka lagi berbagai lubang hitam di hati yang selama ini sudah saya simpan. Tidak mengapa, karena saya ingin menyampaikan pengharapan pada mereka. Saya ingin menyampaikan bahwa segalanya pasti akan berlalu juga. Dan pada saat itu, nanti, kita akan tersenyum-senyum sendiri menyaksikan kembali betapa bodohnya kita yang saat ini menyesali diri. Kita seperti menggali dan menguburkan diri sendiri. Ini adalah ruang yang kita buat, lalu kita tutup supaya kita tidak bisa merdeka.

Kepada engkau para sahabat jiwa, aku sampaikan... Segala pengharapanmu itu tidaklah cukup berhenti sampai di sini. Engkau masih boleh berharap, masih boleh bermimpi. Harapan itu tidak hilang, mungkin engkau lah yang menyembunyikan, atau lupa di mana kau simpan. Harapan itu tetap ada, teman. Biarlah Tuhan memberikan jalan. Maka kepada kalian semua aku katakan...

Jangan berhenti berharap...

Monday, August 10, 2009

Menghargai apa yang patut dihargai


Beberapa waktu yang lalu saya sempat melihat uang di jalan yang tergeletak begitu saja. Memang jumlahnya hanya seribu rupiah, tapi ternyata selama beberapa langkah ke depan, tidak ada yang mau memungut (mengambil, red) selembar kertas berwarna biru tersebut. Lalu di benak saya, menari-narilah bayangan dua batang wafer coklat (merk tidak dapat disebutkan) yang harga satuannya hanya 'gopek'.

Lantas apa yang terjadi ketika seorang tua renta, nenek yang menggendong bungkusan di punggungnya melewati jalan itu? Si nenek lalu tersenyum dengan sangat bahagia. Dia tidak menggunakan sandalnya, yang hanya di'tenteng' dengan tangan kanannya. Entah untuk alasan apa. Mungkin karena tidak mau sepasang sandal yang ia miliki menjadi cepat rusak, maka dia rela berpanas-panas kaki di sepanjang jalan Jatinangor. Si nenek dengan cepat, tanpa menurunkan bungkusan yang digendongnya, lalu mengambil dan menyimpan selembar uang seribuan tersebut.

Hati saya meringis. Ada sekilas berita numpang lewat di otak saya, berita tentang kemiskinan yang sudah bertahun-tahun melanda negara ini, berita tentang rakyat yang masih banyak hidup di bawah taraf hidup yang layak, berita tentang pengemis dan gelandangan yang kemudian ditangkapi lalu dibawa pergi jauh-jauh dari kota supaya tidak merusak keindahan kota besar, macam Jakarta.

Apa yang bisa saya lakukan kemudian? Tidaklah mungkin rasanya jika saya lalu membiayai hidup ratusan ribu jiwa yang menderita kelaparan atau mereka mahluk-mahluk kecil, generasi penerus bangsa yang tidak berdosa itu saya sekolahkan. Sempat ingin rasanya saya lalu berteriak pada dunia, "berilah kami hidup yang nyaman, masing-masing jiwa yang bersemayam di dunia ini". Tapi dunia pun tidak sanggup menjawab pertanyaan saya. Saya yakin, dunia hanya bisa diam.

Rasa malu beranjak memasuki hati nurani. Terlalu licik bila saya hanya menginginkan dua batang wafer coklat, sementara si nenek renta pengemis itu mungkin bisa makan satu kali, membeli beras untuk keluarganya. Menunduklah saya, terdiam dalam sebaris doa yang saya sampaikan pada Ilahi. Mudah-mudahan doa saya didengar dan kemudian Tuhan Yang Maha Agung mau mengabulkan.

Malam ini juga, saya merasa disentil oleh kejadian yang serupa. Pernahkah Anda merasakan jerih payah Anda ternyata tidak dihargai dengan sepatutnya? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk tujuan yang penting bagi jiwa Anda, namun orang lain hanya mencibir akibat setitik kesalahan yang sulit dihindari? Daripada berpusing-pusing ria, mungkin lebih baik Anda mendengarkan dulu cerita saya dari awalnya.

Pagi ini, saya bangun dalam keadaan rumah kontrakan yang sepi, tanpa satu orang pun. Saya pergi mandi, lalu memasak Indomie untuk menu makan siang saya. Dengan tujuan yang baik, saya ingin belanja kebutuhan supaya saya bisa memasak makan malam untuk rekan-rekan satu kontrakan yang sedang sibuk menjaring mahasiswa baru. Bodohnya saya, saya tidak melihat bahwa anak kunci pintu depan (yang saat itu sedang terkunci), ternyata tergeletak begitu saja di atas meja. Inisiatif tinggi, saya keluar membawa dompet (saja) dan Hp gsm, keluar lewat pintu dapur, mengunci pintunya, lalu pergi ke warung sebelah. Ternyata eh ternyata di sana tidak ada sayur yang menarik untuk dibeli. Pulanglah saya. Sekali lagi, dari pintu dapur. Ternyata eh ternyata (lagi), si kunci tidak bisa dibuka. Siang hari ini sangat terik. Dalam kebingungan, saya lalu pergi saja ke supermarket untuk belanja di sana daripada menunggu yang lain pulang di halaman yang super panas.

Di tengah jalan, saya teringat pada mama yang sekarang sedang dalam pengobatan untuk penyakit batu ginjalnya. Saya kangen sekali. rindu rasanya mendengar suara mama. Ada pula keinginan saya untuk pulang ke rumah, merasakan lagi nikmatnya dilayani di rumah sendiri, menyantap masakan mama yang lezat luar biasa. Lalu saya menelepon mama dan berbincang-bincang sebentar, menanyakan kabar. Hampir menangis, saya menanyakan mama cara memasak sop jagung kesukaan saya. Beliau menjelaskan satu persatu bahan yang harus dibeli plus cara mengolahnya. Sambil mendengarkan suara mama yang terdengar lemah, saya mengambil satu demi satu bahan dari beberapa keranjang yang disediakan di supermarket. Rasanya ingin saya peluk mama saat itu.

Alhasil, saya mendapatkan beberapa bahan, kecuali satu. Telur puyuh! Cerita punya cerita...saya ikut bertemu teman-teman untuk makan siang dulu di dekat gerbang. Lalu barulah saya melanjutkan mencari telur-telur puyuh keramat itu demi menyempurnakan masakan saya. Saya pergi ke supermarket lain membeli telur, plus parutan, en saringan keran (karena ingat air di kontrakan sangat keruh kalau tidak disaring).

Pulang dan sampai ke rumah, saya mulai meracik bahan dan mempersiapkan segala sesuatu. Mencuci, memotong, merebus, mengupas, dan memarut (jagung sebagian diparut, sebagian lagi dipereteli). Di potongan jagung terakhir yang hendak saya parut, si jagung terselip dari tangan. Pada akhirnya jari tengah ini 'terparut' dengan suksesnya. Tapi dengan tegar dan pantang menyerah (lebay mode: ON), saya tetap melanjutkan pekerjaan penting ini. Demi membuat sop jagung kesukaan saya, resep langsung dari mama, karena kerinduan hati saya dan sop ini nanti akan kupersembahkan bagi beliau yang jauh di sana.

Brak..bruk..brak..bruk..setelah dibantu tiga rekan lainnya yang baru bangun tidur, dalam waktu dua jam selesainya semua masakan kami. Nasi putih, dengan telor dadar, plus tempe oseng sambel, dan SOP JAGUNG dambaan saya. Puas rasanya melihat kerja keras ini akhirnya berhasil juga. Makan malam pun siap..ap..ap...

Acara makan bersama dimulai setelah sebagian besar penghuni dan simpatisan sudah datang mengerubungi meja ruang tamu. Saya mengambil semangkuk sop jagung, terpisah dari nasi dan lauk piring saya. Doa saya panjatkan, berterima kasih atas anugerah Allah dan mengirimkan doa bagi mama. Tak disangka tak dinyana, ternyata si sop jagung yang menurut saya super enak, ternyata dianggap aneh oleh beberapa orang (entah berapa banyak yang berpikir demikian). Tanpa ba bi bu, si orang yang dimaksud kemudian mengatakan bahwa daging sapi yang ada di dalamnya terasa aneh. Bahkan seperti belum puas, beliau ini lalu mengambil satu potong, diberikan di piring tetangga, lalu mengatakan dalam bahasa yang tidak saya mengerti (saya tidak menguasai Hokkien) beberapa kalimat sambil saling melemparkan si onggokan daging ke piring satu sama lain. Bagaikan tersambar petir, dada saya nyeri. Tak lama, mata saya yang ikut panas. Tidak bisa ditahan, tetesan air mengerubungi mata berdesakan ingin keluar. Saya pergi ke dapur belakang, menangis sejadi-jadinya tanpa suara sambil memakan semangkuk penuh sop jagung yang tadi sudah saya siapkan untuk saya sendiri sambil dihibur oleh penghiburan tanpa kata oleh salah satu sahabat baik saya.

Kejadian itu membuat saya terkejut sekaligus sedih. Saya kecewa dengan tanggapan yang menurut saya, kurang sopan, mengingat beliau itu tidak membantu proses masak-memasak. Begitu tega beliau men-judge hasil keringat saya selama 2 jam dengan melakukan hal-hal yang tidak terpuji demikian.

Apa yang seharusnya kita hargai, karena di balik sesuatu yang kita lakukan terdapat runtutan proses yang akhirnya mencapai suatu hasil. Apa yang seharusnya kita hargai, karena sesuatu bermakna lebih bagi orang lain daripada sekedar apa yang kita pikirkan. Apa yang seharusnya kita hargai, karena di balik sesuatu itu tersimpan doa, harapan, keinginan, kerinduan, ucapan syukur, dan suka cita.

Ternyata apa yang kita lihat, belum tentu seperti yang terlihat pada dasarnya. Permukaan kasar dari sebatang bambu, akan bermanfaat bila dijadikan tiang jemuran. Warna hitam kue lapis, ternyata sungguh nikmat dimakan dan memiliki lapisan berwarna di dalamnya. Hujan yang mengguyur bumi, ternyata sangat diharapkan oleh petani dan menghasilkan campuran warna bernama pelangi yang menghias langit.

Banyak hal yang seharusnya kita hargai, apapun yang patut kita hargai. Pada dasarnya setiap tingkah laku, setiap tetes embun, setiap bunyi angin berhembus, setiap sinar mentari, setiap kedipan bintang, merupakan kuasa Tuhan. Dia lah yang memiliki akses pada segala sesuatu, dan kita wajib bersyukur terhadap semua itu. Maka saya ingin sekali mengajak kita semua, termasuk saya, untuk belajar menghargai segala sesuatu yang sebenarnya patut dihargai.

Hargailah itu, apa yang ada di depan matamu.

selamat malam dunia

Ingin mengucapkan selamat malam kepada seluruh penjuru dunia, beserta semua penghuni yang saat ini menumpang hidup di bumi. Malam ini berkuasa, terhadap saya, terhadap Anda semua yang sekarang sedang bertekuk lutut melawan kantuk dan akhirnya tunduk di balik selimut. Malam ini dengan hawanya yang menusuk, membuat reka ulang peristiwa hari di benak saya sedikit tersendat-sendat. Saya jadi kepingin juga ikutan tidur dan bersemayam dengan tenang di kasur kebanggaan saya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah hasil pinjaman.

Saya merasakan bahagia. Kemarin merupakan hari yang menggembirakan, karena saya bertemu lagi dua sahabat saya dan kami menghabiskan saturday night bersama. Para wanita muda, yang single, bukan janda. Lalu hari ini akhirnya saya kembali memasuki Gereja. Merasakan lagi nikmat ketika duduk menghadap altar Tuhan yang bersahaja. Pulangnya pun saya secara tidak sengaja (betul-betul tidak sengaja), menyaksikan gerhana bulan yang cantik. Puas rasanya hari ini, setelah seminggu penuh berkutat dengan pikiran sendiri yang kadang menakutkan, kadang juga melemahkan semangat hidup. Sekarang saya merdeka, jiwa saya sudah kian menunjukkan giginya. Saya berkata, "Saya tidak akan menyerah!!!"

Yang paling membuat saya tidak berhenti bersyukur adalah, Tuhan masih memberikan nikmatnya untuk hidup yang entahlah sampai kapan berhenti di penghujungnya. Saat ini saya totally pengangguran, tidak punya banyak kerjaan. Tapi karena itu juga saya bisa membangun keluarga bahagia lagi dengan rekan-rekan seperjuangan di UNPAD, para perwira dan perwiri KMBD.Mereka yang selama ini jarang saya "rusak" kehidupan kostnya, sekarang saya bisa jajah dan obrak-abrik. Bagaimana saya tidak bahagia, bila saya disediakan tumpangan menginap gratis selama sebulan berikut fasilitas-fasilitasnya. Trims berat buat teman-teman KMBD.

Lalu yang kedua yang saya syukuri adalah, orang tua saya masih memperhatikan saya di masa kelam ini. Malah lebih. Sang ayah tercinta, seringkali menanyakan kabar dan memberikan dorongan moril (termasuk materiil tentunya) supaya saya tidak lagi stres. Beliau malah menyarankan saya pulkam a.k.a pulang kampung, yang artinya saya bisa beristirahat dari pekerjaan mencari kerjaan ini. Sudah sekian kali hari Sabtu, tapi lamaran dari lowongan kerja di koran tidak ada satupun yang nyangkut dengan suksesnya. Beliau ini memang betul-betul setia pada anaknya.

Hikmah di balik semua kekelaman ini? Saya jadi tidak lagi anti pada kegagalan, tidaklagi sombong dan ke-PEDE-an menghadapi panggilan interview, tidak lagi suka menyiaka-nyiakan harta (yang tinggal sedikit karena cekak). Belajar dan belajar, seperti sifat dasar manusia pada umumnya. Kalau boleh mengutip kata-kata orang Indonesia, "masih bagus udah lulus kuliah. Masih bagus, bisa hidup dari biaya orang tua. Masih bagus, punya temen-temen yang ternyata menganggur juga," serta masih bagus-masih bagus yang lain. Ada untungnya juga saya lahir, tinggal, dan besar di negara ini yang banyak memberikan excuses.

Rupanya malam semakin larut. Mudah-mudahan rasa syukur ini membuat saya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Tuhan Maha Baik lho, Saudara-saudara... Ini tidak bohong. Kalau Anda tidak percaya, mari berdiskusi dengan saya. Kita temukan bersama kebaikan-kebaikan Dia yang sungguh Agung. Kesempatan ini, saya ucapkan terima kasih pada keluarga, sahabat, koko2 angkat, rekan-rekan, Gereja Hosana, Pendeta Agus yang tadi sore berkotbah, gerhana bulan yang menyentil keimanan saya, serta 24 jam yang saya terima sepanjang hari ini (atau lebih tepatnya "kemarin"). Kalian menyempurnakan saya...

Sunday, August 9, 2009

Arah Angin


Empat dimensi membelah bumi
Pergilah ia ke masing-masing jalannya
Tanpa ujung,lalu membumbung
Arah angin melesat..berkeliaran, ribut, resah

Kutanya pada utara
Ia menunjuk titik tak kasat mata
Kucari,lalu liar berdebar
Aq hilang lagi,tersasar

Timur tertawa
Aq tunduk,layu sendu
Berderak pacu jantung berirama
Ia ingin aq sesat jiwa

Selatan terkekeh
Desau batas kelam makin hitam
Masih ingin menoleh
Tapi lantas lunglai kaki terdiam

Tinggal barat sisa isyarat
Kehendak menggeliat
Meraih onggokan debu yang terjatuh
Tapi ia tetap bisu

Pada arah angin aq bicara.. Bibir mengatup,bagai mati raga. Aq tidak tau dmana dia. Hanya hati yang mampu rasa. Karena kami masih punya cinta. Dalam kebutaan mata angin,tersesat arah. Aq bisa menyalakan ia saat gulita. Bukan di ujung timur,selatan,barat ataupun utara. Ia adalah inti jiwa. Kutemukan dia di sana.

Lalu kukatakan lagi pada arah angin...kalian sudah kalah!

Thursday, August 6, 2009

susahnya menjadi jobseeker

hari ini begitu bangun tidur... yang terpikir adalah, bagaimana bisa mengisi waktu dengan tepat biar semuanya bisa menjadi produktif, supaya saya menjadi manusia yg lebih berguna. Tapi kenyataannya... waktu yg harus diisi, masih kosong dari daftar kegiatan. Dulu, setahun yg lalu, banyak banged kerjaan ngantri di dalem otak... Mulai dari mandi, sarapan, ke kantor, ganti seragam, ngambil kunci di FO, buka executive office, nyalain AC n kompi, ngeprint minutes briefing en meeting, fotokopi minutes, prepare briefing pagi, nyusun surat-surat, ato form untuk ditandatangani oleh GM di office...pokoknya seabrek kerjaan yg bikin sutrisno.

aneh rasanya, karena semua kegiatan harian yg udah terbiasa dijalanin n tersusun rapi tiba2 sekarang ilang begitu aja. Status sementara jadi pengangguran a.k.a jobseeker. Sulit bener hidup di waktu yg 24 jam seharinya kerasa bagai 50 jam. Terlalu banyak bergosip, baca buku, maen gitar, nyanyi2, masak-memasak, dan kegiatan tak penting lainnya. Bangun tidur, ngumpulin nyawa dulu trus otomatis di kaki berjalan ke arah dapur ngambil handuk en mandi. Selanjutnya??? Bingung deh... Bisa aja seharian online, mencari lowongan kerjaan. Bisa juga cuma kumpul-kumpul bareng temen kontrakan. Sore, kalo guru les lagi pengen..bisa lanjut dengan les mandarin 2 jam, lumayan buat ngisi waktu biar makin pinter. Tapi ya begitu-begitu aja. Kurang sreg rasanya, kalo hidup lebih banyak buat maen en ngabisin uang daripada kerja en nerapin ilmu yg dipunya (cieeeh, gaya betul!)

Susahnya jadi pengangguran ya banyak. Salah satunya adalah, keengganan menyusahkan orang tua yg musti terus mengucurkan dana. Kalo udah sekarat, rasanya maluuuuu banged buat minta sumbangan sukarela dari sang ayah. Tapi mau makan dari mana uangnya? Indomie lah yang terpaksa di stock buat menu harian, entah sarapan, makan siang, mpe makan malam, plus dijadiin cemilan2nya sekalian. Jadi kurus? Blom tentu... Karena selama nganggur ini, justru berat badan naik drastis. Bisa-bisa dikira ibu hamil nih, karena lemak-lemak di daerah lengan dan perut menumpuk dengan kejamnya. merubah bentuk badan, dari ideal, jadi sangat-amat-tidak-enak-dilihat. Mimpi jadi model, jauh2 deh perginya...kabur cepet sekali.

Susahnya lagi, kalo mau pergi maen en bersenang-senang selalu dalam perasaan yang tidak nyaman. Ngerasa bersalaaaaah aja tiap mau pergi nonton ato diajak nongkrong bareng sohib. Sambil minum kopi, mikir dalem hati..."nih kopi dibayar dari keringet bokap gw". Sambil nonton di bioskop, mikir dalem ati..." filmnya bagus sih...tapi lebih seru kalo nonton bareng temen2 kantor mustinya". Wah, ribet lah... Banyak pertimbangan en perasaan gak enak.

Nyari kerjaan di tahun 2009 ini ternyata sulidnya minta ampun. Apalagi lulusan ilmu komunikasi. Baru nyadar sekarang, banyak perusahaan masih tidak butuh yg namanya PR ato Humas. Wadoh, kacaw lah kalo musti lintas jurusan. Pengennya sih bisa buka praktik doket gigi, yang menurut temen penghasilannya bisa 28 juta sehari. Siapa yg gak mau coba? Ngerasa salah ambil jurusan dan sedikit menyesal... tapi memang sebenernya gak mungkin sih, secara waktu SMA dulu masuk jurusannya IPS..hahaha... Kejauhan ya kalo musti nyebrang ke sono.

Nah, hari ini sudah ada beberapa lamaran yang aku apply. cukup stress en cape mata. tapi ya, biar Tuhan aja yg nentuin jalannya. Ada juga temen yang nawarin kerjaan.. Jadi sekretaris lagi? Terima aja lah..walopun gak terlalu berniat en minat2 amat. kalo kata orang, "daripada nganggur??!!!" Jadi sekretaris pribadi juga boleh lah. asal calon suami bisa nyiapin uang 2oo ribu sehari, guna kebutuhan rumah tangga yang kian sulit dipenuhi zaman kini. Yang pasti musti bisa ke salon minimal sebulan sekali, makan daging tiap ari, ke mana-mana disopirin atau bawa mobil sndiri, di rumah udah tersedia pembantu. Eeeeh, siapa yang gak mau?!!! Sayangnya, para anak mentri en pajabat tinggi rata2 sudah punya pasangan en inceran masing-masing. Mau ketemu lowongan macam ini juga susah bener. melototin koran tiap hari pari pagi mpe tengah malem juga pasti gak bakalan dapet deh. Memang musti kerja dulu, punya jabatan yang lumayan, trus mulai deh sabet kiri kanan, cari lelaki yang punya posisi bagus di kantor en bermasa depan cerah. hahahaha... namanya juga usaha...

Wah, cukup lah daku berkeluh kesah hari ini. Mau ditangisin nasibnya juga gak bakal tiba2 berubah. Yang penting udah usaha. Mudah2an aja bisa beneran punya jabatan secepetnya, gak cuma menuh2in Indonesia dan menaikkan angka pengangguran negara aja. Amiiin...

Wednesday, August 5, 2009

Ruang Jagal Jiwa

kuserahkan saja pada malam yg kian kelam
Aq meretas renung baru yg meniadakanku
Sesak..
Aq sulit brnapas..susah bicara..mendengar pun lalu tak bisa..
Lari ke mana lagi?
Empat sisi dinding kamar bercat putih ini beku..
Dia jua bisu..
Tak kudengar suara..atau kulihat tangan terulur
Padaku,hanya ada sendu.

Kurasakan bulan beranjak naik
tinggi..
Aq tau itu pasti
Dapat ku cicip waktu yg brdetak
getir......
Terimpit dlm relung ku sendiri
Rekaman nyata ganti brloncatan dalam hati..

Sudah diamlah!
Aq bukan ingin mati.
Kubiarkan kau masih brdenyut,hai nadi!
Kulepaskan kau bebas brkarya,hai jiwa!

Aq hanya ingin meresapi..embun yg perlahan menitiki tepi daun
menyentuh tanah hingga basah
Aq tidak tau harus bagaimana
Ruangan ini menyekatku dalam ketiadaan brtopeng kematian.

Aq ingin diluar sana..
Hanya ingin pergi dari ruang penjagalan jiwa ini
agar aq bisa merdeka!

Friday, July 31, 2009

just 1 day left....

Hari ini sebuah hari yang menakutkan. Bagai maut yang hampir menjemput, aku tidak bisa duduk tenang. Jam sudah menunjukkan angka 12 lebih sepuluh, tapi aku tidak bisa tertidur juga. Lalu aku mulai menulis, mengetik berbaris-baris kata tanpa maksud apa-apa. Aku hanya ingin bersuara, walaupun aku tidak tahu bicara dengan siapa. Untung saja, aku masih mengenal teknologi bernama facebook. Aku bermain-main dengan dunia maya barang sebentar, mengusir kesepian yang tak kunjung hilang. Lima belas menit yang berjalan pelan, siap-siap menyusupkan biru dalam hatiku. Aku kemudian termangu.

Hari ini sebuah hari yang mengerikan. Bagi siapapun yang berada dalam puncak kejayaan, mungkin bisa saja tertawa sembari menyadari waktu yang terus melangkah. Tapi bukan aku. Saat ini aku sedang menghadapi kebimbangan hatiku sendiri, menyadari betapa rapuhnya jiwaku dan keinginanku yang terlalu tinggi. Semua angan sudah terbang, terlalu bebas malah, sehingga satu demi satu kemudian lenyap tanpa jejak. Bekas yang ditinggalkan membuat aku perih. Kelu, seperti diiris sembilu. Aku terlalu banyak diam. Mungkin jejak ini sudah terhapus oleh keadaan.

Hari ini membawa aku pada kenangan, sebagian memang menyakitkan. Keasadaran tinggi ini membuatku mengerti, usiaku semakin berlari kencang, meninggalkan rentetan waktu. Aku bukan lagi seorang aku yang berusia remaja, melebihi dewasa. Sebentar lagi, nafas ini mungkin terhenti. Tidak sedikit orang yang mati muda, pikirku. Mungkin salah satunya, ada namaku yang tercatat di situ. Tapi bukanlah permasalahan usia yang membuatku gentar. Aku hanya tidak mau menerima kekalahanku, sebuah perang melawan diri sendiri. Aku ingin menang. Ini adalah harga mati.
Lalu mau bagaimana lagi? Semua sudah aku jalani. Sepenuh hati, atau separuhnya, aku tidak tahu. Yang pasti, sebuah masa lalu tidak bisa berlalu begitu saja. Ingin rasanya kembali, memutar waktu yang dulu sudah meninggalkan aku dengan kejam. Tidak peduli betapa inginnya aku menghentikan, semua tidak bisa usai. Pada Dia aku ingin mengadu, keluh kesahku sudah terlalu lama kupendam. Aku ingin berteriak pada dunia, mengatakan pada mereka betapa teganya hidup mempermainkan aku, kesetiaanku, keimananku, juga jalan yang aku tempuh. Terlalu banyak air mata, kesakitan, patah hati, kecewa, juga dusta. Semua telah membuat hatiku melepuh. Apakah semua membuat hatiku lalu mati juga?

Aku ingat setahun yang lalu. Masih ingat betul rasanya menjalani nikmat hidup yang serba sempurna. Aku memiliki pekerjaan, setidaknya sebagai mahasiswa. Aku juga memiliki seorang kekasih yang kucinta. Tinggal dalam kehidupan yang serba teratur dan terarah, seakan-akan aku bisa menjadi apa saja yang aku minta. Tak habis-habisnya aku dicurahi keberuntungan, keajaiban, cinta, pelukan, penghargaan, sahabat dekat. Hidup lalu kian tidak bisa kuandalkan, ketika aku memilih jurangku sendiri. Aku mungkin telah salah melangkah. Kusesali itu, hingga saat ini. Perdamaian dengan diri sendiri yang sulit terjadi.

Aku ingin berdamai dengan dunia. Aku ingin berdamai dengan Dia. Aku ingin berdamai
dengan hati.

Maaf, bila aku menjadi sosok yang cengeng. Tersedu-sedu menikmati alunan beberapa lagu. Aku sungguh-sungguh bingung dan tenggelam dalam kesedihan. Entah mengapa semua terasa menyakitkan. Tahun yang kemarin, bukannya tidak kusyukuri…tapi memang aku mengharapkan yang lebih baik lagi menanti di tahun ini.

Hari ini adalah hari terakhirku menikmati usia yang ke 22. Masih dengan segudang pertanyaan, dengan segenap kebimbangan, dengan kesakitanku, aku ingin melangkah maju. Aku hanya ingin meninggalkan masa lalu. Uhm, menulis ini pun membuat aku sedemikian sakit. Aku sendiri pun tidak terlalu mengerti mengapa aku seperti ini, mengalirkan air yang tumpah ruah dari kedua mata.

Aku teringat mama yang sedang buruk kesehatannya. Beliau yang sudah lima tahun ini jarang kujumpai. Saat ini aku hanya ingin berterima kasih, bersujud simpuh di hadapannya, memohon ampun atas ucapan, makian, permusuhan, dan derita hatinya yang kubuat luka. Hari ini, aku berdoa tidak untukku. Tahun ini bukan untukku, Tuhan. Kuingin dia bisa tersenyum ceria lagi, bernyanyi dengan suaranya, berlari sore dengan teman-temannya. Kuingin darah yang dikucurkan ketika melahirkanku 23 tahun yang lalu digantikan dengan kebahagiaan dan kesehatan. Kumohon padaMu, jagalah dia dengan cinta.

Aku juga teringat papa. Sosok yang selalu kupuja itu membuat jemariku kaku. Entah harus berapa banyak ucapan terima kasih yang ingin aku ucapkan baginya. Dialah hidupku. Papa yang lucu, yang bijaksana, yang selalu bisa mendamaikan aku dengan saudara-saudariku, yang gemar merokok walaupun sejuta larangan gencar kami ucapkan. Aku merindukan pijitannya yang kerap kali ada waktu aku letih. Aku rindu merengek padanya, meminta sejumlah uang lagi untuk kebutuhanku yang tidak ada habisnya. Aku rindu menonton pertandingan sepakbola di tv bersama dia. Aku rindu semua tentangnya. Pada Tuhanku, aku meminta kebahagiaan untuk papa. Semoga masih ada cukup waktu bagiku membalas semua cintanya.

Saudara-saudariku yang kukasihi, Septyatha, Novitaria dan Leni Ariani. Pertengkaran demi pertengkaran selalu menyudutkan kami dalam sebuah bentuk persaudaraan yang tidak biasa. Aneh, kami sering sekali saling menghina, benci, marah pada satu sama lain. Tapi aku tidak pernah ingin mereka digantikan oleh siapapun manusia di dunia ini. Aku sesungguhnya mencintai mereka dengan sepenuh jiwa, keduanya adalah anugrah bagiku dan hidupku. Dalam doaku malam ini, kuinginkan mereka terus bersinar bagi satu sama lain. Kuinginkan yang terbaik untuk ketiganya.

Mereka, Elysabeth Simamora dan Depie Proveria. Sahabat terbaikku sepanjang lima tahun belakangan. Tiap air mata, tawa, yang selalu kubagi untuk kalian berdua. Pelukan yang aku perlukan, dukungan yang aku harapkan, cacian yang menyadarkan, senyum yang menandakan ketulusan, apapun bentuk sayang yang mereka beri bagi jiwa. Semua itu membuat aku tetap bernyawa saat ini, membuat aku merangkak naik dari jurang kekelaman yang kadang aku buat sendiri. Terima kasih telah menawarkan sebuah persahabatan yang tidak bisa tersaingi oleh apapun jenis materi. Kumohon Tuhan untuk memberikan curahan kasih bagi mereka, agar tetaplah mereka terus tersenyum dan berbahagia.

Lalu dia, yang begitu tega meninggalkan sebuah janji dan menutup akhir cerita. Dia yang tetap menjadi separuh jiwaku, yang dulu telah kutukar dari sebuah kesetiaan. Dia yang aku tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Dia yang membuatku menangisi malam-malamku selama 7 bulan ini dalam luka. Dia yang membuatku belajar untuk mencintai, juga disakiti. Doaku selalu sama, hingga tak perlu lagi kurangkai kata-kata baru untukNya. Telah kuhapal karena selalu mengalir dari mulutku. Semoga Tuhan menjaga setiap langkahmu, menjaga kesehatanmu, menjaga imanmu, menjaga rejekimu, juga menjaga cinta yang kutitipkan padamu. Namun di malam ini kusisipkan lagi sebaris doa. Semoga Tuhan melimpahi engkau kemudahan, mewujudkan setiap keinginan dan harapan yang engkau cita-citakan. Aku mengerti, kita telah menemukan jalan yang tidak lagi sama. Tapi sebuah cinta yang begitu dalam, tidak pernah menyisakan ruang bagi yang lain. Terima kasih untuk semuanya, setahun lebih yang begitu luar biasa.

Hari ini aku akan menutup usiaku yang ke 22. Aku akan menikmati setiap jengkal waktuku yang tersisa. Aku menghamburkan tangis sebisanya agar sepanjang hari ini akan menjadi sebuah kebahagiaan bagi diri. Tuhan yang maha baik, kumohon Engkau tetap mencintai aku dengan caraMu. Engkau tidak akan pernah meninggalkan aku, aku tahu. Semoga tetap yang terbaiklah yang aku terima dari kasihMu yang tak terhingga.

Di penghujung usiaku yang ke 22, aku mendaraskan janji-janji baru, membayangkan mimpi-mimpi baru, mengharapkan hidup yang baru, bagiku dan segenap jiwaku. Selamat ulang tahun bagi diriku sendiri, Lidya Agusfri. Tetaplah melangkah dengan senyum, kepedihan, kesendirian, kesepian, tawa ceria, kekonyolan, air mata, dan jiwa yang selalu rapuh namun hidup dan berwarna. Aku adalah aku, di usia 22 atau setahun lagi sesudahnya. Semoga berbahagia.

Tuesday, July 14, 2009

9 teman dan peribahasa terbaik

1. Elysabeth Simamora
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Artinya bersakit-sakit dahulu, gangguan jiwa kemudian. Gila gak sih, awal-awalnya sih gak capek karena pake rakit…eh, pas udah deket, malah disuruh berenang. Udah jelas-jelas aku cuma bisa gaya dada…pas nyemplung ke air trus langsung dadaaaaaaah….hehehehe. Si ibeth ini pandai menipu… Awal perjumpaan terlihat kalem kemayu, ternyataaaaa…. Dikau sungguh kejam temanku,hahahaha… Tapi kita sungguh “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Betul?

2. Depie Proveria
“air beriak tanda tak dalam”. Pas banged nih buat depie…orangnya suka teriak-teriak, suaranya kenceng, suka ngomong…tandanya dia memang tak dalam. Kalo diukur kedalamannya, gak nyampe 150 cm, gak berbakat jadi sumur deh…. (hampura deeeph…). Nambah ah buat depie, ada lagi peribahasa lain yaitu “biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Ya gak deph? Biarin aja para lelaki menggonggong, yang penting kita selalu laku (makin gak nyambung!).

3. Leni Ariani
“menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. Makanya, jangan suka menepuk air di dulang. Mendingan menepuk air yang lain. Dia sih suka salah, sering gak konsultasi dulu…harusnya nanya, yang mana air dulang yang mana yang bukan. Trus ya…Kalo memang kedapetan rejeki, musti bisa menciprati ke orang-orang lain, termasuk keluarga dan sodara ”terdekat” (kan sekarang kita tidur bareng sekasur, jadi memang kita yang paling dekat menurut segi geografis ^-^)

4. Novitaria
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Kalo mau tahu si ibu ini, lihatlah anaknya yang bernama Janice Arivi Puji. Anaknya sangat dicintai semua orang, pandai bernyanyi, pinter baca, cantik, modis, pinter nari, pinter ngelucu, imut-imut, selalu bertutur kata yang sopan dan halus, tidak mendengkur kalo tidur, tidak suka ngupil, tidak suka teriak-teriak, tidak pernah memukul orang, tidak pernah merampas milik orang lain, tidak suka nangis kenceng-kenceng…… Nah, silahkan pilih2, mana yang nyata alias realita, mana yang fiksi… hahahahahahahahaha….. Semoga berhasil!!!

5. Abeee
“Bagai punguk merindukan bulan”. Artinya si punguk udah lama banged gak ketemu sama si bulan. Kasian si punguk, cuma bisa ngeliat bulan dari jauh tapi gak bisa ngobrol. Bulannya udah jauh sih, jadi aja gak ketemu-ketemu. Lama-lama punguknya bosen ah, sekarang ngerinduin yang lain aja. Maaf ya laaaan….

6. Eddy Kosasih
“Bagai punguk merindukan bulan (2)”. Bukan berarti gak kreatif dengan persediaan peribahasa, tapi emang ini yang paling tepat. Aku tau banged dengan kecintaan dan kekaguman eek padaku. Selama bertahun-tahun dia memendam perasaannya padaku. Tapi biarlah ya ek… Biar kau terus merindukanku, gak perlu diungkapin, daripada tar lu kecewa…hahahahaha…

7. Yunita Primasari
“Satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”. Betul gak tet? Wahahahahaha… Tidak usah diberikan penjelasan deh. Biar saudara-saudara menebak dan persepsikan sendiri. Pokoknya ini utet sekali…. (aku padamu lah teeeeet….)

8. Melsa Trinita
“Dari mata turun ke hati”. (kayaknya ini gak termasuk peribahasa deh…hahahaha). Kita ganti aja yaaa… uhm, yang tepat mungkin……………………….. “ada udang di balik batu”. Biasanya udang-udang suka banged sembunyi di balik melsa. Bukan berarti melsa punya bau-bau amis yang sama, atau sama-sama tidak punya otak, tapi…dia adalah tempat perlindungan bagi orang-orang. Bagaikan batu yang melindungi para udang dari terpaan sinar mentari yang menyengat dan ombak lautan yang kejam (apaaa siiiiih???). Tapi melsa ini super TOP deh. Satu lagi peribahasanya buat melsa… “Jauh di mata dekat di hati”. Alaaaaaaah….dangdut banged sih.. heehehehehe

9. Yulitriani – Cipan
“sambil menyelam minum air”. Artinya kami bekerja sambil menikmati hiburan (yang tak lain dan tak bukan adalah gossip). Jadi sambil ngapa2in kami sering banget sambil minum-minum. Abis briefing, minum kopi. Abis meeting, minum kopi. Abis makan siang, minum lagi. Di kala itu, gossip memang jadi penghiburan bagi hati kami yang lelah ini….halaaaah!!! Aku merindukanmu ciiii….

Sunday, July 12, 2009

Hubungan antara perempuan-lelaki, atau pacaran-lingkungan???

Duniaku seperti jungkir balik. Persis roller coaster, dibanting ke kiri, ke kanan, diangkat ke atas, didorong ke bawah, jumpalitan tidak kenal sisi mana yang dituju. Perasaanku tidak bisa dikendalikan. Aku bimbang.

Ada yang bertanya pada saya kemarin, apa betul saya mencintai pria satu itu? Cinta? Saya tidak mudah mengatakannya. Cinta itu mungkin sudah susut. Sama seperti kayu yang sudah habis diserut. Lama-kelamaan, tidak lagi tertinggal bentuknya yang utuh, kaku, seperti sebatang kayu. Yang tersisa hanya serutan-serutan kayu, yang berserakan, yang mungkin sudah tidak lagi berguna. Dalam salah satu tulisan, saya mengatakan... "hati layaknya tanaman, yang tidak bisa tumbuh subur jika tidak dirawat. Dia bisa mati jika ditinggal pergi, tidak disiram, hanya disimpan. Hati butuh matahari, sinar yang tidak bisa dia hasilkan sendiri."

Merasakan hati yang sulit mencintai lagi, tidak mudah bagi saya. Menyakitkan karena tiba-tiba kita bisa hilang rasa, "ilfil" kalo kata orang-orang bilang. Entah mengapa dan bagaimana prosesnya. Pernahkah anda, di suatu hari ketika bangun pagi, merasakan bahwa dunia anda tidak lagi sama? Ada yang kosong, ada yang tercecer di suatu tempat, tidak bisa kita temukan kembali. Lalu di hari itu, anda benar-benar malas melakukan segala sesuatu. Anda tidak menyapa pasangan anda, tidak membuat kopi untuk suami tercinta, tidak menyiapkan sepatu untuk suami berangkat kerja, atau tidak pula mengucapkan salam dan memberi kecup sayang kepada istri ketika meninggalkan rumah. Ada yang tahu mengapa? Sebagian mungkin mengatakan, karena kebosanan dan menghadapi rutinitas yang sama setiap hari, kita bisa saja menjadi tiba-tiba tidak punya rasa. Lha...lalu bagaimana dengan saya?

Bosan sudah pasti harus dicoret dari daftar pilihan jawaban untuk kasus saya. Mana mungkin hubungan yang baru seusia minggu bisa terjebak dalam neraka kebosanan? Tampaknya ada alasan khusus untuk itu. Harus bagaimana bila kita tidak tahu apa yang sebenarnya merusak "perasaan" sungguh-sungguh ini? Saya harus tahu. Tidak peduli saya harus bertapa atau menyepi, demi mencari jawabannya. Bila sudah ada alasan, sudah tentu ada jalan keluar yang bisa mengatasi "huru-hara" batin saya.

Pagi ini saya mengecek facebook. Ada foto-foto saya dan pasangan berikut komentar-komentarnya. Gila, semua orang ternyata sangat perhatian dengan hal ini. Concern sekali, sampai2 mendoakan hubungan kami. Saya baru sadar bahwa sebuah hubungan tidak hanya ada antara dua orang yang menjalaninya saja, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar dunia "hubungan khusus"nya. Bisa keluarga, bisa sahabat dan orang terdekat, bisa teman-teman, rekan kerja, atau hanya kenalan lama. Banyak orang lalu ingin tahu perkembangan terbaru, ikut bersorak sorai ketika tanda "jadian" lalu muncul sebagai status terbaru, ikut mendoakan (walaupun ada yang hanya sekedar basa-basi, ada pula yang sungguh-sungguh), ikut sedih bila ternyata hubungan itu tidak berhasil dan putus di tengah jalan. Kita betul-betul terikat dalam society yang katanya bangga dengan status "kekeluargaan". Hah! Tanpa disadari, kita jadi terbawa dalam suasana "wajib menjunjung tinggi harkat, derajat, dan martabat demi kehidupan sosial". Beberapa pasangan, yang sudah menikah juga, tidak berani memutuskan untuk berpisah karena faktor keluarga dan sosial lainnya. Padahal keduanya sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain. Beruntunglah mereka yang pada saat ini sudah tidak lagi demikian,yang pelan-pelan mati dalam tumpukan "nama baik".

Saya juga bingung kenapa hal ini lalu menjadi sedemikian besar, melibatkan banyak orang dan banyak cerita. Sampai-sampai saya ngomong tidak keruan, ngalor-ngidul dalam postingan saya kali ini. Apakah memang sebuah hubungan tidak bisa tulus antara dua orang, tanpa melibatkan orang lain? Ketika ada masalah, keduanya tidak peduli dengan anggapan, sanggahan, pemikiran, cap negatif, yang orang-orang akan berikan kepada mereka. Bila memang harus berakhir, adakah cara yang baik dan tidak menyakitkan bagi semua pihak? Bila memang harus selesai, ke manakah kenangan dan romansa lalu disimpan atau dibuang? Mudah-mudahan hubungan saya ini bisa diselamatkan. Kuserahkan hanya pada Tuhan....

Saturday, July 11, 2009

hati yang mampu memaafkan...sebuah cerita

FX Jakarta, di siang hari yang cerah membuat kaki-kakiku yang hanya terbalut celana super-duper-pendek ini sedikit gemetar. Padahal di luar, matahari sumringah sekali, panas menyengat, walaupun kawasan Senayan tidak sepadat hari biasa.

Di balik kaca-kaca cafe, saya melihat beberapa pengunjung yang sedikit sepi. Waktu makan siang sudah lewat, dan makan malam masih lama datang. Orang lebih senang lalu-lalang, melaksanakan hasrat window shopping ke lantai-lantai atas. Saya nelangsa. Mengingat beberapa bulan yang lalu, saya pernah menapaki tempat ini bersama seorang lelaki. Nelangsa karena apa juga saya tidak berani bicara. Takut salah. Takut ada yang tidak menginterpretasikan dengan betul, memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikrkan. Buat apa, ya kan?

Kedatangan saya ke sini karena ulang tahun salah seorang rekan lama. Rekan lama??? Mungkin kurang tepat. Dulu dia memang seorang yang "dekat" dengan sodara saya. Tapi kemudian, kekesalan saya menjadi dendam pribadi yang sulit hilang. Lha, sekarang mau ketemu...kok bisa? Aneh memang... Tapi saya tidak akan mau bertemu dengan orang ini, dengan menyimpan dendam yang sama seperti dulu kala. cukup sudah hati ini menjadi dengki, menjadi hati yang pemarah, menjadi hati yang tersakiti.

Bila melihat judul ini, hati yang memaafkan... Saya menambahkan "sebuah cerita". Karena saat ini memaafkan bukanlah perkara yang mudah bagi saya. tidak bagi orang yang masih belajar untuk bisa, sekali lagi "belajar untuk bisa" memaafkan. Apa yang paling penting dari pelajaran memaafkan ini? Sebuah cerita, ketika kita bisa memaafkan diri sendiri. Memaafkan objek penderita dari total keseluruhan cerita dari kepedihan, kesedihan, patah hati, sakit, aniaya, atau derita. Inilah aku... cerita ini dimulai dari seorang aku dan akan berakhir ketika aku telah menyadari "aku" inni telah termaafkan.

Lalu sampailah saya, berjalan di mall ini dari lantai paling bawah sampai atas untuk mencari cake ultah, birthday card and gift untuknya, bersama dengan sodara saya. Ketenangan ini begitu menyerap saya menjadi tenteram, tidak terbersit kelam dan dendam. Saya telah memaafkan. Dia dan diri saya. Kami telah dimaafkan sebuah "hati".

Begitu pula dengan kenangan tentang dia, seorang yang menyakiti saya dan mengkhianati cinta saya dengan begitu kejamnya. Fx ini menimbulkan getaran-getaran kedewasaan. Sakit dan pilu ini saya pendam, atau lebih tepatnya, telah hilang terbang. Mungkin beban ini menyenangkan, kadang-kadang saya berterima kasih. Syukur kepada Tuhan. Inilah pelajaran berharga saya hari ini, sebuah cerita untuk saya dan anda semua. Cerita biasa saja tentang sebuah hati..."hati yang memaafkan"...