Thursday, January 29, 2009

saltum niiii...

yak, hari ini bagus banget deh. Pagi2 udah kebangun gara2 mimpi buruk... trus dengan cantiknya debu2 menumpuk di semua barang di kamar. Ternyata daku sudah sekian tahun gak beres2, mpe lupa kapan terakhir kali ngepel. hahaha... Kacau deh!

Akhirnya daku sok gak punya kerjaan, sok punya banyak waktu luang, mulai menyapu (2 kali), trus ngepel, trus nuci piring (satu piring jatoh ke lantai bawah,^0^), dan ngelap2 semua stuffs... Capekkkk banget deh.

Tadi pagi sampe menjelang siang sih keadaan langit ramai lancar, hehehe... Alias tidak ada tanda2 hujan bakal turun. Waktu mau keluar, daku memutuskan untuk pake baju yang sangat minim dan tipis ini yang warnanya ungu maniz plus celana hitam dan sepatu berhak yg oke berat. Ternyata di jalan dooong... Hujan turun lah saudara2!!! Kecele berat... Saltum banget nih.

FYI, daku sedang nongkrong di J.Co ciwalk. Sebelah saya, duduklah tiga orang yang memakai baju2 musim dingin gitu. di depan saya, ada orang2 kantoran yang pake setelan kerja. dan di ujung sebelah kiri, dua orang wanita memakai kaos berbalut jaket. tampaknya asyik sekali punya jaket yaaa untuk saat ini. Aaaaargh... Bodohnya daku!!!

Okey, aku cuma pengen bilang itu aja. Hari ini semua begitu membingungkan. aku kangen pada dirinya... Aku cape ah mikirin dia. Cukup lidya!!! hehehe... Maaf ya jadi ngaco...

Wednesday, January 21, 2009

iseng aja...

waktu lagi iseng... Aku coba nulis beberapa bait. Yg sedikit menunjukkan keputusasaan dan keegoisan. jadinya seperti ini...

Hampir pasti
Kematian mendatangi
Menggiring langkahnya menuju sebuah gerbang
Hitam
Bertuan pada mahluk besar dan tak rupawan

Dia lalu bertanya
Entah pada siapa
Ia memanggil penciptanya
Pada kuasa yang hembuskan nyawa dalam raga

Layakkah aku mati,
Ketika kaki ini masih belum ingin berhenti?
Aku ingin kebebasan
Beri aku sedikit waktu
Aku tak mau menjadi kaku

Lalu kata si empunya dunia
Dalam ragamu, terbaring jiwa tak bernyawa
Walau telah kuberikan nafas kehidupan
Selama ini telah kuberi banyak waktu
Untuk kau mencari di mana Aku

Dan pada akhir kalimatnya, Dia berbisik
Sekarang kuberikan kau kebebasan

Tuesday, January 20, 2009

Udah jadi pelangi...

Dua hari lalu
Tengah hari pukul satu
Wajahnya berubah kaku
Kekasih meninggalkannya terpaku

Dibalut pakaian serba putih
Pada satu persimpangan dia terhenti
Seketika ia menoleh ke kiri
Cintanya tertinggal kini

Perempuan itu sumringah
Bibirnya merah muda
Sinar mentari menimpa rambutnya yang tembaga
Dia lalu tertawa

Hari ini air matanya sudah mengering
Di persimpangan itu tertinggal semua
Dia terbarkan lagi mimpi yang banyak beriring
Lepaskan beban dan ringan melangkah

Globalisasi... oh... globalisasi

Saya baru saja menonton sebuah dokumenter mengenai globalisasi dan utang yang telah dibebankan kepada rakyat Indonesia. Betapa saya baru menyadari bahwa kemiskinan melilit kita demikian erat sampai kita menjadi budak-budak perusahaan raksasa yang berasal dari Negara-negara maju. Sulit memang bila dikaitkan dengan keadaan kita yang tidak menjadi jauh lebih baik setelah beberapa tahun setelah reformasi besar-besaran tahun 1998.
Tahukah anda, bahwa sebuah sepatu yang dijual dengan harga lebih dari satu juta rupiah yang banyak dijual di toko-toko olahraga hanya membayar sekitar lima ribu rupiah dari tiap pasang sepatu, kepada buruh yang sudah bekerja lebih dari 60 jam seminggu? Mungkin tidak banyak yang tahu, karena pada saat ini saya pun baru mendapatkan faktanya. Coba hitung, berapa banyak keuntungan yang diraup oleh para pemilik perusahaan itu dari setiap pasang sepatu yang berhasil dijual alias berhasil kita beli? Busyeeet… Hasilnya adalah sebuah angka luar biasa, walapun sudah dikurangi dengan biaya operasional dan lainnya.
Ketika mengetahui keadaan bahwa para buruh sering kali harus bekerja lembur hanya karena ketakutan dan ancaman pemecatan, maka apa lagi yang bisa kita lakukan sebagai konsumen? Apakah tidak ada kesepakatan dari merek tertentu kepada perusahaan yang mengerjakan proyek raksasa ini? Tentu saja ada, tetapi belum sepenuhnya dijalankan dengan baik.
Mulai dari sekarang, kita bisa mulai dengan tidak mengeluh ketika serikat buruh memblokir jalanan untuk mencari dan berusaha mendapatkan hak mereka. Mereka dipaksa bekerja dengan jatah UMR atau UMK yang tidak pernah cukup untuk membayai pendidikan (karena anggaran pendidikan juga telah dipotong untuk membayar hutang pemerintah) atau kesehatan anak-anak mereka. Mereka terpaksa mencukupi kehidupan mereka dengan gaji sebesar lebih kurang Rp 30.000 sehari. Kebanyakan dari mereka masih terllit utang pribadi dan beban-beban lainnya.
Atau kita juga bisa mempertanyakan suatu produk yang akan kita beli apakah berasal dari pekerja-pekerja yang digaji dengan layak dan bekerja sesuai ketentuan? Mungkin ketika kita memasuki sebuah toko pakaian dengan merek luar biasa mahal, kita bisa memikirkan kembali dari mana benda itu – yang akan kita pakai dengan mudahnya – berasal dan dibuat. Ketika kita sudah bosan dengan suatu barang yang sering kali kita biarkan menjadi onggokan sampah, kita masih bisa menyumbangkannya kepada orang lain yang mungkin sangat-sangat membutuhkannya.
Yang pasti, saya menyetujui penghapusan utang untuk membebaskan kita dari belenggu kemiskinan. Saya menyetujui dibubarkannya raksasa-raksasa penggerak ekonomi seperti IMf dan WTO. Karena dengan cara ini, kita bisa sedikit bernapas lega. Anak dan cucu kitalah yang menanggung kekejaman rezim terdahulu yang meraup dengan rakusnya kucuran dana luar negeri untuk masuk ke kantong-kantong pribadi dan mengembangkan bisnis keluarga. Saya menginginkan Negara yang bebas korupsi, sehingga tidak ada yang dirugikan. Saya menolak segala jenis kekejaman pada rakyat hanya untuk mengembangkan kepopuleran Negara Indonesia sebagai Negara dengan buruh murah, atau tarif rendah.
Dengan semakin banyak orang yang sadar dengan keadaan Negara yang buruk ini, mudah-mudahan kita tidak lagi buta (atau pura-pura buta) dengan orang lain. Perjuangkan kembali hak kita sebagai warga Negara. Dukung kenaikan upah buruh dan tolak kebijakan yang merugikan. HIDUP INDONESIA!!! Saya tetap bangga menjadi bagian Negara ini, apapun juga kenyataannya.

Tuesday, January 13, 2009

aku, kau, dan hujan

Hari ini hujan sudah mengguyur kota bahkan sebelum mentari menerbitkan sinar ke atas kepala. Pagi-pagi benar aku melangkah, menguatkan diri, terlebih lagi hati. Aku duduk dalam bus yang akan membawaku ke sebuah benua tinta dan lautan ilmunya.
Aku disadarkan oleh hujan pagi ini. Air yang tumpah ruah bergerak menyusuri taman monumen kota. Titik-titiknya meluruhkan debu yang menempel pada daun dan tiang-tiang penerangan. Syukur kepada Allah, sebuah pujian sederhana, menghadirkan keeksisan diri akan Tuhanku. Aku hanya mampu berbisik dalam senyum getir yang terbingkai sederhana.
Awan mendung masih menggelayut. Mataku menerawang jauh ke atas langit. Ada bias berwarna merah di balik sejumput kapas di sana. Aku teringat pada raut wajahmu. Raut wajah yang menerbangkan aku ke lain dunia. Dunia berpintu hati dan bernama cinta.
Dalam hitungan hari kau telah pergi. Melangkah ke belahan bumi yang berbeda. Aku begitu merindukanmu. Menghadirkan perih dalam kalbu dan sedikit-sedikit menyentakku terlempar dari kenyataan. Setiap tetes hujan menyiratkan kebutuhanku padamu, seperti bumi yang dahaga akan curahan tangisan langit. Sejuknya udara mengingatkanku pada suaramu saat bersenandung. Bahkan hembusan angin di atas balkon akan menyapaku persis seperti gayamu, lincah dan memberikan kesegaran pada jiwa.
Perjalananku kali ini menyisakan kepedihan. Karena kesendirian tetap pada tempatnya, enggan beranjak dari sudut hati. Aku terus menatap gedung-gedung yang seolah berlari ke belakang. Gedung-gedung dengan kemiringan yang sama, membayang pada kaca-kaca besar jendela bus yang sepi penumpang. Kau sudah memutuskan untuk pergi, membiarkan aku terpaku. Aku tertinggal jauh darimu.
Seketika aroma itu menyergapku. Melayangkan angan kembali pada dirimu. Sawah di pinggiran jalan bebas hambatan mengabur dalam pandangan, tergantikan oleh suasana bau tubuhmu. Indera penglihatanku mati. Lidahku hilang rasa. Kini hanya sensasi aroma yang hadir menepi dalam diri. Bau itu selalu menjadi bahan celaan untukmu dulu. Tapi cintaku juga dibuahi ketika aku memelukmu, menyesakkan keharumanmu dalam paru-paru. Aku lalu menghidup udara sebanyaknya, berusaha melepaskan getir ingatan. Aroma itu kadang-kadang masih datang, hingga aku benar-benar mati raga, bukan hanya rasa dan irama.
Perjalanan ini terasa semakin lama. Semakin mengharukan karena bulir-bulir kenangan. Aku rindu pada segalanya tentangmu. Bagaimana kita saling mengucap salam ketika bertemu, diiringi kecupan ringan pada punggung tanganmu.
Ternyata masih jauh kata henti, aku tetap terbenam memupuk mimpi. Kucoba bersandar dan memalingkan pandangan dari kerapuhan bumi di luar sana. Aku lalu menutup mata, menarik nafas sebisanya. Lalu kau kembali hadir mengikuti udara yang deras mengalir.
Aku ingat pertemuan kita yang luar biasa. Sebenarnya hanya sebuah pertemuan sederhana. Namun begitu mudah aku menjadi sayang padamu. Cukup dua jam perkenalan kita mampu membuatku jatuh cinta. Kita melekat dalam diam di balik basa-basi dan kebisingan manusia sekitar kita. Kau dan aku tidak banyak berkata-kata, hanya saling menyapa lewat hati kita. Ketika aku tertawa, kau menyelipkan senyum tipis dari sudut hatimu, mengirimkan aku kedamaian. Sebuah kedamaian.
Aaah… Akhir-akhir ini hujan sering turun tanpa mengenal kondisi. Dinginnya udara selalu membuat aku tersesat dalam rindu. Malam terangkai tanpa kau, membekukan kaki sekaligus jiwaku. Tak terkecuali hari ini. Kemudian, semenit lalu aku mengaku kalah pada rintik air yang diluapkan oleh angkasa. Aku mulai bersahabat dengan hujan. Karena hujan hari ini adalah hujan yang sama yang kita lalui selama setahun kemarin. Seringkali hujan mengiringi momen-monen kita.
Aku teringat dengan kenyataan. Bus berguncang keras melewati satu undakan terakhir sebelum tujuan. Mungkin hanya tinggal beberapa menit lagi aku terluka, merasakan hatiku menganga karena kesendirian. Aku menatap penumpang lain yang tertidur persis di bangku sebelah. Dia juga duduk sendiri, tapi ada sedikit perbedaan kami. Dia tidur tanpa emosi, meletakkan penatnya beberapa saat. Sedangkan aku berhari-hari tidak pernah tertidur, dicemaskan oleh berbagai emosi. Aku tidak menemukan cara untuk meletakkan kesakitanku.
Tanpa aku sadari, aku menatapnya begitu lama. Mungkin sedikit terpukau dengan keringanan hatinya. Lalu bus ini pun berhenti tepat ketika dia mulai menegakkan kepala dan sedikit kebingungan mencari tahu keberadaan dirinya. Ternyata dia begitu lelap tadi. Aku iri.
Aku mulai menyusuri jalan yang banyak tergenangi. Hujan masih malu-malu untuk berhenti. Beberapa orang mulai berlari melewatiku, enggan kebasahan. Justru aku yang melangkah pelan. Aku ingin merasakan sentuhan hujan, mencari persamaan dengan sentuhan tanganmu yang pernah menghujaniku. Jawabannya adalah, keduanya serupa. Menyentuh cepat tetapi menyusup pelan ke balik lapisan kulit. Tak butuh waktu lama untuk menjadi kuyup. Aku sadar selama ini aku pun kuyup oleh cintamu, perlu waktu untuk mengeringkannya. Untuk melepaskan sepenuhnya rasa dingin saat air atau sentuhanmu meninggalkanku. Keduanya menyisakan sensasi dingin luar biasa.
Malas. Ingin diam. Aku perlu detik-detik yang kukumpulkan dengan sulitnya untuk hanya berhenti. Pikiranku selalu sulit terkendali. Lagi-lagi kaulah yang harus bertanggung jawab telah mengacaukan kewarasanku, meninggalkan aku pada jurang kegilaan. Semua karena sebuah ikatan, sebuah jarak yang luas membentang, juga karena ketidakpercayaan. Kau tidak pernah mengerti arti dari hujan hari ini, begitu pula hujan-hujan sebelumnya.
Hujan adalah kerinduan. Suasana yang tepat untuk membingkai angan. Suasana yang tepat ketika sudah lama aku tidak berbicara pada Tuhan. Hujan adalah kesadaran. Momen yang membawa aku pada keutuhan jiwaku. Momen untuk aku mengerti kerapuhan diri dan hatiku.
Hujan kali ini merengkuh segenap perasaanku, baik kebahagiaan yang hanya sedikit tersisa, sampai ketakutanku dan keresahanku untuk bisa membawamu kembali pulang. Hujan ini membuyarkan harapan, seperti saat jutaan air membuncah ketika menyentuh bumi. Hujan ini adalah diriku. Diriku yang berteman dengan kesendirianku. Aku yang berlarian jatuh, menghantam tanah, menjadi genangan tanpa makna.

Sunday, January 11, 2009

ketika dia bicara

aku mulai menangis,,, karena pedih membayangkan suaranya, bukan karena apa yang sudah dia bicarakan. Ketika dia bicara, aku mulai menangis,,,meratapi perjuangan yang mengiringi langkah kami, karena perjuangan itu dengan kencang mendera sampai kami berhenti.

Aku, di sebuah sisi jurang jiwa. Antara kewarasan dengan kegilaan, mengharap sosok dia datang. Aku cuma ingin berada dekat dengannya, tanpa banyak kata. Kami pernah, duduk diam bersampingan, mendengarkan hati kami dekat terbagi. Aku merindukan masa-masa itu. Ketika kami saling memeluk, tanpa angkuh dan ego, tanpa canggung dan ragu. Kami menjadi satu, tak terbantahkan.

Ketika dunia berbisik, aku kehilangan arah. Dia lenyap, mencari perlindungan pada dunia lain. Dia berharap masa depan datang dengan menyajikan sebuah kata 'kesuksesan'. Aku iri pada dia yang tegar melangkah, tidak menghiraukan kesakitan dan kepedihan, karena sebuah perpisahan. Aku iri pada mereka yang selalu tersenyum dalam doa, bukan seperti rapuh jiwaku yang selalu menangis mengharapkan dia kembali. Aku ingin menjadi nyata saat ini, benar-benar tertawa atau menangis, menanggalkan kepura-puraan diri.

Aku hanya ingin sebuah senyum terbingkai dari wajahnya. Tersaji dalam bentuk yang sulit dilukiskan, yang jarang terbayangkan begitu saja. Aku ingin memeluk raganya, bukan cuma jiwanya. Menghamburkan sejuta sentuhan yang menyiratkan kecintaan, yang dulu seringkali aku lakukan.

Dia sudah jauh dibungkus dalam angan. Sulit kugapai karena jarak, karena komitmen, juga karena keputus-asaan. Aku diam dan dia juga diam. Kami berhenti pada masa ini. Lelah beragumentasi.

Ketika dia berhenti bicara aku mulai tertawa,,,membayangkan kebodohan diri kami. Lalu kami berjalan lagi, menyusuri hidup masing-masing. Tanpa bisa benar-benar berhenti, menyesakkan berbagai memori baru terjalin dalam sebuah hari. Kami bertualang dalam kehidupan. Meletakkan harapan pada Sang Khalik, terus membangun diri.

Thursday, January 1, 2009

precious moment...

wah... ternyata moment-moment berharga saya dengan dia tidak lagi menjadi obat rasa rindu selama beberapa hari ini. Saya tetap menangis mengiringi kepergiannya ke belahan bumi yang sungguh berbeda. Sekarang saya meratapi hidup saya yang jadi semakin sepi tanpa kehadiran dia di dekat saya. Bahkan untuk menghubunginya, saya tidak bisa. Sudah tiga hari saya menunggu... Penuh kekalutan dan kekecewaan, ditambah sedikit penyesalan.

Kamu di mana sekarang? Sedang apakah? Gimana tidurmu? Penyakitmu kambuh lagi? Apa obatnya masih diminum? Gatal2nya sudah berkurang belum? Makan apa kamu hari ini? Siapa yang mijit kalo kamu pegel? Mimpi apa semalem? Kalo bosen, kamu ngapain?

Banyak banget yg pengen aku tanya ke kamu. Tadi siang aku lagi baca cerita2 lucu bareng dua ciciku. Ceritanya sungguh2 lucu karena aku tertawa sekerasnya... Tak disangka, aku malah menangis... Menangis yang benar-benar pilu. Aku tidak bisa lagi tertawa... Aku cuma ingin mendengar suara kamu untuk menenangkan hatiku. Fiuuuuh...

Yang pasti, doa selalu mengiringimu di manapun. Walopun sampe detik ini aku belum tau keadaanmu, aku berharap kamu di sana baik2 saja. Karena aku adalah wanita yang kamu anggap paling perkasa... Aku pasti berjuang menyimpan kamu dalam delapan bulan ini. Kita selalu berharap akhir yang bahagia... Dan aku yakin kita pasti bisa. Amin...

Sekarang aku merasakan, betapa moment yang sudah kita bangun itu ternyata terlalu berharga. Bahkan untuk dikenang, aku harus membayar mahal setiap detiknya. Tentu saja aku membayar dengan kepedihan hati dan deraian air mata. Semua itu, menjadi tombak yang tajam untuk jiwaku. Aku memang butuh dirimu utuk memutar kembali moment itu... Karena tanpa kamu, kesendirian itu makin luas membentang, menyiratkan betapa jauhnya keberadaan diri kita masing-masing.

Selalu, aku mencintaimu sepenuh hatiku...