Tuesday, April 28, 2009

My wish for u...

Dulu sewaktu kecil,kita belajar untuk memiliki cita2. Mereka yg lebih tua slalu bertanya,apa yg kita inginkan ketika sudah menjadi dewasa. Mereka meyakinkan dan berkata kita bisa menjadi apapun yg kita mau bila tiba saatnya. Gantungkan angan stinggi langit atau bintang diangkasa. Namun lama-kelamaan,seiring waktu berjalan,kita lalu hilang rasa dan tidak lagi percaya..

Manusia membuat banyak batasan. Dinding,pagar,jalan,marka,atau tanda. Bahkan pada mereka yg telah berserah nyawa,kita beri ruang untuk kebebasannya. Tapi hidup adalah ruang tanpa sisi atau tepi. Waktu terus bergulung tanpa henti. Mungkin tidak juga ketika kita mati.

Kemana kita tanpa mimpi? Manusia bukan apa2 tanpa angan.. Cukup dg sedikit harapan. Jangan hilang..jangan terbang..

We always need a little magic. And I call it prayer..

Now I pray for your best.Wishing u the stars,moon,dark sky of nite, sun, wind, bright light of day, leaves, sand.. Remember that God's always by your side!

Va dove ti porte ill cuore (melangkahlah kemana hati membawamu)

We'll make not only magic,but miracles..

Sunday, April 26, 2009

bagi para perempuan bangsaku...

“Earning for the Children (Ragat’e Anak)” adalah salah satu karya gabungan dari empat film dokumenter Indonesia yang kemudian diberi judul At Stake (Pertarungan). Film ini diputar di Berlinale Film Festival (Berlin Palas) Februari tahun ini. Memang kesemuanya memiliki benang merah yang sama, yaitu mengangkat cerita tentang perempuan. Kesedihan mengalir ketika ulasan film ini ditayangkan di Metro TV tadi malam. Sumpah, saya menangis waktu menulis ulasan ini, karena saya juga dilahirkan sebagai seorang perempuan.

Nur dan Mira. Mereka adalah pemeran utama yang seharusnya meraih penghargaan sekelas Academy Award. Pekalongan adalah tempat syuting film tersebut, kota kecil yang tidak lebih maju dari daerah asal saya (Palembang) dan kota tempat saya tinggal kini, Bandung. Mereka adalah pekerja-pekerja seks komersil yang menjajakan diri di sebuah sudut kota Pekalongan, tempat orang-orang yang sudah meninggal disemayamkan untuk selamanya, daerah pekuburan.

Bisa? Tentu saja bisa. Buktinya mereka dengan nyaman bergerilya dengan hidup mereka, di sekitar kuburan-kuburan Tionghua. Berapa banyak jumlah perempuannya? Sekitar 80 orang yang aktif berdagang dengan lelaki. Umur berapa saja? Dari 20 tahun sampai 50an tahun. WOW… Fantastis untuk ukuran seorang PSK. Berapa tarif mereka? Jangan terkejut, jangan pula tercengang. Mereka hanya dibayar Rp. 10.000 untuk kali berhubungan. OH MY GOOOSSSH!!! Saya langsung tutup mulut dan merasa ngeri. Kurang kaget apa saya jadinya? Kurang miris gimana? Berapa banyak dalam semalam mereka melayani pria-pria (bajingan)? Dua sampai empat orang… Sekali lagi, OH MY GOOOOSSSSH!!! Kali ini saya memukul-mukul kepala sendiri.

Anda mungkin tidak ragu-ragu ingin marah melihat perempuan-perempuan itu menjual dirinya untuk harga yang tidak lebih mahal dari makan malam saya (yang biasanya saya habiskan dalam waktu 20 menit). Saya tinggal nge-kost di daerah universitas swasta yang lumayan mahal, tentu saja biaya makan dan lain-lain jadi lebih mahal di bandingkan dengan daerah kost universitas negri. Uhm… Jantung saya langsung tidak bisa berdetak pelan. Keringat membasahi telapak tangan walaupun udara dingin. Perasaan campur aduk ada di dalam diri saya.

Tapi jangan marah dulu, Anda harus melihat apa yang dilakukan mereka pada siang hari. Mereka BEKERJA!!! Tetap bekerja sebagai pemecah batu. Satu waktu, film ini sedang menyorot kegiatan Nur memecah batu bersama anak bungsunya yang perempuan. Tangannya tidak sengaja terluka karena terpukul palu. Telunjuk kirinya berdarah. Tapi Nur tidak menghentikan pekerjaannya barang semenit pun. Dia tetap mengambil bebatuan di sebelahnya dan terus memecah batu. Tidak sakitkah itu? Padahal kalau terjepit pintu, saya langsung menangis atau malah memaki-maki. Melihat itu, hati saya pun melunak. Mata saya berair, bukan karena saya memang lagi sakit mata (kebetulan sudah 3 hari). Sedih dan pilu sekali rasanya melihat dia yang luar biasa tabah menjalani hidup tiga sisi, siang sebagai pemecah batu, malam sebagai penjaja seks, dan pekerjaan seumur hidup sebagai seorang ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil.

Dengan alasan perjuangan hidup, mereka lalu meletakkan kehormatan mereka di tempat yang sangat rendah. Dengan ukuran ekonomi, mereka lalu membiarkan tubuhnya dikerjai oleh lelaki. Saya menghapus air mata, geleng-geleng sambil mengelus dada. Apa saya bisa membantu mereka-mereka itu, Nur dan Maya serta yang lainnya? Mungkin memang tidak ada, karena boro-boro membantu, kenal saja tidak.

Saya tahu dan mengerti sekali, mereka pasti akan memilih bisa hidup nyaman tanpa harus bekerja semacam itu. Mengingat betapa susahnya mendapat pekerjaan yang baik di tempat terkecil begitu, rasanya tidak mungkin mereka serta-merta meninggalkan sumber nafkahnya. Kisruh hidup mereka tidak bisa hilang karena uang. Mereka percaya, inilah yang harus mereka jalani jadi cukup bertabah hati saja.

Ngomong-ngomong soal penghargaan diri, maaf kalau saya melenceng sedikit dari ulasan film tadi. Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang betapa berharganya seorang perempuan sebagai manusia yang berkewajiban mengandung dan melahirkan.

Seringkali saya pernah melihat seorang perempuan menggendong bayi di dalam angkutan umum. Dua-tiga kali saya melihat ibu-ibu dengan tanpa ragu membuka sebagian pakaiannya dan menyusui anak mereka. Dadanya terlihat, menggantung penuh dan jelas. Orang sekitar menjadi risih, serba salah, kikuk, bingung. Ada yang tertunduk, ada yang diam-diam mengamati, ada juga yang tidak diam-diam ikut mengamati, ada yang memandang jijik, ada yang memandang kesal, ada yang langsung tertegun, ada yang kaget. Tapi jarang sekali, bahkan belum pernah saya lihat (mungkin anda pernah), ada orang yang memandang kagum lalu tersenyum pada si pemberi ASI alias si ibu yang menyusui anaknya. Pernah satu kali malahan, seorang ibu yang berbuat hal itu turun terlebih dahulu dari saya. Dua orang lelaki dan perempuan yang duduk di sebelah saya mencibir dan mengomentari si ibu tadi. Kurang sopanlah, tidak tahu situasi lah, tidak berpendidikanlah, dan sebagainya.

Sebenarnya saya sangat mengagung-agungkan seorang ibu dan perjuangannya menjadi ibu, termasuk menyusui bayi. Tapi saya juga tidak bisa menerima keadaan semacam ini, dimana wanita “memajang” bagian dadanya di depan umum, walaupun dengan tujuan sangat mulia. Tiga ibu yang pernah saya temui, kebetulan semuanya tidak memakai semacam kain penutup atau penghalang pandangan apapun. Padahal mereka bisa saja menutupinya dengan kain bukan? Saya pernah lho melihat ibu-ibu lain melakukannya, tapi dengan lebih terhormat. Entah mereka sudah biasa atau merasa malu atau tidak merasa atau tidak peduli. Saya Cuma bisa gigit jari, dan malu dengan diri saya sendiri. Bukankah seharusnya mereka menghargai diri sendiri, menghargai keindahan mereka, menghargai tanggung jawab untuk melahirkan dan menyusui???

Lebih baik kita kembali lagi pada si cerita Nur dan Mira. Ada lagi adegan yang membuat saya naik darah. Seorang lelaki diwawancara mengenai keadaan tempat itu. Dia adalah preman penguasa, begitu ceritanya. Dengan gamblang dia menjelaskan ini dan itu, termasuk kebiasaan mereka untuk menjadikan salah satu perempuan sebagai gundik, bahkan ada yang punya lebih dari satu. Ada juga pria lain yang kemudian mengoceh tentang perempuan yang sudah seharusnya dijadikan pemuas nafsu mereka. Dia bicara seperti tidak memiliki otak, tidak memiliki anak perempuan, tidak pernah punya ibu, tidak diberi akal, tidak seperti manusia lah pokoknya. “Wanita itu ya harusnya begitu. Di sini kalau ada yang baru, ya dicicipi dulu. Kalau enak, ya lanjut. Kan pertamanya kita melihat saja, berikutnya harus mencoba. Kelihatannya bagus, belum tentu kalau dicoba memang beneran enak,” begitu kira-kira isi bualannya. Sempat lagi si pria pertama bilang, “itu namanya test drive”.

Saya langsung saja memaki-maki. @#$%^&*!@$%^&*! Kurang ajar bener tuh pria-pria bodoh, dalam hati saya. Namun apa boleh buat, ketiadaan empati lantas membuat mereka menjadi tiada malu lagi untuk berbicara seperti itu di depan kamera. Mereka juga menjadi tiada rasa takut, tiada rasa risih. Sampai kapanpun, mereka meletakkan perempuan di bawah kaki mereka, berderajat tidak sama, mungkin bisa dibilang tidak menghargai sedikit pun seorang wanita dan menganggap mereka layaknya barang yang bisa dipakai, disimpan, lalu dibuang begitu saja.

Saya melemahkan jemari, menulis tanpa henti membuat mata saya lelah. Lalu saya sejenak meratapi perjalanan hidup saya sebagai seorang wanita. Diskriminasi yang tidak begitu kentara memang, karena saya tinggal di sebuah kota yang menjanjikan pendidikan bagi mereka yang tinggal di sana. Tapi tidak juga menihilkan ketimpangan-ketimpangan antara lelaki dan perempuan. Ada saja cerita-cerita bagaimana saya diperlakukan kurang adil, kurang sopan, kurang dihargai, dan sebagainya.

Namun bagi Anda, para ibu, saudara-saudara wanita, tante, nenek, sahabat-sahabat arisan, tetangga, penjual pecel, penjual nasi kuning di pasar, mahasiswa, guru, tukang cuci, pembantu rumah tangga, pramuniaga, pramugari, pramusaji, sales promotion girl, polisi wanita, dan perempuan-perempuan dengan titel apapun… Saya berikan penghormatan yang paling tinggi untuk perjuangan kita sebagai perempuan yang mengindahkan dunia, yang memberikan kelahiran, yang mengerti merawat rumah, yang lincah mengasuh anak, yang suka menangis, yang cantik, yang lemah lembut, yang meratui hidup. Kita adalah perempuan bangsa, dan saya bangga.

Selamat Hari Kartini
21 April 2009
Lidya - seorang perempuan Indonesia

Thursday, April 9, 2009

carpe diem (2'nd part.. END)

Blok berikutnya, aku berbelok ke kiri. Aku lantas melintas ke seberang, menuju sebuah flat tiga lantai berwarna abu-abu, berjendela dua di tiap lantainya. Pintunya terlihat begitu kecil sekarang. Entah karena aku memang masih jauh dari sana atau memang ukurannya berubah begitu saja dalam kepala, efek dari sensasi senang yang berlebihan. Dua orang, sepasang lelaki dan perempuan baru saja keluar dari sana, saling merangkul dan merengkuh. Sedikit kecemburuan terbit di dalam hati, mengingat hampir tidak ada satu pun kenanganku seperti yang mereka lakukan sekarang saat melangkah keluar dari pintu itu.

Untungnya mereka menuju ke arah yang lainnya, jadi kami tidak perlu berpapasan dan aku juga tidak perlu melihat raut penuh cinta yang mereka tampilkan. Aku tidak mengurangi kecepatan, terus bergerak dan menyemangati diri yang sebenarnya sudah memaksa ingin berhenti. Sudah dekat. Kini pintu itu telah kembali dalam ukuran normalnya di hadapanku. Dekat sekali rasanya, sampai-sampai aku bisa membaui kertas itu dan tinta yang menempel di atasnya. Kertas dan tetesan tinta yang melengkapi perjalananku, melengkapi lagi jiwaku.

Dengan pintu itu kini aku berhadapan. Sebuah keputusan yang sudah lama aku nantikan, terletak persis di baliknya. Aku memutar kenop pintu perlahan, membatasi gerakan dan keinginanku untuk lebih cepat lagi menemui kenyataan. Karena hatiku menginginkan untuk menikmati setiap detik menuju saat itu, menikmati debaran jantung yang berdegup keras, menikmati angan yang melayang-layang, menikmati momen-momen yang sampai kapanpun akan aku kenang. Kenikmatan luar biasa mengaliri setiap pembuluh darah ketika aku melihat tanda merah di depan kotak suratku. Tanda itu mengisyaratkan bahwa ada sebuah kiriman di dalamnya. Kotak kecil itu berukuran 50x50 cm dan panjang ke dalam, dengan sebuah tangkai kecil berbahan logam.

Aku menarik kotak nomer 202 milikku dengan hati-hati. Sebuah amplop coklat mengacaukan pikiran, membuyarkan konsentrasi sehingga aku terpaksa mengeja dengan teramat pelan baris demi baris tulisan di halaman depan. Namaku tertera disitu, lengkap dengan alamat tempat tinggalku di flat ini. Aku lantas membaliknya, melihat sang pengirim dan pada momen berikutnya kekuatanku benar-benar habis, mengirimkan aku pada lantai berlapis kayu koridor itu. Aku terduduk di sana, entah untuk berapa lama.

Pada akhirnya, kubuka segel yang merekat pada pinggirnya. Dua lembar tulisan yang diketik rapi harusnya cukup terbaca. Tapi air mata yang menggenang membuatnya buram. Aku lantas menyapu sudut mataku yang basah, membiarkan air mata itu jatuh berderai. Kemampuan melihatku membaik dan aku mulai membaca satu persatu kata yang terangkai di sana.

Lembaran pertama berisi ucapan selamat atas keberhasilanku menyelesaikan program studiku yang telah didanai, tepat pada waktunya. Tiga tahun yang aku jalani penuh beban kini menguap bebas. Debar jantung pun seakan-akan berhenti melihat lembaran berikutnya. Sebuah tanggal tertera di situ, tanggal kepulanganku. Tanggal kebebasanku. Tanggal yang aku hitung dan nantikan hari demi hari sejak pertama berada di kota ini.

-o-0-o-

Bandung, 1 Agustus 2008. Kini aku kembali pada tanah kelahiran yang sejuk dan tenang. Di atas sebuah bukit, aku menikmati senja yang membaur, mewarnai langit menjadi merah menyala, berbatasan dengan biru yang makin kelabu di ujung cakrawala. Perlahan-lahan udara membeku, memeluk aku yang diam tanpa kata. Melayangkan kembali ribuan waktu yang berjalan sebelumnya, detik-detik yang terangkai menjadi memori berbingkai mimpi. Aku kelu, menyaksikan kehadiran anak-anak yang tertawa dan bercanda dengan bahasa yang sama, bahasa ibu yang kupelajari sejak 22 tahun yang lalu. Hari ini, adalah tepat hari ini. Hari ini aku menginjakkan kaki lagi pada bumi, bukan sekedar tanah tempat orang-orang sekitarku berada. Inilah bumi yang aku kenal sejak lahir ke dunia.

Lalu apa yang terjadi pada esok hari? Setelah segala masa yang kualami semenjak tiga tahun terakhir yang penuh dengan isakan dan tangisan serta segukan hampir setiap malam. Esok hari, adalah tepat hari esok. Kurang tujuh jam lagi dari sekarang, segalanya mungkin akan berubah. Orang-orang akan menuliskan tanggal yang berbeda, mengulangi rutinitas mereka, mengerjakan sedikit lagi tanggung jawabnya, belajar di sekolah, atau hanya mengisinya tanpa makna. Hari ini, walaupun hanya sedikit tersisa, aku akan menikmati menjadi diriku yang telah pulang ke dunia.

Hari ini aku sudah melewati jalan-jalan yang membentang, pergi ke sana kemari. Hari ini membawa aku dalam ketenangan luar biasa, kenikmatan penuh, dan kesadaran total mengenai diri. Kelelahan jiwaku tergantikan dengan keindahan tempat ini. Kekosongan yang telah menenggelamkanku pada sendu, terisi dengan alunan cantik nuansa ini. Kemarin aku masih meringkuk dalam kesendirian, di balik selimut biru di sebuah flat nun jauh di sana. Kini, pada detik yang tersisa ribuan jumlahnya, aku menegakkan kepala menghadap dunia yang aku rindukan sekian lama.

“Lara, ayo kita pulang,” suara berat itu memanggil dan menggenggam tanganku lebih erat.

Pasangan jiwaku kini aku temukan dalam wujudnya yang telah utuh kembali. Dia adalah bayanganku sampai dengan akhir hari. Kucondongkan badanku semakin dekat, memeluk segenap raganya berikut jiwa yang ada. Tak akan aku habiskan waktuku tersia-sia, tidak kali ini. Tidak hari ini.

Kulihat jam di lengan yang berwarna perak, serasi dengan terusan putih yang aku kenakan. Jarum yang lebih panjang kini menunjuk angka dua, berarti sudah lewat sepuluh menit dari pukul lima. Aku masih punya banyak waktu untuk mengumpulkan kembali kenangan dan masa. Tapi lalu aku berkata, “Lima menit lagi lalu kita boleh bergegas pergi”.

Carpe Diem, Quam Minimum Credula Postero
. Hiduplah untuk hari ini, jangan terlalu percaya pada esok. Raihlah hari yang tersisa.

Monday, April 6, 2009

carpediem (1'st part)

Dua kupu-kupu itu berlarian dari rumpun bunga satu ke bunga yang lain. Kupu-kupu kecil yang lincah, menari-nari menikmati angin yang terbang dengan cantik menyapa beberapa pejalan kaki yang singgah. Satu berwarna kuning muda, yang lain berwarna putih dengan sedikit corak abu-abu di ujung sayap kecilnya.

Jam di tanganku menunjuk angka sepuluh dan angka satu. “Baru lima menit,” pikirku. Aku masih ingin santai sejenak menyesapi udara yang jarang sekali segar. Biasanya lembab, di musim dingin seperti saat ini. Tapi hari ini entah mengapa matahari tidak gentar menunjukkan kegarangan, menyinari terik pohon-pohon yang seolah menunduk, ingin menghindari sengatannya. Termasuk aku, menikmati udara tetapi tetap mencari perlindungan kepada pohon tua berusia puluhan tahun salah satunya.

Bahuku terasa berat dan kakiku terasa lemah. Ternyata usia muda tak membuat aku mampu membawa buku-buku tebal dalam tasku untuk waktu yang lama. Aku memutuskan untuk duduk saja, membiarkan kakiku meluruskan lagi bentuknya yang kaku, daripada berdiri terus dan bersandar terlalu lama. Sepuluh menit lagi, tidak akan terlalu terlambat.

Saat aku melihat kupu-kupu yang berkejaran itu, aku serasa hanyut dan ingin bergabung. Mungkin terbang menjadi cara yang baik untuk meletakkan sedikit beban. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya sayap walaupun kecil dan aku ingat bahwa ketinggian menjadi salah satu kelemahan terbesarku selama ini. Bahkan untuk bermain kursi ayun, aku tak berani. Jadi pasti bukan terbang caranya. Aku pasti tidak bisa.

Keadaan di sekitar bisa saja membuat aku lengah, lantas aku disibukkan dengan menjadi angin atau menjadi daun gemerisik, sehingga aku sering kali lupa waktu. Tapi tidak kali ini. Tidak mungkin aku lengah saat ini.

Lima menit berlalu begitu cepat. Kulirik jamku yang berwarna tembaga, serasi dengan kemeja cokelat muda yang aku kenakan hari ini. Jarum yang lebih panjang kini menunjuk angka dua, berarti sudah lewat sepuluh menit dari pukul sepuluh. Aku masih punya sedikit waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga yang hampir tersisa hanya setengah. Lima menit lagi dan aku harus bergegas pergi.

Aku masih bisa melihat kupu-kupu itu bermesraan satu sama lain. Kadang-kadang yang satu akan hinggap di atas pasangannya. Mungkin mereka sedang bermain saja. Entah mereka memang memadu kasih. Aku membersitkan senyum yang tulus, mendoakan mereka. Kuharap mereka akan baik-baik saja. Setidaknya mereka bisa menikmati kebebasan seperti seharusnya.

Dua menit lagi aku habiskan untuk ikut merasakan kegembiraan. Kini aku benar-benar berharap bisa terbang, melupakan sedikit cara berpikir rasional seorang manusia. Aku membayangkan tubuhku menyusut, lalu sepasang sayap mungil tumbuh menghiasi punggungku, kemudian perlahan aku terbang melintas dan mengganggu kesenangan mereka. Kalau boleh memilih, aku akan mewarnai bagian sayapku dengan sedikit warna jingga, bercampur ungu. Mungkin semangat yang terpancar di balik warna oranye akan menutupi sisi gelap yang aku miliki. Ungu terlalu terkesan sedih. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang cantik tapi penuh rahasia, karena aku yakin setiap manusia memiliki sisi gelap hidupnya. Sebuah rahasia yang tidak semua orang mengetahuinya.

Aku tidak lagi berkhayal terlalu jauh. Masalah menjadi kupu-kupu ini tidak membuat aku terlalu lupa diri, karena aku memang harus pergi. Sudah cukup aku mengisi kembali kekuatanku untuk berjalan yang tersisa hanya beberapa meter lagi. Dua blok dari sini, aku akan menemukan jawabannya. Tinggal dua blok lagi.

Rumput kering menempel di celana panjang berwarna hitamku. Beberapa di antaranya berhasil terselip dengan mudah di sepatu yang bagian depannya sedikit terbuka itu. Aku bangkit, menepuk-nepuk pantatku, membersihkan celana bagian bawahku, lalu sedikit rumput kering kecil di sepatu. Lalu aku pun melangkah, mengayunkan kaki dengan semangat. Kecepatan langkah membuatku tampak seperti sedang melompat-lompat. Persis anak kecil yang kegirangan setelah membeli es krim rasa stroberi di tengah hari. Buku-buku tebal dan beberapa dokumen di tas ikut melonjak-lonjak, menimbulkan sedikit sensasi aneh pada bahu kiriku. Kadang terlalu berat, kadang tidak terasa. Aku cuma tertawa.

Lalu aku berpapasan dengan seorang wanita tua dengan rambut yang seluruhnya memutih karena usia. Padanya aku sedikit menundukkan kepala dan memasang senyum semanis aku bisa. Dia lalu mengangguk dan membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya. Pada saat dia menjajari langkahku, dia berhenti lalu menepuk pundakku sekali. Aku melihat senyumnya makin lebar, hampir seperti sebuah seringai yang agak dipaksakan. Mungkin dia jarang sekali bertemu orang seramah aku. Aku jadi salah tingkah dan cepat-cepat pergi. Ketika melangkah tiga kali, aku berbalik dan melambai padanya. Kuucapkan sebuah salam, sampai jumpa lagi. Dia tidak membalas dalam kata, hanya menaikkan sebelah tangannya dan melambai kaku. Begitu kaku, seperti tidak memiliki daya untuk menggerakan tangan ke kanan dan ke kiri. Dalam hati aku berkata, “mungkin kita tidak akan berjumpa lagi.”

Tidak lama lagi. Tidak sampai setengah jam lagi.

Aku memegang bagian bawah tasku untuk mengurangi rasa pegal yang berdenyut di bahu. Kutahan saat aku berjalan, sambil menambah kecepatan. Aku tidak ingin membuang waktu. Aku tahu saatnya sebentar lagi. Ketika itu, aku boleh berjalan lebih pelan. Ketika itu, aku boleh berjalan-jalan santai di taman. Ketika itu, aku boleh menghabiskan masa untuk melakukan apa saja. Tidak sekarang. Tidak saat ini. Karena hanya tinggal sebentar saja.

Di sebelah kanan jalan setelah belokan pertama, gedung-gedung tinggi yang berwarna gelap tidak memaku semangatku. Kapan-kapan aku akan menikmati redupnya tempat ini, sebuah blok yang terkesan kusam. Aku sering sekali melewati jalan ini, terutama setelah menyantap makan malam di dekat taman. Ada sebuah restoran yang menyajikan masakan dengan menu makanan laut. Itu adalah tempat favoritku untuk duduk berlama-lama, memesan kopi setelah makan dan membaca buku apa saja. Kadang-kadang aku bahkan baru beranjak setelah seorang pelayanan lelaki yang aku kenal sibuk mengangkat kursi untuk menutup restoran. Larut sekali.

Tiga tahun yang lalu, tempat ini begitu asing. Kendaraan jarang melintas, berbeda dengan tempat tinggalku yang dulu, penuh dengan asap berwarna kelabu. Pepohonan di sini rindang, berbaris dengan anggun di tepi jalan. Trotoarnya lebar-lebar, hampir semua orang yang tinggal di daerah sini pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Deretan toko kecil mulai dari mini market, penyedia peralatan listrik, toko buku, toko souvenir, dan pakaian juga menghiasi jalan dengan kaca-kaca besarnya. Belum lagi udaranya yang sempat membuat aku harus menderita flu dua atau tiga kali dalam sebulan. Aku mengingat tahun pertama yang kurang menyenangkan itu.

Lalu kini, aroma euforia memenuhi kantung udara dalam tubuhku. Sengatan semangat yang begitu terasa, menaikkan tekanan darahku dan membuat jantung ini terasa lebih cepat berdenyut, seakan-akan mendesak rusuk dan ingin melompat keluar. Kaki ini pun digerakkan oleh jiwa yang hadir begitu saja, bukan jiwaku yang seperti biasa. Jiwa seorang yang penuh harapan, sebuah kata benda yang jarang sekali aku masukan dalam kamus hari-hariku belakangan ini.

Sebentar lagi. Mungkin pada saat itu, jantung ini benar-benar copot dari kungkungannya. Mungkin pada sebentar lagi yang aku punya, kaki ini justru melemah, mendaratkan aku pada lantai kayu di balik pintu. Mungkin pada saat itu, aroma euforia meningkat menjadi sebuah istilah yang jauh melebihinya, yang tidak satu kata pun mampu menjelaskan. Lima belas menit lagi, bila aku terus melangkah dalam kecepatan seperti ini. Itu berarti, hanya sembilan ratus detik dari ribuan detik yang aku punya hari ini.