Wednesday, September 23, 2009

Salam Langit Untuk Bumi,,,the story,,,

Hidungku memerah. Dinginnya cuaca pagi ini membuat aku gemetar. Kakiku malas bergerak, meringkuk dengan nyaman di balik selimut tua berwarna jingga. Tak sejumput pun awan melintas di langit. Ayam baru saja riuh berkokok, bersahutan satu sama lain di tempat yang jauh namun tetap bergaung sampai ke beranda rumah ini. Warna biru muda mulai memudar di langit, menuaikan warna-warna baru menyambut matahari yang terlihat megah berpendar.

Angin lalu berhembus, menyusup pelan ke balik jejaring selimut tua jingga. Aku merinding diterpa angin gunung yang tidak pelan tidak juga kencang, tapi tetap dengan dinginnya yang luar biasa bagi mahluk kota seperti aku. Baru tadi malam aku sampai ke sini. Rumah ini tersembunyi dari kekejaman metropolitan, asap kendaraan, sampah, banjir, macet, dan tetap tegar berdiri selama puluhan tahun lamanya. Kayu yang menyusun lantainya masih berwarna cokelat cerah. Ini adalah kali pertama aku kembali ke sini setelah dua puluh tahun belakangan. Pak Tanto dan keluarganya yang tinggal di pondok belakang setiap hari merawat rumah ini. Walaupun umurnya sudah melebihi setengah abad, tapi Pak Tanto dan keluarganya dengan setia menjaga rumah tua peninggalan tiga generasi. Rumputnya terpangkas rapi, tidak ada debu di perabotan, dan segalanya masih tertata dengan apik dan indah.

Kereta memori melintas dengan kudanya yang memacu kencang dalam batin. Keluh kesah milikku teredam. Aku lalu mengingat satu nama, Asih. Asih yang lincah bergerak di balik berbagai panci dan abu. Asih yang seringkali memakai gaunnya yang kepanjangan, menyapu setiap jengkal sudut rumah ini. Asih yang selalu tersenyum manis ketika menemukan permen yang tersembunyi di balik rak buku, atau menangis ketika melihat foto tua peninggalan orang tuanya. Dia yang tertinggal dalam serangkaian kenangan milikku yang sedikit kelu.

Suara yang tidak pernah aku lupakan, dengan keceriaannya tersendiri, dengan nada yang mengalun riuh. Suaranyalah yang aku rindukan beberapa hari belakangan ini. Asih, suaranya, kelakuannya, kepolosannya. Asih, seorang teman yang pada akhirnya kucinta.

Tiga puluh tahunan yang lalu. Aku hanyalah seorang lelaki yang baru akan beranjak remaja. Aku yang menikmati setiap sore dengan sepeda, menyusuri tanah merah berbatu di sekitaran rumah. Tanpa saudara, aku cukup santai menikmati hari-hariku dengan kesendirian yang tidak bisa ditebus dengan kehadiran seorang kakak atau adik. Aku terbiasa melakukan segalanya sendiri, tidak menuntut bantuan seseorang, atau meminta pertimbangan orang lain. Ayah dan Ibu cukup tahu, bahwa aku puas dan mampu hidup sendiri. Makanan selalu disiapkan oleh Bik Idah, sopir yang mengantar dan menjemputku ke sekolah adalah Pak Tanto yang kemudian menjadi penjaga rumah, rumah bagian dalam dirawat oleh Mbak Titin dan Mbak Nin, sedangkan halaman dan kebun tertata rapi berkat Pak Oleh. Rumah ini jarang sekali sepi, karena memang semua orang tinggal di sini. Para pembantu memiliki kamar-kamar tersendiri di bagian belakang rumah. Tapi sepanjang hari, aku bebas berceloteh dengan siapa pun yang aku temui, entah Bik Idah di dapur, atau Pak Oleh di depan rumah. Mereka siap mendengarkan cerita-ceritaku dan menjadi teman bagiku.

Lalu tibalah kedatanganmu, mengusik hatiku yang tidak bisa kunjung tenang atau diam. Aku ingat, hari itu tepat dua hari sebelum ulang tahunku ke empat belas. Dengan muka takut dan malu, aku menyaksikan kau berdiri di depan gerbang, tidak mau masuk. Tanganmu menggenggam erat kain yang dipakai Bik Idah. Air matamu hampir menetes, melengkapi raut wajah yang sudah memerah. Kau menunggu saja di sana. Aku bisa melihat Bik Idah yang kemudian membungkuk untuk mengelus pipimu, berusaha membujuk rayu agar kau mau masuk ke dalam. Kau sempat menggeleng pelan. Aku heran. Dalam hatiku saat itu, bertanya-tanya siapa gerangan engkau, yang begitu lugu.

-17 Juli 1979, Pertemuan Pertama-

Aku menatapnya dengan pandangan sebal, sekaligus iba. Aku bingung, siapa dia. Mengapa dia hanya diam saja, berdiri di depan gerbang sana dengan tangan tergenggam dan raut muka yang sedih, hampir menangis. Aku melihat rambutnya dikuncir dua, yang sebenarnya tidak terlalu rapi. Bajunya lusuh, warna birunya sudah pudar. Dia memakai sepatu yang warnanya tidak sesuai. Terlalu mencolok.

Aku yakin lima menit lagi, pasti dia sudah bercucuran air mata, walaupun aku tidak mengerti kenapa. Dia kelihatan sangat tidak mau datang kemari, lantas mengapa dia ada di sini, pikirku. Aku berdiri saja mengamatinya dari balik jendela yang ada di beranda. Dari sini, dari kamarku, aku bisa melihat halaman tanpa takut-takut ada orang yang balik memperhatikanku. Kamar ini dan jendelanya adalah daerah kekuasaanku.

Lima menit sudah berlalu. Aku melihat Bik Idah dengan hati-hati melepaskan genggaman tangannya. Ia lalu semakin menunduk saja. Ah, aku tidak bisa dengan jelas melihat wajahnya, apakah sudah basah karena menangis atau belum. Bik Idah kemudian mengelus pipinya, entah bicara apa. Tidak lama, si perempuan itu terduduk. Dia tidak menangis, hanya duduk saja di sana. Tidak mau diangkat, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras tiga kali. Dia diam. Bik Idah terlihat pura-pura akan meninggalkannya. Bibik berjalan ke arah gerbang, membukanya dan masuk ke dalam. Kukira Bik Idah akan keluar lagi, tapi ternyata dia terus saja masuk ke dalam dan si gadis hanya duduk saja di sana dalam diam, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Aku jadi geram melihatnya.

Langkah-langkah panjangku menyusuri koridor lantai dua, bergegas menuruni tangga dan menyeberang ke depan rumah. Hari ini aku hanya bermain dengan sejumlah mobil-mobilan koleksi kesayanganku. Liburan sekolah sudah di ujungnya, beberapa hari lagi tahun ajaran baru akan segera dimulai. Kedatangan mahkluk bernama perempuan yang tidak dikenal itu melempar aku dari kebosanan. Aku merasa penasaran, ingin melihat dia dari dekat. Aku ingin menggodanya, menjadikan dia sebagai pengusir kebosanan hari ini.

Di depan gerbang berwarna merah tua itu aku terkesima. Entah untuk berapa lama aku membeku, entah masih sempat menarik napas atau tidak. Aku melihatnya dari jarak yang cukup dekat. Dia terduduk lemah, tidak lagi menguraikan air matanya. Aku bisa melihat wajahnya muram, menunduk lesu. Kedua kakinya ditekuk, tertarik ke arah dagu yang dia letakkan di atas lututnya. Tangannya mencengkam ujung sepatu. Perempuan mungil berkulit putih bersih itu memiliki mata yang sendu. Rambutnya hitam legam, lurus dan panjang. Tapi aku paling bisa mengingat bibirnya yang berwarna merah muda, tipis, tanpa senyum merekah. Dia hanya diam saja.

Tidak tahu dorongan macam apa yang akhirnya membuat aku melangkah lagi ke sana. Aku mendekati dia yang tidak bergerak. Di hadapannya aku lalu berdiri, menunggu sampai dia memalingkan muka ke arahku. Aku terus menunggu hingga setidaknya lima menit di situ. Mungkin dia tidak menyadari keberadaanku, terlalu terpaku dalam alam liar pikirannya sendiri. Hingga tidak kunjung dia mengangkat kepala, aku ingin rasanya pergi dan berlalu saja. Mungkin lebih baik aku kembali bermain dengan mainan tanpa nyawa. Sempat berpikir akan berpaling, tidak kusangka pada akhirnya dia bicara.

“Asih,” satu kata dia sebutkan tanpa emosi.

Aku melihatnya tidak beranjak sedikit pun dari posisinya yang semula. Kepalanya masih tertunduk layu dan tangannya mencengkram ujung sepatu. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, mengapa dia menyebutkan itu. Setengah bertanya-tanya, aku lalu duduk juga di sebelahnya, mencoba sebuah posisi yang serupa. Tapi aku tidak menyentuh ujung sepatuku, hanya menyilangkan kedua tanganku di balik kaki. Aku diam saja. Aku ikut tidak berkata apa-apa.

Kami duduk bersisihan, dengan jarak yang sedemikian dekat. Aku hampir bisa mencium bau keringat dan kepulan asap kendaraan yang menempel di bajunya. Aku ingin menoleh, melihatnya sekali lagi. Memastikan dia sudah mengangkat kepala atau belum. Tapi aku tidak berani menggeser badan atau memalingkan wajah. Jadilah kami untuk beberapa lama benar-benar tidak menimbulkan suara.

Semenit kemudian, dia berdiri tiba-tiba. Pergerakannya membuat aku terkejut setengah mati, karena aku masih berpikir dalam-dalam tentang keanehan ucapannya. Tanpa memalingkan muka ke arahku, di menepuk-nepuk bagian belakang roknya yang sedikit kotor, lalu memutarkan badannya ke arah berlawanan.

“Asih mau pulang,” katanya dengan suara yang sengaja ditegas-tegaskan.

“Tunggu!” Sanggahku cepat. “Aku tidak tahu siapa kamu dan dari mana kamu berasal.

"Tapi kalau kamu pergi, Bik Idah pasti akan bingung mencarimu. Memangnya kau tahu arah pulang?”

“Asih tidak mau di sini bersama Si Mbok,” suara tegasnya sudah memudar menjadi rengekan kecil.

“Namamu Asih?” Aku bertanya, walaupun sudah tahu pasti jawabannya.

(Nantikan kelanjutan cerita ini... Masih ada yg harus di edit sana sini untuk chapter pertamanya, jadi blom bisa dimuat secara lengkap. Maaf ya... Trus untuk cerita dari versi Asih, blom bisa dimuat juga...karena masih banyak juga yg harus diedit. Sementara ini dimuat dulu, supaya diriku lebih semangat nyelesaiin ceritanya setidaknya sampe 1 verse dari Andikha Bima alias Abi, selesai. Secara teratur, saya akan menerbitkan lagi lanjutan-lanjutan ceritanya. Mudah2an berhasil dan bisa menghibur...amin...)

Monday, September 7, 2009

Liburan kali ini...

Penuh sekali rasanya isi kepala saya, karena sudah berhari-hari tidak menulis. Biasanya, saya membiasakan diri supaya produktif menulis dan membaca setiap hari. Tapi beda rasanya ketika di rumah, terlalu banyak kegiatan yang sebenarnya kurang penting tapi harus dilakukan juga. Misalnya saja, mencuci mobil. Coba bayangkan, mencuci gigi sendiri dua kali sehari aja sudah berasa rajin banget, apalagi diserahkan tugas mencuci mobil. Tentu saja malasnya gak ketulungan.

Apa mau dikata, ketika saya tidak lagi bisa bebas merdeka. Di rumah, bangun jam delapan pagi pun dianggap kurang pantas bagi seorang gadis. Padahal dulu, waktu masih menikmati hidup sebagai anak kost, tidak ada yang ngomel kalau bangun ketika matahari sudah naik tinggi. Susah payah, setiap hari jam tujuh harus “melek-melek”in mata. Mungkin dalam waktu satu bulan di rumah, mata saya yang sipit ini sudah sedikit membesar akibat kegiatan pagi hari yang menyiksa batin itu, kegiatan “ngumpulin nyawa”.

Bisa dibilang, saya tidak sepenuhnya pengangguran. Kalau diberi istilah, mungkin saya adalah karyawan lepas atau magang. Jangan dikira, di rumah lantas bisa berleha-leha. Anda salah besar, Saudaraku! Di sini saya butuh asupan energi lebih karena pagi hari rentetan tugas sudah menanti. Mulai dari membantu di dapur sampai membantu di luar area dapur. Coba hitung, ada berapa banyak area yang tidak termasuk dapur. Lumayan banyak juga bukan? Kalau di suruh bekerja di area kamar mama misalnya, saya harus membantu beliau ini untuk mengecat rambutnya yang mulai beruban. Belum lagi pegelnya ilang karena tangannya kerja keras, eh si mama malah membuat kegagalan pewarnaan dengan tingkahnya yang sangat inisiatif dan kreatif…yaitu memasker rambutnya setelah dicuci pertama. Jelas-jelas hilang dong obat pewarnanya. Aduh, kalau kejadian sudah begitu terpaksa cuma mengurut dada pas si mama tanya dengan muka polosnya, “Dek, kenapa warnanya gak ada ya?”

Pernah mendengar istilah pucuk dicinta ulam tiba? Nah, bagi saya penyelamat jiwa saya ketika di rumah adalah seorang teman lama yang sering kali mengajak saya makan di luar atau sekedar bertemu saja untuk mengobrol. Kalau sudah tiba waktu untuk keluar rumah, senyum berseri-seri langsung terkembang. Padahal saya ini pengangguran lho. Dapat uang dari mana untuk bisa jajan? Satu-satunya jalan adalah, ya itu tadi. Bekerja sebaik-baiknya di rumah supaya bisa mendapatkan uang jajan yang ideal.

Bahagia bagi saya (dan tentunya bagi keluarga di rumah juga), adalah kami bisa tertawa lebih banyak daripada biasanya. Dengan adanya si babeh a.k.a papih di deket-deket saya, makin banyak lah lelucon yang suka meluncur seadanya. Kadang-kadang di meja makan, di ruang tamu, waktu nonton tv bareng, atau ketika di mobil. Memang ayah satu ini, luar biasa sekali. Kebiasaannya menceritakan lelucon sudah dari bakat lahir yang alami. Sebenarnya tanpa perlu bercerita, dengan melihat wajahnya saja saya sudah ingin tertawa. Malahan, saya lebih suka tertawa keras-keras sebelum ceritanya mulai. Karena biasanya, beliau suka membuat kaliman-kalimat pembuka terlebih dahulu yang membuat kita tersentil urat gelinya.

Seperti kejadian baru-baru ini. Satu jam yang lalu, saya sedang asyik membuka account facebook saya. Tiba-tiba beliau masuk ke kamar dan berkata, “Lia nanti punya anak lima aja ya. Biar aku yang kasih nama”.

Saya lalu cekikikan sambil berusaha menebak, lelucon apa lagi nih kira-kira. Dia menambahkan, “nama-namanya Maribu, Marika, Marice, Marila, dan Marina”.

Saya hanya bisa melanjutkan aksi cekikikan, makin bingung dan makin merasa aneh. Katanya lagi, “biar mudah nanti manggil anak-anaknya semua. Kalo mau panggil lima-limanya sekaligus, tinggal teriak saja… MARIBUKACELANA”.

Kontan saja saya tertawa sekeras-kerasnya mendengar kalimat terakhir dari sang ayah. Begitulah beliau dengan sejuta aksi yang biasanya dipertontonkan kepada kami sekeluarga. Kadang-kadang diikuti dengan tingkah langsung disertai gerakan-gerakan yang membuat ketawa bisa meledak tiba-tiba.

Liburan kali ini berkesan sekali, lengkap dengan penderitaan yang membuat saya “misuh-misuh” sampai cape. Tapi untung saja, saya gak didera sakit seperti tahun kemarin, yang mengharuskan saya tidak keluar rumah selama liburan akibat cacar air dan bentol2 sekujur badan. Masih bersyukur, walaupun tidak punya uang dan kerjaan, saya bisa berkumpul lagi sama the greatest family of the world…hahaha…

Mudah-mudahan saya sempat menuliskan beberapa cerita dan tulisan seperti biasanya. Semoga saja bisa aktif lagi menulis dan membagi pengalaman-pengalaman saya yang tidak terlalu berarti apa-apa. Sedikit saja, sapa saya untuk Anda semuanya di liburan kali ini.

Salam damai….
Tuhan berkati!

Kasih Allah


Maka dari setiap langkah yang telah aku tempuh, baik dan buruknya telah menempa aku menjadi sebuah pribadi. Urat-urat dan nadiku tegang menebal dalam lapisan kehidupan. Di balik tulang-belulang, ada materi kasih yang tersebar. Kasih itu meresap dalam. Kasih itu merekat erat.

Pada siapa aku menuntut kasih bisa pergi? Itu telah kubawa dari mula aku lahir ke bumi. Bahkan saat kukuliti diri dan kupatahkan tulang. Bahkan waktu aku menjamah yang tidak seharusnya keraba dan melihat semua yang tak pantas kusapa. Bahkan ketika aku memaki hidupku sendiri dan lupa bersyukur dari sebuah anugerah.

Kasih itu nyata. Dia mengalir sewaktu kuraup bulir-bulir udara. Seperti embusan angin pagi ini yang dapat kurasa. Di dalamnya aku menjadi hidup, sebagai manusia sekaligus hamba. Melalui kasih pula aku terjatuh, berdiri, melangkah, berlari, hingga nanti aku tergolek mati.

Detik-detik perjalanan usia membuat aku kadang buta, kadang lupa. Aku ini siapa? Aku ini kepunyaan siapa? Kuhabiskan saja umurku demi menjaga kulit , urat, dan tulangku berpuas diri. Mereka tak lagi mampu merasa. Sudah tak pernah kuajarkan lagi mereka untuk bisa berdoa. Tak tahu mereka, sebenarnya terbuat dari apa.

Sebenarnya kasih itu sungguh dekat.

Maka ketika aku bangun tidur pagi ini sebelum alarm sempa berbunyi, aku berdiam lesu. Aku menikmati dinginnya fajar, bergulat dengan guling dan bantal. Dan pada suatu detik, aku menyadari cinta dari-Nya. Kasih dan cintanya yang selalu sama, menguraikan air mataku sampai habis. Dia membisikan padaku sebuah janji, dari pengorbananNya untuk menebus aku. Bukan sebuah cinta yang sementara, tapi selamanya.

Di ujung terdiamku, kuingat sebaris lirik sebuah lagu. Kusampaikan pada-Nya kalimat yang sungguh sederhana itu, yang kurasa tak sebanding dengan megah cinta dan kasih dari Dia. Kukatakan dengan
berbisik, “Hidup ini kuserahkan pada mezbah-Mu ya Tuhan dan jadilah padaku seperti yang Kau ingini”.

Menjadi siapapun kita sekarang, menjadi seperti apa kita nanti...semua adalah kuasa Tuhan yang maha penyayang. Dan percayalah, dia selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

Tulisan ini aku persembahkan bagi diriku, imanku, dan bagi sahabat-sahabatku yang berulang tahun di bulan ini. Buat Melsa Trinita Situmeang, Skeeter a.k.a Ferry Huang, Ade Juhana a.k.a Abi, Ci Komala, Ci Eva, dan teman-teman semuanya sebagai bahan perenungan diri yang jarang-jarang kita lakukan. sebagai 5 menit waktu untuk mengingat kuasa Tuhan, sebagai ucapan syukur pada Dia. Semoga di usia yang semakin menua, iman kita semakin bertambah, makin bijaksana dan makin dewasa. Amiiin...