Friday, February 26, 2010

Seolah-olah

Seolah-olah aku mencintaimu
Jatuh hati sampai tergila-gila

Seolah-olah aku menyayangimu
Ingin bertemu dan bermanis manja

Seolah-olah saja
Padahal langit tahu
Padahal pepohonan mendengar
Padahal matahari mengerti

Seolah-olah kita sepasang pencinta
Padahal hanya orang-orang bermuka dua

Seolah-olah kita kekasih
Padahal cuma kebiasaan dan harga diri

Kamu dan aku seolah-olah ada
Kita,
yang sebenarnya terpisah
aku dan kamu yang seolah-olah saja

--
In the middle of trap
Jakarta, 26 February 2010

Thursday, February 18, 2010

Aku, Kamu, dan Starbuck

Sebuah penghantar malam yang lalu cepat larut, seperti gula di dalam air mendidih. Kau yang menjerang airnya. Kamu membuat malam yang cepat larut, menjadi manis dengan gula. Kau yang taburkan gulanya.

Starbuck dan sebuah cafe open air tepat di sebelahnya. Kita duduk menghadap jalan raya, menghirup udara minim polusi sebanyak mungkin supaya paru-paru yang terbiasa dengan asap dan telinga yang berteman dengan bising bisa menjadi baik kembali. Malam sudah larut. Ada aku, kamu, dan Starbuck.

Padahal kita makan dan minum di sebelah sini, bukan di coffee shop terkenal itu. Kita bercerita dan sibuk membahas starbuck tanpa henti. Starbuck dan seorang barista, Starbuck dan pesona si wanita. Aku, kamu, dan Starbuck. Bertiga dalam malam yang cepat larut, dan manis, dan si minim polusi udara.

Kamu memilih sebuah perbincangan tanpa sakit hati, tentang seorang wanita, tentang seorang barista. Aku banyak berkomentar, kadang seadanya, kadang sekenanya, kadang serius, kadang bercanda. Aku ingin kamu tahu bahwa aku mendukung apapun yang membuat orang lain senang. Kamu pasti senang, karena raut mukamu berseri-seri menceritakan dia tanpa sela tanpa henti. Aku tahu. Di dahimu tertulis itu. Kamu suka padanya. Dia sang barista.

Di sinilah kita. Mendamparkan diri pada sebuah sofa merah tua, di sebuah cafe open air, di sebelah Starbuck persisnya. Pembicaraan dari hulu ke hilir tentang kopi, masalah di kantorku tadi pagi, kesibukanmu mencari cara mendekati wanita, pembicaraan ngalor-ngidul, sampai ke seorang barista. Aku, kamu, dan Starbuck.

Dan malam ini aku merasa cukup bahagia.

--
In the middle of something
Azalea 17/AH, 18 February 2010

Wednesday, February 17, 2010

Bahkan Ketika Fajar

Sekali lagi merindukanmu. Sudah pasti, muaklah semua orang yang berulang kali mendengar kalimat yang sama keluar dari mulutku. Tapi bukan sesuatu yang dibuat-buat. Perasaan ini mengalir, deras dan kencang, berdenyut-denyut dalam nadi yang mulai melemah.

Kamu, terbit di kepalaku tepat sebelum matahari menyapa dunia. Dalam dunia yang lirih, aku ingin kamu ada. Nyata. Bukan rekayasa angan-angan saja. Bukan karena otakku berteriak menampilkan kamu di pikiranku. Aku ingin kamu bisa aku sentuh. Bolehkah? Sekali saja mungkin. Aku ingin mencium tanganmu terakhir kali.

Aku diam saja, menghayati setiap pesan yang sempat kamu tinggalkan. Belakangan ini, jari-jarimu yang sering hinggap di pikiranku. Entah mengapa. Mungkin karena kamu mencintaiku dari potongan-potongan jari yang menurutmu berseni (Ya, Tuhan memang seniman handal). Dulu. Katamu. Dan aku sekarang meningat jemarimu yang mendawaikan lagu, di balik gitar itu, meninggalkan sebait pesan atau sepenggal kata cinta. Dulu. Nyanyianmu.

Jauh menghilang. Pelan. Sayang, terlalu pelan. Sangat pelan hingga kamu menempel diam-diam. Aku tidak sadar sekali lagi mencintaimu. Tidak mengerti mengapa cinta bisa datang dan pergi dari orang yang sama yang sudah lama tidak berjumpa. Jumpalitan seperti naik roller coaster. Jatuh cinta ini seperti duri yang terselip pada daging. Rasanya utuh, tepat mengganggu ketika diam atau bergerak. Kamu duri itu.

Dan bahkan ketika fajar seperti sekarang. Dan bahkan ketika kamu sudah jauh di seberang. Dan bahkan ketika sudah lama aku menyerah meletakkan harapanku. Bahkan kini, setahun lebih ketiadaanmu. Aku masih merindukanmu, jatuh hati padamu, mencintaimu.

--
In the middle of memories
Jakarta, 17 Feb 2010

Wednesday, February 3, 2010

What's All those Nice Words Means?

yeay, nice words means nothing!

Gigi-geligi yang menyempil indah pada gusi, menarikan suara dari kata. Padahal kata itu lalu tak berarti apa-apa. Ya, hanya gigi-geligi yang menyempil manis pada gusi. Membantu sebuah nada yang terpaut dari mulut yang berbusa karena kata.

Aku memiliki ketertarikan menulis dan berkata-kata. Dari otak hingga sampai ke jari yang berjumlah masih lengkap sepuluh. Aku tertarik untuk bicara tentang kata-kata. Dari hati hingga sampai ke lidah yang mampu mengecap rasa. Aku bisa menyentuh kata-kata, lalu membayangkan kata itu melayang masuk ke dalam telinga lalu mampir di otak dan akhirnya tersangkut dalam dada. Aku dan kata-kataku.

Rima? Mengapa berima dan berirama? Supaya indah. Supaya makna yang mengangguni kata bisa meresap lebih dalam. Tak bisa bersuara, andai. Tak mampu berkata, andai. Andai-andai saja aku diam dan tidak menulis dan tidak bicara dan tidak berpikir dan tidak merasa. Lalu aku? Dapatkah aku menyebut diriku manusia?

Kata yang terjuntai, mengalir deras dari sebuah keyboard komputer berwana hitam dengan layar monitor lebar dan hitam dan selingan sepasang speaker yang juga hitam. Terayun-ayun rangkaian kata dari jemari yang menari di atas kerboardnya, dan mata memandang ke depan layar monitornya, dan mendengar lantunan lagu dari speakernya, yang kesemuanya hitam. Aku dan kata-kata ku.

Siapa yang membaca kata-kata itu? Mendengar aku bicara? Merasa setiap kata yang melayang yang terbang yang singgah di telinga, hanyut ke otak, dan akhirnya menepi pada hati? Mungkin bukan engkau, bukan kamu, bukan anda. Hanya aku. Dan juga kata-kataku.

Sial! Ketidakmampuanku menulis sebaris kalimat malam ini membuat aku ingin memaki. Karena makian itu pun berisi kata-kata. Cukup untuk bisa membuat aku lebih merasa menjadi manusia. Bisa menenangkan aku dan membuat aku berpikir sebagai manusia. Aku menjadi manusia ketika berkata. Dan aku ingin memanusiakan kata-kataku. Bukan makian. Bukan sebuah sumpah serapah yang aku luncurkan begitu saja dari bibir yang kotor karena amarah. Aku ingin bersajak, bersyair, berlirik.

Dan malam ini aku tidak mampu. Huruf yang menempel pada kata-kataku tidak mau menyatu dengan hati yang memerintah otakku untuk menggerakkan tanganku dan jemariku. Huruf-huruf itu berantakan. Berpencar masing-masing di satu dan lain tempat dalam ruang yang luas. Mereka tidak mau berkumpul dan merekat. Malam ini aku susah menjadi manusia. Semua karena kata-kata. Kata-kataku.

--
In the middle of loneliness
3 January 2010