Friday, April 23, 2010

Kuserahkan Saja Pada-Mu

Kuserahkan saja pada-Mu. Kau yang mengetahui semua, termasuk isi hati dan air mataku. Kuserahkan agar Kau bisa memberikan padaku yang terbaik, seperti rencana-Mu. Kubiarkan aku berpasrah dan mengaku lemah. Tuhan, aku sudah lelah. Biarkan kali ini aku menangis di pangkuan-Mu dan kuserahkan pada-Mu hidupku.

Tak pernah tersampaikan sesak ini pada seorang manusia. Pada-Mu satu-satunya aku bisa mengeluh tanpa terburu waktu. Mendengarkanku bicara mungkin memuakkan, betul kan Tuhan? Melihat aku mengeringkan keruh air mata pun tidak menyenangkan, karena seketika banjir lagi dan rusak bendungannya. Aku suka menangis berlama-lama, tanpa tahu kapan aku akan berhenti. Lebih sering aku menangis sampai tertidur, berharap Engkau akan mendatangiku melalui sebuah kabut putih dan menasehati aku dalam mimpi. Tuhan, mengapa aku selalu tampak putus asa?

Malam ini, kuserahkan hanya untuk Engkau. Bapa yang baik, jangan pernah tinggalkanku. Tuhan yang kuasa, ampunilah dosaku.

Kering tenggorokanku, menangis tanpa suara.

Tuhan, aku sudah berusaha. Aku ingin menjadikan semuanya sempurna. Aku dulu yakin sekali bahwa aku bisa. Aku ingin membuktikan pada semuanya. Tapi lihat kegagalanku, ketertinggalanku, keiri-hatianku, kesombonganku yang luluh jadi debu. Aku tinggal dengan hanya semangat yang tersisa sepenggal. Penggalan kecil yang tersisa untuk berpasrah. Sekali lagi aku ucapkan, dengan isak yang lirih dari dadaku, permohonanku yang kusampaikan dengan perasaan kalah. Kuserahkan pada-Mu dan jadikanlah seperti yang Kau mau.

--
in the middle of hopeless
Home, 23 April 2010

Monday, April 19, 2010

Sejak Kehilanganmu

Saya menepuk dada berkali-kali. Terasa kosong melompong,seperti dinding yang tengahnya tidak terisi sempurna. Ada gaung yg mengingatkan saya,pada sebuah kehilangan. Tiba-tiba ruangan tiga kali empat ini serasa hampa udara. Sulit bernapas,apalagi bergerak. Bahkan bibir pun terasa kebas dan kepala seperti tak berengsel,hampir lepas dari sendinya.

Lalu bisa apa sekarang? Dulu semua saya tulis dengan menggebu. Sebuah ketololan yang sering kulakukan. Aku melepasmu. Mungkin bukan itu saja, saya berusaha untuk membuatmu melepaskanku. Kamu menyerah. Kamu menutup mata,seakan-akan tidak peduli bahwa aku ada. Lalu tinggallah aku,tersaruk-maruk menyeret langkah yang kecil untuk bisa terus berjalan. Saya terima sendiri akibatnya. Kamu pun entah bagaimana,menata hidupmu tanpa aku. Daya ku pupus. Sudah hilang,tak berwujud.

Katamu,"kamu pasti bisa tanpa aku". Kataku,"aku bukan manusia tanpamu". Kita saling beradu dalam kata-kata yang sekejap saja habis. Hanya barisan kalimatku yang berbicara pada diri sendiri yang tersisa. Kamu berpaling,entah ada air di sudut matamu atau kering. Saya belum sempat melihat.

Katamu,"anak-anak itu tidak berdosa". Kataku,"mereka tidak berdosa,aku lah si empunya dosa itu". Kau enyahkan tangan yg tergenggam meraup ujung kemejamu. Kau berteriak supaya aku mendengar,padahal aku memang mendengar. Tapi aku tidak mengerti. Hingga saat ini,aku masih tidak mengerti. Tak!

Berputar dan terus mengalun lagu itu, dalam kekosongan jiwaku. Saya senyap. Kata sebagian orang, saya pasti terpulihkan. Hati yang kopong, bukan karena saya tidak peduli. Mungkin hanya karena saya memang sudah mati. Sejak kehilanganmu.

Lihatlah, Siapa yang Menangis!

Lihatlah, cucur air mata yang bertandang ke pipi merah merona!
Buaian lagu pujian pun membuatnya mengharu
Lihatlah, sejengkal imannya yang teruji bertubi-tubi!

Tuhan yang merajai dunia
Ada di mana Engkau?
Ia berteriak,
menjulurkan tangannya menggapai-gapai udara kosong
Kalut
Takut

Lihatlah, siapa yang menangis!
Lihatlah, kerut-kerut dahinya!

Lihat Tuhan, dan tolong sapalah ia

--
in the middle of emptiness
Home, 19 April 2010

Tuesday, April 13, 2010

*Tak Berjudul

Masa lalu tidak berhenti mengejar saya hingga saya lelah. Terduduk saya di sofa abu-abu kesayangan dan menghilang ke balik buaian pikiran. Saya teringat kenangan, yang tidak seharusnya terus saya kenang. Saya berandai mimpi, yang tidak semestinya selalu saya impikan.

Memang betul, saya merasa lelah. Tapi betul juga kata salah seorang sahabat saya. Dia bilang, saya jarang menyentuh tanah. Saya melambung dan selalu ingin terbang tinggi dalam khayalan dan kenangan dan andai-andai dan mimpi yang saya buat sendiri. Mengapa? Saya juga tidak terlalu mengerti. Mungkin sebagian dari diri saya masih ingin tinggal dalam masa lalu. Atau mungkin juga, sebagian dari diri saya berharap bisa menjumpai diri saya di waktu itu.

Saya keji. Kadang-kadang begitu. Saya merasa bahwa dunia ini sering bisa saya putar balik, saya injak-injak, dan tidak saya hargai dengan baik. Saya ingin memangsa lelaki-lelaki, mereka dengan gender yang membuat saya merasa putus asa. Okay, saya salah. Bukan lelaki-lelaki, tapi hanya satu pria. Dia. Bagaimana mungkin saya bisa membalas dendam, sementara kedamaian yang saya cari sebenarnya berasal dari diri sendiri. Sedangkan untuk harus melupakan, sangat tidak mungkin rasanya. Mungkin memang saya pernah memaafkan dia, tapi tidak mungkin bagi saya untuk bisa lupa. Dia adalah kenangan yang saya jaga, yang saya sapa setiap pagi, yang saya doakan setiap malam, yang saya pikirkan sepanjang perjalanan, yang menempel dan saya biarkan tumbuh berkembang dalam hati. Walaupun hati itu juga saya pagari. Dia tetap saja merambat, karena betul, memang betul saya yang memupuknya.

Tolong pinjami saya gunting dan arit.

Ingin memotongnya.

Saya putus asa.

Kata mereka, saya gila.

Tidak pernah satu kali pun, ada niat untuk mencelakai orang lain. Tidak pernah saya ingin menyakiti perasaan orang lain. Ketika ada yang berprasangka kepada saya, lihatlah sekali lagi. Prasangkamu atas prasangka ini membuahkan sebuah lingkaran yang menyulitkan kita semua. Jadi tolonglah. Saya bukan ingin dimanjakan, saya tidak mau mencari pelarian, saya juga malas untuk berpura-pura. Saya cuma ingin dimengerti, bahwa keadaan ini akan membaik nanti. Nanti, kata saya. Apabila ada yang lebih berbaik hati, tolong pinjamkan saya gunting dan arit. Itu akan lebih membantu saya dan hubungan kita.

Jadi mana gunting dan aritmu?