Thursday, June 3, 2010

Dad, I Love You

Aku hanya ingin bercerita, tentang seorang yang mulai menua. Tentang sosok lelaki yang belum pernah kulihat menyerah. Tentang urat-urat di dahinya dan senyum khas di bawah kumisnya.

Kuingat, suatu hari ia pernah menamparku. Sakit di hati jauh lebih perih dari pipiku yang merah. Kami diam, melengos ketika bertemu, dan tak pernah saling menyapa. Dua hari. Dua hari yang berat. Bukannya aku tak bisa memaafkannya, tapi kesalahanku terlalu berat untuk bisa aku mengampuni diriku sendiri. Aku benci kelakuanku. Aku tak sanggup menatap matanya. Dua hari itu.

Lalu pada malam ketiga, ia masuk ke kamarku. Ia duduk di ujung tempat tidur dan bicara. Suaranya berat, napasnya putus-putus. Ia melihatku, jauh ke dalam mataku yang basah. Ia bilang bahwa dia mengasihiku. Maaf yang ia ucapkan, aku telan. Rasanya kecut. Karena aku terlalu pengecut untuk memohon maaf juga, bahkan hanya untuk mengatakan iya. Aku diam. Dia juga diam. Lalu sebelum ia keluar dari pintu, aku menangis tersedu-sedu. Tak pernah kusampaikan bahwa aku mengasihinya juga, tapi ia mengerti. Ia cukup tahu dan aku sadar diri. Kami berbaikan. Dia, denganku. Dan aku dengan diriku sendiri.

Suatu hari yang lain, ia menjemputku sepulang pertandingan. Aku kalah dan menangis habis-habisan di pinggir lapangan. Aku berlindung di balik punggung pelatihku yang tinggi besar. Dan ketika pak pelatih mengantarkan aku di pintu gerbang lapangan, ia ada di situ. Ia tahu kekalahanku tanpa aku sempat mengatakan. Dan selama perjalanan pulang, ia bercerita tentang kebesaran hati. Aku tak lagi menangis, kusimpan cerita kekesalanku dan bersyukur. Ia hebat. Aku bersyukur aku memilikinya.

Bukan satu dua kali kulihat dia termenung. Duduk di atas sepeda motor yang diparkir di teras rumah. Kuperhatikan ia merokok sendirian, menikmati kepulan asap, ditemani bunga-bunga anggrek yang juga diam. Sesekali, ia mengerutkan dahi. Mungkin sedang berpikir keras, memperjuangkan hidupku dan keluargaku. Ia berpikir tentang esok pagi mencari makan untuk kami. Ia berpikir, berapa banyak kawat lagi yang harus ia gulung sehingga aku bisa terus pergi ke sekolah.

Pertengahan SMA, tahun 2003 sepertinya. Aku lupa-lupa ingat. Ketika itu, memiliki bengkel dinamo di tengah puluhan lapak lain bukanlah sebuah mata pencaharian yang mengalirkan pundi-pundi uang. Aku tahu sulitnya mencari nafkah untuk seorang istri yang butuh bedak, dan empat anak yang masih haus ilmu. Aku mengerti beratnya mencari uang untuk membeli beras yang bisa dimakan dan sedikit tambahan untuk kedua anaknya yang berlayar ke kota lain demi meraih gelar. Ia tak pernah menangis. Kulitnya yang semakin legam dan lengannya yang semakin kurus, ia dedikasikan untukku. Untuk saudara-saudaraku. Ia tak pernah mengeluh. Tak pernah. Tak akan pernah, kurasa.

Dan ketika kini aku ada di ibukota. Ketika aku memperjuangkan hidupku sendiri. Aku belum bisa membahagiakannya. Aku belum pula sempat mengatakan aku mencintainya. Pada Tuhan kusampaikan permohonanku. Berilah aku cukup waktu untuk bisa memberinya bahagia dan mengucapkan kasihku padanya.

Teruntuk ayah. Aku mencintaimu.

--
Jakarta, 3 Juni 2010