Friday, November 5, 2010

Rintik Air Mata dan Sebait Doa

Tuhan, aku percaya. Bilamana kehendak-Mu, itulah yang terjadi. Dan jika mungkin aku ingin mendengar. Ku ingin jawaban-Mu atas bencana. Aku enggan menerka. Aku tak mau mengira-ngira.

Ini mungkin menyebalkan, Tuhan. Kau mungkin bosan mendengar ocehan, rengek manja, dan ketidakpuasan yang aku sampaikan. Aku hanya ingin menanyakan, sampai berapa lama lagi bencana itu akan berhenti?

Dan di tengah-tengah kesedihanku melihat tumpukan abu, rumah-rumah terbakar, korban tewas bergelimpangan, manusia-manusia terluka, juga sejumlah pengungsi menderita, aku hanya sanggup menyampaikan protesku. Dan protes itu diiringi air mataku.

Aku ingin kami hidup lebih baik. Aku mau kami terhindar dari derita. Aku butuh Engkau. Kami butuh Engkau. Hadirlah di tengah-tengah luapan kepanikan kami. Juga di sekitar rintih duka kami. Hanya Engkau, ya Tuhan, yang mampu menghapus air mata dari pipi-pipi yang merah akibat api, yang berdebu karena abu.

Tuhan...
Kuatkanlah kami.

Saturday, October 16, 2010

Little Secrets

Each time I wonder why you're keep looking at me when a thousands beautiful girls are around us. And when you say "I love you", the straight look in your eyes makes me fall into a deep peaceful time. No need to worry how much our love is, but keep it in His hands in every prayer at night.

But, hey! Here I want to tell you the little secrets of mine.

Secret #1:
Sometimes I didn't fall asleep just to hear you breathing. I closed my eyes but keep listening the music of your breath and the sound of wind are dancing on my ears.

Secret #2:
Sometimes I only want to sit next to you, side by side, without any word for a while.

Secret #3:
Sometimes I look cold on your motorcycle just so you will hold me.

Secret #4:
Sometimes I memorize the old time with my ex just to remind me that I love you the most.

Secret #5:
Sometimes I check on your email just so I feel calm there's no other girl beside me. Ups, sorry honey.

Secret #6:
Sometimes I say that I'm exhausted just so you'll hug me for more and feel your caress on my head.

Secret #7:
Sometimes I say that you're an old man, whereas I like the way you coddle me as a lil' girl.

Yeah, those are just a few secrets I've never told you. Beside that, there are many other secrets I will confess it later.

I have my little secrets, so does everybody. So what's yours?

Tuesday, September 21, 2010

Apakah Salah?

Sebelum hujan turun, bau yang berbeda tersibak dalam udara. Aku mengangkat tanganku, melebarkannya sejauh yang aku bisa. Kuhirup saja, udara yang berbau basah. Bau tanah. Kurasakan sepelan mungkin, waktu yang sepertinya mundur teratur. Detik yang merambat ke belakang.

Sama seperti hujan yang belum turun. Perlahan namun pasti, memberikan tanda-tanda yang sudah bisa kutebak. Awan yang menggelayut, angin yang berhembus, dan udara yang basah, dan bau tanah. Sama seperti juga kamu yang melangkah pelan-pelan, memberi tanda bahwa hidupku akan berakhir bahagia.

Kini sama saja. Sama seperti waktu dulu aku menyadari perasaanku. Menunggu hujan turun sama ketika aku menunggu hatiku kembali terbit. Sudah terlalu lama redup, kurasa. Entah angin, entah air. Mereka menghanyutkan sisa penantianku. Karena aku tahu pada akhirnya akan tiba juga. Sama seperti menunggu hujan turun di sore ini.

Apakah salah?

Masih saja kumenatap debu yang tertiup angin. Mereka bergelung manja pada buaian, yang menghantarkannya ke tempat-tempat nun jauh. Ada pula di sisi jalan, kokoh berdiri pohon tua yang kini sedang mengalun kiri ke kanan. Mereka berbicara. Aku diam. Mereka menikmati angin yang datang sebelum hujan. Aku mendamba titik air bercucuran. Mereka dan aku. Dan hujan yang terlambat datang.

Apakah salah?

Apakah ada yang lebih benar daripada menemukanmu? Menemukan kembali pelajaran tentang kasih, eksistensi diri, dan penghargaan dari sebuah perasaan cinta? Aku harus akui, kau lah kebenaran itu. Kebenaran yang membuat aku merayap melewati titian waktu selama lebih dari setahun hingga akhirnya kubuka hati dan menerima. Dan ternyata benar adanya.

Aku masih menunggu hujan yang terlambat datang. Angin masih menari, mengajak debu jalan berdansa dan pohon tua berirama. Tapi aku tahu pasti, begitu juga mereka, bahwa hujan sore ini akan turun.

Dari balik jendela, aku lalu mendengar suara rintik yang bersusulan.
Dari balik pintu, aku lalu melihat kamu datang dan memelukku.

Aku tahu tidak ada lagi yang salah. Dengan kita.

Thursday, August 19, 2010

Mencintaimu Lebih Dari Ini

Dukaku yang kularung dalam sebuah kali, menghanyut tanpa sebelumnya tergenang di permukaan air. Dukaku sebanyak itu. Dulu, terbendung dalam hati yang kujahit sendiri lukanya.

Tak terperi, rasa sakit atas masa lalu. Aku dan masa laluku. Denyut-denyut dendam yang perlahan hilang. Sudah terbiasa, kataku. Sudah sering dan terlalu lama aku jatuh dan merasakan sakitnya. Lalu semakin kering mulut dan bibirku. Aku terlalu lama tidak bersuara. Mungkin bukan tuli atau bisu. Hanya saja tak bisa mengatakan apa-apa.

Kesendirian, sekali lagi bukan sahabat yang baik. Ia musuh utamaku. Sendiriku. Merantai kaki dan tubuh. Diam. Merasakan getir yang terus berulang. Dalam sendiriku, sakit dan remuk itu kembali dan selalu datang.

Namun.

Kamu hadir di waktu yang tepat. Ketika itu, dendamku sudah hanyut. Duka yang kularung dalam sebuah kali, yang sudah hanyut tanpa tergenang. Hilang sudah. Kamu melengkapiku. Merajut bidang kosong, bekas aku dan lukaku. Mengisi ruang batin, dulu diam dan sendiriku. Aku jatuh hati padamu. Bukan. Kamu membuatku merasakan cinta pada hidup. Rasanya salah. Kamu mengajariku meletakkan sedu sedan pada kasih.

Dan kini hati itu, cinta itu, kasih itu, membanjiri aku. Semoga juga kamu.

Mencintaimu lebih dari ini. Bagaimana caranya? Bagaimana bisa? Aku hanya mencintaimu secukupnya. Mungkin juga kau ingin aku makin cinta. Tapi bagaimana?

Lalu kumohon, beri tahu aku rahasianya. Kuingin mencintamu, lebih dari ini.

--
Dearest Arif,
I Love you

Jakarta, 19 Agustus 2010

Wednesday, August 4, 2010

Sepenggal Kisah Bumi

Paru-parunya dipaksa bekerja. Darah memompa jantungnya yang berdegup kencang, mengikat oksigen, mengantarkan pada otot yang lelah dan kencang. Ia terus berlari, mengerahkan separuh lagi kemampuannya untuk bisa berpikir. Langkah-langkah panjang yang tersaruk-maruk di rerumputan menggores kaki hingga betis.

Dalam pikirannya hanya satu, bumi yang dipijaknya masih kokoh berdiri. Tapi penopang langitnya sudah rapuh. Ia tidak ingin tersia-sia, menjadi bumi tanpa langit. Ia tidak mau berdusta pada dunia, bahwa bumi bisa sendiri.Ia masih ingin langitnya ada, bersandar pada punggungnya walaupun tak lagi kekar seperti sedia.

Ia hanya lelaki. Dan cintanya sudah mulai teradu pada keadaan yang pilu.

Matahari sudah siap tampil. Fajar bergegas menjemput empunya dunia, sang cahaya yang garang. Dedaunan menegakkan tubuhnya. Embun bergulir sementara bunga tergelitik mekar. Di ufuk timur yang jauh, pagi merayap. Senyap.

Bumi terus berlari.

Di ujung jemarinya yang tergenggam, masih ada sejumput cinta yang ia punya. Di ujung bibirnya yang menghitam, masih ada kata maaf yang belum sempat tersampaikan. Dan sekali lagi, ia tidak ingin terlambat mengotori batinnya. Selamanya dia tidak akan bisa memaafkan diri sendiri. Bumi lambat laun juga mati, jika langitnya luluh runtuh.

Tiang-tiang bambu terpancang di depan rumah usang dengan balutan warna suram, sebelum fajar menyongsong pagi. Gulita dan senyap mengendap-endap dari tanah hingga atap. Tak jauh dari situ, lantai keramik usang dan dinding batu yang beku cuma terdiam. Menatap tanpa berani bicara, darah-darah yang terurai. Bumi tak tahu. Ia belum tahu.

Di sisi langit yang sama, cintanya tak pernah menua. Tak seperti kayu dan keramik dan batu dan rumah itu. Langitnya dan cintanya.

Bumi tergetar. Rasa sesak menggoncangnya hingga ke ujung nadi. Di hadapan tiang-tiang bambu, ia bersimpuh. Menatap nanar langitnya yang tak mau lagi mengarak biru. Ada darah menggenang pada langitnya. Juga air mata. Diujung jarinya yang tergenggam, cintanya memuai. Melayang di udara. Di ujung bibirnya yang menghitam, maafnya terurai. Hilang begitu saja.

Tak sempat terucapkan cinta pada langit sekali lagi. Sejak minggu lalu, langitnya yang dulu teduh, tertutup awan hitam pekat. Sejak minggu lalu, bumi tak peduli langitnya menangis curah hujan yang tak henti. Rahim langit ternodai oleh seorang lelaki. Ia tak sudi. Tadinya. Dan kini ia tak peduli. Bumi hanya ingin langitnya kembali.

Pada kemarik usang dan dinding batu yang bisu, bumi menghempaskan sesalnya yang dalam. Tak lagi bisa dirasakannya ototnya yang mengencang atau napasnya yang menggebu. Ia luruh. Terlambat yang amat menyakitkan. Ia tak dapat lagi berdiri.

"Aku terlambat. Sekali lagi maaf," Kata-katanya bergulir bersama deru deritanya. Keramik usang dan dinding batu mulai berkaca-kaca. Mereka menitikkan air mata. Pada cinta yang teramat dalam, mereka salahkan semua.

"Tunggu aku," terakhir kali ucapnya.

Lalu pisau yang yang membelah langit, direnggutnya. Bumi menghujam dada dan terkulai.

Tepat luruh. Bumi itu.

--
Lanjutan cerita dari Sepenggal Kisah Langit yg terbengkalai lama. Sila liat linknya...
http://salamlangituntukbumi.blogspot.com/2010/01/sepenggal-kisah-langit.html

Jakarta, 19 Agustus 2010

Siapakah Aku Ini, Bapa?

Apakah sebaik itu aku di hadapan-Mu ya Allah yg rahim? Ketika aku tidak menumbuhkan imanku,Kau ketuk hatiku berkali-kali. Ketika aku melemahkan keyakinanku,Kau kuatkan aku terus-menerus. Dan ketika aku terjatuh dalam dosa,Kau angkat aku sekali lagi. Apa lg yg dapat kuberi,selain imanku yg sederhana?

Ya Bapa, maafkanlah anakmu. Aku yang liar dan pemarah. Aku yang pandai berdusta dan berkata buruk. Aku yang pembenci dan menyimpan dendam. Di hadapan-Mu,aku bertekuk lutut dan merendahkan hati. Mana aku berani menatap tubuh-Mu yang terpaku di kayu salib. Terlebih ketika engkau terbaring penuh luka dan wafat dalam goa. Semua cinta itu telah kusia-siakan,seperti juga hidup dan pengampunan yang sudah Kau berikan. Aku tak mampu,Tuhan. Maafkan hamba, anak-Mu yang penuh dosa.

Lalu apa lagi yang bisa kukatakan di hadapan salib-Mu yang kaku? Selain sebuah kalimat yang kukatakan berulang-ulang kali dalam tubuh yang lesu dan suara parau air mataku.......Terimalah imanku yg sederhana ini,Tuhan.

Amin.

--Carmel, 23 July 2010--

Thursday, June 3, 2010

Dad, I Love You

Aku hanya ingin bercerita, tentang seorang yang mulai menua. Tentang sosok lelaki yang belum pernah kulihat menyerah. Tentang urat-urat di dahinya dan senyum khas di bawah kumisnya.

Kuingat, suatu hari ia pernah menamparku. Sakit di hati jauh lebih perih dari pipiku yang merah. Kami diam, melengos ketika bertemu, dan tak pernah saling menyapa. Dua hari. Dua hari yang berat. Bukannya aku tak bisa memaafkannya, tapi kesalahanku terlalu berat untuk bisa aku mengampuni diriku sendiri. Aku benci kelakuanku. Aku tak sanggup menatap matanya. Dua hari itu.

Lalu pada malam ketiga, ia masuk ke kamarku. Ia duduk di ujung tempat tidur dan bicara. Suaranya berat, napasnya putus-putus. Ia melihatku, jauh ke dalam mataku yang basah. Ia bilang bahwa dia mengasihiku. Maaf yang ia ucapkan, aku telan. Rasanya kecut. Karena aku terlalu pengecut untuk memohon maaf juga, bahkan hanya untuk mengatakan iya. Aku diam. Dia juga diam. Lalu sebelum ia keluar dari pintu, aku menangis tersedu-sedu. Tak pernah kusampaikan bahwa aku mengasihinya juga, tapi ia mengerti. Ia cukup tahu dan aku sadar diri. Kami berbaikan. Dia, denganku. Dan aku dengan diriku sendiri.

Suatu hari yang lain, ia menjemputku sepulang pertandingan. Aku kalah dan menangis habis-habisan di pinggir lapangan. Aku berlindung di balik punggung pelatihku yang tinggi besar. Dan ketika pak pelatih mengantarkan aku di pintu gerbang lapangan, ia ada di situ. Ia tahu kekalahanku tanpa aku sempat mengatakan. Dan selama perjalanan pulang, ia bercerita tentang kebesaran hati. Aku tak lagi menangis, kusimpan cerita kekesalanku dan bersyukur. Ia hebat. Aku bersyukur aku memilikinya.

Bukan satu dua kali kulihat dia termenung. Duduk di atas sepeda motor yang diparkir di teras rumah. Kuperhatikan ia merokok sendirian, menikmati kepulan asap, ditemani bunga-bunga anggrek yang juga diam. Sesekali, ia mengerutkan dahi. Mungkin sedang berpikir keras, memperjuangkan hidupku dan keluargaku. Ia berpikir tentang esok pagi mencari makan untuk kami. Ia berpikir, berapa banyak kawat lagi yang harus ia gulung sehingga aku bisa terus pergi ke sekolah.

Pertengahan SMA, tahun 2003 sepertinya. Aku lupa-lupa ingat. Ketika itu, memiliki bengkel dinamo di tengah puluhan lapak lain bukanlah sebuah mata pencaharian yang mengalirkan pundi-pundi uang. Aku tahu sulitnya mencari nafkah untuk seorang istri yang butuh bedak, dan empat anak yang masih haus ilmu. Aku mengerti beratnya mencari uang untuk membeli beras yang bisa dimakan dan sedikit tambahan untuk kedua anaknya yang berlayar ke kota lain demi meraih gelar. Ia tak pernah menangis. Kulitnya yang semakin legam dan lengannya yang semakin kurus, ia dedikasikan untukku. Untuk saudara-saudaraku. Ia tak pernah mengeluh. Tak pernah. Tak akan pernah, kurasa.

Dan ketika kini aku ada di ibukota. Ketika aku memperjuangkan hidupku sendiri. Aku belum bisa membahagiakannya. Aku belum pula sempat mengatakan aku mencintainya. Pada Tuhan kusampaikan permohonanku. Berilah aku cukup waktu untuk bisa memberinya bahagia dan mengucapkan kasihku padanya.

Teruntuk ayah. Aku mencintaimu.

--
Jakarta, 3 Juni 2010

Sunday, May 16, 2010

Siapa Saya?

Siapa saya? Belum pernah saya bilang bahwa saya ini adalah manusia biasa-biasa saja? Saya hanya menyukai huruf yang teratur disusun hingga bisa diucapkan berirama. Bukan berarti bahwa semua tulisan saya indah. Tak pantas rasanya.

Siapa saya? Saya ingin menjalani hidup bukan sebuah ketersia-siaan. Saya ingin melangkah, kalau bisa terbang. Saya menikmati dan mensyukuri, walaupun kadang-kadang saya mencaci dan memberontak pada Tuhan. Hidup saya, sekali lagi, biasa saja. Saya bukan seseorang dengan title pekerjaan yang bonafit, di perusahaan ternama, atau pernah kuliah dengan jurusan luar biasa. Hanya biasa saja. Cukup.

Siapa saya?

Rasanya ingin mengacungkan kepalan tangan dan berkata, "Lho, Anda siapa?"

--
(Tanpa gelar hari ke berapa. Cuma sebuah tulisan saja.)
Home, 16 Mei 2010

Monday, May 10, 2010

Herpes Membawa Duka

-edited-


Hari ini adalah hari yang melelahkan. Saya mengira ini masih Sabtu. Ternyata besok adalah hari saya harus memulai minggu baru lagi, bekerja lagi, dikejar deadline lagi, meeting-meeting lagi, dan menulis report dan lain-lain lagi. Saya harus bersemangat! Minggu ini adalah minggu yang penting karena deadline project TVC sudah makin dekat. Saya tidak mau menyia-nyiakan minggu pendek karena terpotong liburan nanti hari Kamis. Walaupun sakit dan sedang berduka karena virus, saya harus bisa berjuang.

Sebenarnya saat ini saya sedang terkena virus. Setelah selesai melewati hari-hari bersahabat dengan flu, sekarang saya pun tertular penyakit yang menyebalkan. Herpes. Tapi tolonglah, jangan berpikir ini adalah penyakit yang tergolong STD (Sexual Transmitted Disease). Jenis herpes ini bukanlah Herpes Genitalis, jadi bagian 'itu' tetap aman jaya kok. Untungnya juga herpes yang saya derita masih tergolong sangat ringan dengan bintik merah yang tidak terlalu banyak dan tidak separah orang-orang lain. Hanya ada beberapa bintik yang menyebar di sekitar ketiak dan satu bagian ruam sekitar 2 cm di situ. Semua adalah gara-gara cacar air yang pernah saya derita dua tahun yang lalu.

Seseorang yang pernah mengalami cacar air dan kemudian sembuh, sebenarnya virus tidak 100% hilang dari dalam tubuhnya, melainkan bersembunyi di dalam sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris penderita. Ketika daya tahan tubuh (Immun) melemah, virus akan kembali menyerang dalam bentuk Herpes zoster dimana gejala yang ditimbulkan sama dengan penyakit cacar air (chickenpox). Bagi seseorang yang belum pernah mengalami cacar air, apabila terserang virus varicella-zoster maka tidak langsung mengalami penyakit herpes zoster akan tetapi mengalami cacar air terlebih dahulu.

Sama seperti keponakan saya yang baru saya kunjungi minggu kemarin, saya dan dia sama-sama menderita cacar tepat saat lebaran tahun 2008. Saya lebih dulu dua minggu darinya. Sekarang juga dia sedang terkena herpes zoster, tapi pada bagian yang berbeda. Bintik-bintik yang ada pada dia lebih banyak berada di bagian punggung, sedangkan saya berada di lengan atas, dekat ketiak. Yang paling menyebalkan adalah, bintik-bintik ini perih dan membuat saya susah menggunakan tangan sebelah kanan. Sedikit saja bersinggungan dengan pakaian, maka perih pun langsung menyerang.

Sebenarnya bagaimana virus yang sama dengan cacar air ini bisa menular? Secara umum, seluruh jenis penyakit herpes dapat menular melalui kontak langsung. Namun pada herpes zoster, seperti yang terjadi pada penyakit cacar (chickenpox), proses penularan bisa melalui bersin, batuk, pakaian yang tercemar dan sentuhan ke atas gelembung/lepuh yang pecah. Pada penyakit Herpes Genitalis (genetalia), penularan terjadi melalui prilaku sex. Sehingga penyakit Herpes genetalis ini kadang diderita dibagian mulut akibat oral sex. Gejalanya akan timbul dalam masa 7-21 hari setelah seseorang mengalami kontak (terserang) virus varicella-zoster.

Herpes juga bisa menyerang bagian mulut. Dan dikarenakan penyakit ini bisa menular lewat sentuhan, jangan sekali-kali berciuman dengan penderita herpes. Untung saja saya memang belum punya pacar, jadi tidak perlu 'puasa ciuman' sampai saya sehat kembali.

Begini kira-kira gejaa penyakitnya. Gejalanya yaitu berupa luka pada kulit yang terkena virus, dan disertai dengan?rasa nyeri serta panas, kemudian diikuti dengan lepuhan seperti luka bakar dan demam. Lepuhan-lepuhan kulit yang menjadi ciri khas herpes akan mengelupas dengan atau tanpa pengobatan. Terkadang penderita tetap merasa nyeri dan panas meskipun lepuhan-lepuhan itu sudah kering dan mengelupas. Hal itu disebabkan karena virus herpes menyerang bagian saraf.

Sudah cukup informasinya? Bila belum, silahkan klik saja di sini http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-cacar-herpes.html

Mudah-mudahan informasi dari saya bisa sedikit berguna. Dan mudah-mudahan juga saya virus itu 'ogah' berlama-lama mendekam dalam tubuh saya. Amin.

--

Home, 10 May 2010

Friday, May 7, 2010

Sebuah Kata Menyerah

Bila memungkinkan, saya mengucapkannya dengan penuh suka rela. Saya terbebani dengan hidup saya sendiri. Saya tidak mau lagi memaki, mencaci, marah, terbakar amarah. Saya hanya ingin menyerah.

Bila memungkinkan, orang-orang memiliki penilaian yang sama sepertiku. Saya berusaha dan terus dan selalu melakukannya. Saya tidak ingin lagi direndahkan, dihina, dilukai, disakiti. Saya hanya ingin menyerah.

Tentang apa?

Tentang dunia dan seluruh isinya. Menyerah saja dan mundur teratur. Bersembunyi di balik rok ibu atau ketiak bapak. Saya ingin melakukannya tidak sendiri. Tidak berani. Saya hilang arah dan hilang asa.

Sebuah kata menyerah yang membingungkan. Sebuah kata yang terkulum di mulut hingga kutersedak olehnya. Saya telan pelan sambil terbatuk. Kata itu mengalir masuk bersama ludah yang terasa kering. Kata menyerah itu sekali lagi membentur otakku dan mati karenanya. Ia sendiri kalah.

Apakah saya lalu menang? Tidak. Bahkan untuk menyerah pun saya tidak berani. Mengucapkannya seperti bersumpah mati. Saya menutup mata, membiarkan udara menyertai beban di pundakku yang terasa semakin berat, melayangkan mereka hingga jauh. Menyerah dan mati. Itu adalah sebuah konsekuensi. Bertahan lalu menangis. Itu adalah sebuah harga diri.

Kata menyerah yang pelan-pelan hancur dalam perutku, mungkin saja terbakar jadi abu. Jangan kembali! Aku mohon, pergi saja. Kau terlalu menyesakkan. Bukan aku tidak ingin mengucapkan menyerah itu, aku hanya ingin bersahabat denganmu.

--

Home, 7 Mei 2010

Wednesday, May 5, 2010

Masa Kecil



Ada sebuah album warna merah yang sedang menganggur di lantai kamar saya. Di dalamnya banyak sekali gambar-gambar yang bercerita. Sebagian besar, saya kumpulkan ketika masa kuliah. Waktu itu saya terobsesi membuat sebuah kolase foto yang membanggakan yang ternyata sampai sekarang belum kesampaian. Seperti biasa, alasan yang paling benar untuk membenarkan diri saya adalah istilah 'hangat-hangat tai ayam' alias semangat di awal saja.

Karena sedang inisiatif tinggi membersihkan kamar, terjadilah hal itu. Saya kembali bernostalgia dengan masa lalu. Waktu itu saya tinggal bersama dua kakak perempuan yang keduanya badung bukan main. Adik saya belum lahir, belum sempat melihat kelucuan kami-kami waktu kecil. Karena itu juga, saya ingin mengumpulkan koleksi foto supaya adik saya bisa mengetahui dan bangga dengan kami para pendahulunya.

Masa kecil saya biasa saja. Kami tinggal berlima di sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Ada tiga kamar dua kamar yang besar-besar di situ. Saya berbagi tempat tidur dengan kedua kakak dan orang tua kami tidur di kamar utama. Saya ingat betul, satu-satunya lemari yang memadai adalah sebuah lemari kayu. Sisanya hanya lemari plastik yang kecil dan tidak indah. Di ruang tamu, sebuah sofa berwarna merah dan bergambar burung cendrawasih adalah satu-satunya tempat 'leyeh-leyeh'. Tapi rumah kami besar, luas dan lengkap dengan halaman plus pohon buah-buahan. Saya biasa bermain di halaman karena gerbang rumah tinggi dan selalu terkunci. Saya dilarang bermain di luar, apalagi dengan tetangga. Ya, kami mahluk antisosial saat itu. Cuma beberapa sepupu yang rumahnya tidak jauh dari situ yang diizinkan menjadi teman main kami.

Dengan keterbatasan teman, saya sering menciptakan permainan-permainan yang tidak membutuhkan peserta. Biasanya saya masak-memasak dengan alat seadanya. Waktu itu, mainan plastik masih tergolong mahal, apalagi dengan tema masak-masakan. Saya biasanya memasak tanah, daun pohon jambu, bunga belimbing, dan apa saja yang saya temukan di halaman. Pernah suatu hari, jari saya teriris dan saya ceburkan begitu saja ke dalam baskom. Alhasil, air dalam baskom penuh dengan darah dan berubah warna. Mama tentu saja shock waktu melihatnya. Tapi tetap saja, air mata saya yang bercucuran tidak meluputkan saya dari marah-marahnya. Kadang, saya bermain 'kubur-kuburan'. Terus terang, ini adalah permainan favorit saya. Saya akan membuat pekuburan mini di dekat pagar, lalu mencubit-cubit kelopak bunga jadi kecil untuk ditaburkan di atasnya, membuat nisan dari lidi. Setelah satu kuburan jadi, saya berpura-pura menjadi salah satu pelawat yang menangis di depan makam. Saya betul-betul bisa menangis saat itu, seperti merasakan kehilangan yang sesungguhnya. Ah, kacau! Ternyata bakat acting saya dulu tidak dilirik oleh produser manapun dan menjadikan saya pemain film.

Tapi dulu, saya sungguh bahagia. Sepertinya masa kecil saya tidak serumit sekarang. Ke mana perginya kesenangan saya waktu dulu? Saat ini saya seperti kehilangan masa-masa itu. Dan bernostalgia selalu berhasil membuat saya kembali bersemangat. Walaupun kami adalah keluarga keturunan tionghua yang kurang bersosialisasi, tapi saya masih ingat kegilaan-kegilaan kami dulu sangatlah menyenangkan. Rasanya ingin kembali ke sana.

Sekarang rumah saya sudah berupa rumah modern dan berada di perumahan yang cukup bagus. Pernah beberapa tahun yang lalu, saya melihat rumah itu lagi. Pohon jambunya masih ada di halaman depan. Pagarnya sudah usang dan rumahnya total tidak terawat. Sayang, sudah bertahun-tahun tidak ditempati. Tetapi kenangan saya yang tertinggal di dalamnya, saya harap masih bisa saya rasakan sampai nanti.

Dua buah foto masa kecil akhirnya saya upload di social media. Saudara-saudara saya tertawa senang. Saya harap mereka juga bisa merasakan dan bernostalgia dengan masa lalu yang lucu. Masa kecil memang menyenangkan untuk dikenang, bukan?



--
Nostalgia selamanya bahagia
Home, 5 Mei 2010

Tuesday, May 4, 2010

Hujan Tengah Malam dan Doa pada Tuhan

Tuhan yang pemurah, titik-titik air yang jatuh ke tanah yang kemudian meloncat-loncat kegirangan di bawah sana, yang menciptakan riak kecil pada tepi jalan, aku syukuri pada malam ini. Mengalirlah sampai ke ujung, terus turun pada selokan yang landai, membawa hatiku jatuh dan berderai. Aku mencintai Engkau.

Malam ini basah. Begitu basah sampai aku harus memeras hatiku yang kebanjiran. Terlalu penuh cinta yang dicurahkan padaku. Engkau sungguh baik. Kau mengisi aku dan memenuhi aku berkali-kali, bahkan ketika aku menjadi pelupa. Tangan yang perkasa itulah yang kembali membawa aku pulang, berlabuh pada-Mu.

Ah, hujan. Selalu saja hujan yang menyuarakan kecintaanku pada-Mu. Mungkin harus kutanyakan pada ibu, apakah aku lahir saat turun hujan deras. Suara-Mu mengalir di telingaku bersamaan dengan gemericik air yang menabuh bumi. Aku ingin merasakan aliran air yang sesungguhnya, yang jarang kurasa saat ku basuh tubuh ketika mandi. Aku ingin merasakan tetes-tetes hujan yang berlomba turun dari dahi hingga ujung kaki. Aku ingin merasakan Engkau.

Air mata hatiku tidak bisa membanjiri lahan di bumi, seperti Engkau yang menyuburkan dunia yang kering. Aku menangis bukan karena kesedihanku, bukan karena putus asa, bukan juga marah atau benci. Aku menangisi siapa? Haruskah aku mengaku bahwa aku sungguh tidak berdaya? Aku berpasrah. Aku mengadukan hidup dan matiku, Tuhan. Engkau pencipta alam. Semoga sudilah Kau mendengar. Dan kupercaya, tak ada air mata yang sia-sia. Kau akan mengganti curahan kepedihanku dengan cinta-Mu.

Amin.

--
In the middle of rain
Home, 4-5-2010

Saturday, May 1, 2010

Pinta Seorang Manusia

Peluh,
Keruh

Sedih,
Pedih

Marah,
Gerah

Kutuai kata-kata
Mengalun tanpa suara

Kumaki dunia
Tertuang dalam air mata

Dawai matahari
Genderang kulit rembulan
Tolong terangi aku
Sekali lagi
Lagi...

Lalu pintaku pada Tuhan
Manusiakan aku
Lebih manusia
Hingga esok
Esok...

Syukur kepada Allah

Friday, April 23, 2010

Kuserahkan Saja Pada-Mu

Kuserahkan saja pada-Mu. Kau yang mengetahui semua, termasuk isi hati dan air mataku. Kuserahkan agar Kau bisa memberikan padaku yang terbaik, seperti rencana-Mu. Kubiarkan aku berpasrah dan mengaku lemah. Tuhan, aku sudah lelah. Biarkan kali ini aku menangis di pangkuan-Mu dan kuserahkan pada-Mu hidupku.

Tak pernah tersampaikan sesak ini pada seorang manusia. Pada-Mu satu-satunya aku bisa mengeluh tanpa terburu waktu. Mendengarkanku bicara mungkin memuakkan, betul kan Tuhan? Melihat aku mengeringkan keruh air mata pun tidak menyenangkan, karena seketika banjir lagi dan rusak bendungannya. Aku suka menangis berlama-lama, tanpa tahu kapan aku akan berhenti. Lebih sering aku menangis sampai tertidur, berharap Engkau akan mendatangiku melalui sebuah kabut putih dan menasehati aku dalam mimpi. Tuhan, mengapa aku selalu tampak putus asa?

Malam ini, kuserahkan hanya untuk Engkau. Bapa yang baik, jangan pernah tinggalkanku. Tuhan yang kuasa, ampunilah dosaku.

Kering tenggorokanku, menangis tanpa suara.

Tuhan, aku sudah berusaha. Aku ingin menjadikan semuanya sempurna. Aku dulu yakin sekali bahwa aku bisa. Aku ingin membuktikan pada semuanya. Tapi lihat kegagalanku, ketertinggalanku, keiri-hatianku, kesombonganku yang luluh jadi debu. Aku tinggal dengan hanya semangat yang tersisa sepenggal. Penggalan kecil yang tersisa untuk berpasrah. Sekali lagi aku ucapkan, dengan isak yang lirih dari dadaku, permohonanku yang kusampaikan dengan perasaan kalah. Kuserahkan pada-Mu dan jadikanlah seperti yang Kau mau.

--
in the middle of hopeless
Home, 23 April 2010

Monday, April 19, 2010

Sejak Kehilanganmu

Saya menepuk dada berkali-kali. Terasa kosong melompong,seperti dinding yang tengahnya tidak terisi sempurna. Ada gaung yg mengingatkan saya,pada sebuah kehilangan. Tiba-tiba ruangan tiga kali empat ini serasa hampa udara. Sulit bernapas,apalagi bergerak. Bahkan bibir pun terasa kebas dan kepala seperti tak berengsel,hampir lepas dari sendinya.

Lalu bisa apa sekarang? Dulu semua saya tulis dengan menggebu. Sebuah ketololan yang sering kulakukan. Aku melepasmu. Mungkin bukan itu saja, saya berusaha untuk membuatmu melepaskanku. Kamu menyerah. Kamu menutup mata,seakan-akan tidak peduli bahwa aku ada. Lalu tinggallah aku,tersaruk-maruk menyeret langkah yang kecil untuk bisa terus berjalan. Saya terima sendiri akibatnya. Kamu pun entah bagaimana,menata hidupmu tanpa aku. Daya ku pupus. Sudah hilang,tak berwujud.

Katamu,"kamu pasti bisa tanpa aku". Kataku,"aku bukan manusia tanpamu". Kita saling beradu dalam kata-kata yang sekejap saja habis. Hanya barisan kalimatku yang berbicara pada diri sendiri yang tersisa. Kamu berpaling,entah ada air di sudut matamu atau kering. Saya belum sempat melihat.

Katamu,"anak-anak itu tidak berdosa". Kataku,"mereka tidak berdosa,aku lah si empunya dosa itu". Kau enyahkan tangan yg tergenggam meraup ujung kemejamu. Kau berteriak supaya aku mendengar,padahal aku memang mendengar. Tapi aku tidak mengerti. Hingga saat ini,aku masih tidak mengerti. Tak!

Berputar dan terus mengalun lagu itu, dalam kekosongan jiwaku. Saya senyap. Kata sebagian orang, saya pasti terpulihkan. Hati yang kopong, bukan karena saya tidak peduli. Mungkin hanya karena saya memang sudah mati. Sejak kehilanganmu.

Lihatlah, Siapa yang Menangis!

Lihatlah, cucur air mata yang bertandang ke pipi merah merona!
Buaian lagu pujian pun membuatnya mengharu
Lihatlah, sejengkal imannya yang teruji bertubi-tubi!

Tuhan yang merajai dunia
Ada di mana Engkau?
Ia berteriak,
menjulurkan tangannya menggapai-gapai udara kosong
Kalut
Takut

Lihatlah, siapa yang menangis!
Lihatlah, kerut-kerut dahinya!

Lihat Tuhan, dan tolong sapalah ia

--
in the middle of emptiness
Home, 19 April 2010

Tuesday, April 13, 2010

*Tak Berjudul

Masa lalu tidak berhenti mengejar saya hingga saya lelah. Terduduk saya di sofa abu-abu kesayangan dan menghilang ke balik buaian pikiran. Saya teringat kenangan, yang tidak seharusnya terus saya kenang. Saya berandai mimpi, yang tidak semestinya selalu saya impikan.

Memang betul, saya merasa lelah. Tapi betul juga kata salah seorang sahabat saya. Dia bilang, saya jarang menyentuh tanah. Saya melambung dan selalu ingin terbang tinggi dalam khayalan dan kenangan dan andai-andai dan mimpi yang saya buat sendiri. Mengapa? Saya juga tidak terlalu mengerti. Mungkin sebagian dari diri saya masih ingin tinggal dalam masa lalu. Atau mungkin juga, sebagian dari diri saya berharap bisa menjumpai diri saya di waktu itu.

Saya keji. Kadang-kadang begitu. Saya merasa bahwa dunia ini sering bisa saya putar balik, saya injak-injak, dan tidak saya hargai dengan baik. Saya ingin memangsa lelaki-lelaki, mereka dengan gender yang membuat saya merasa putus asa. Okay, saya salah. Bukan lelaki-lelaki, tapi hanya satu pria. Dia. Bagaimana mungkin saya bisa membalas dendam, sementara kedamaian yang saya cari sebenarnya berasal dari diri sendiri. Sedangkan untuk harus melupakan, sangat tidak mungkin rasanya. Mungkin memang saya pernah memaafkan dia, tapi tidak mungkin bagi saya untuk bisa lupa. Dia adalah kenangan yang saya jaga, yang saya sapa setiap pagi, yang saya doakan setiap malam, yang saya pikirkan sepanjang perjalanan, yang menempel dan saya biarkan tumbuh berkembang dalam hati. Walaupun hati itu juga saya pagari. Dia tetap saja merambat, karena betul, memang betul saya yang memupuknya.

Tolong pinjami saya gunting dan arit.

Ingin memotongnya.

Saya putus asa.

Kata mereka, saya gila.

Tidak pernah satu kali pun, ada niat untuk mencelakai orang lain. Tidak pernah saya ingin menyakiti perasaan orang lain. Ketika ada yang berprasangka kepada saya, lihatlah sekali lagi. Prasangkamu atas prasangka ini membuahkan sebuah lingkaran yang menyulitkan kita semua. Jadi tolonglah. Saya bukan ingin dimanjakan, saya tidak mau mencari pelarian, saya juga malas untuk berpura-pura. Saya cuma ingin dimengerti, bahwa keadaan ini akan membaik nanti. Nanti, kata saya. Apabila ada yang lebih berbaik hati, tolong pinjamkan saya gunting dan arit. Itu akan lebih membantu saya dan hubungan kita.

Jadi mana gunting dan aritmu?

Sunday, March 28, 2010

Tuhan, Aku Cinta Padamu

Aku lemas

Tapi berdaya

Aku tidak sambat rasa sakit

atau gatal

Aku pengin makan tajin

Aku tidak pernah sesak nafas

Tapi tubuhku tidak memuaskan

untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku

dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian

kepada Allah



Tuhan, aku cinta padamu

Rendra

(Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga Jakarta.)

Friday, March 5, 2010

Putri Sumpit

Di sebuah negri yang jauh, di balik pelangi yang bersemu warna kuning saja tanpa enam warna lainnya, di atas bukit yang berbentuk seperti jamur, dengan hutan berisi pohon-pohon bergantung terbalik dengan daun sebagai akar, dan akar sebagai pucuk dedaunan.

Negri yang jauh itu bernama Negri Sumpit. Ada sekitar lima ratus mahluk berwujud manis, memakai topi-topi kerucut di atas kepala mereka. Laki-laki dan perempuan dibedakan dengan warna. Para lelaki berwarna ungu cerah dan wanita berwarna merah muda. Pakaian mereka terbuat dari segitiga-segitiga kecil yang tertata rapi menjadi sehelai pakaian. Segitiga yang berwarna-warni, berkilauan ketika terkena cahaya matahari dan berpendar di kegelapan. Ujung kaki mereka runcing seperti moncong tikus, kecil dan tertutup sepatu dari kelopak teratai. Dan begian kepala. Bagian kepala mereka, adalah sumpit yang tertancap dengan manis di ubun-ubun, menjulang dari balik rambut dan topi para lelakinya.

Seorang raja yang memimpin Negri Sumpit memiliki sumpit kepala paling besar di antara semuanya. Tidak pernah seorang pun yang bisa menandingi kebijaksanaan raja. Raja sumpit sangat baik hati dan menyintai rakyatnya. Rakyat Negri Sumpit pun menghormati raja sehingga setiap bertemu raja, mereka memegang ujung kepala sumpit masing-masing dan berlutut di hadapannya.

Negri Sumpit sangat makmur. Penduduk negri ini memiliki keahlian khusus untuk membuat mie. Setiap perempuan, laki-laki, anak kecil, dan dewasa, mampu membuat mie yang sangat lezat. Kelezatan mie yang dibuat oleh Negri Sumpit terdengar sampai ke seluruh penjuru. Mereka membuat mie ayam, mie bakso, mie pangsit, mie telor, mie rasa pizza, mie rasa bbq, mie rasa jeruk, mie rasa coklat, dan berbagai macam mie. Setahun sekali, di penghujung musim hujan stroberi, mereka akan mengadakan festival mie. Setiap penduduk menyumbangkan mie buatan mereka untuk bisa dicoba oleh penduduk negri lain. Dan mie yang mereka sajikan tidak ada yang sama.

Selama sembilan bulan, ada sembilan musim hujan dengan hujan yang berbeda-beda. Irisan sosis, biji kopi, manik-manik, gula, susu, gelembung sabun, biji jagung, kelopak mawar, dan stoberi. Sebulan berikutnya adalah musim hujan air yang sangat basah kemudian dua bulan kemarau yang menguapkan semua tetesan hujan sehingga tanah mereka kering kembali.

Bulan ini adalah awal musim hujan kelopak mawar. Baru sedikit saja kelopak mawar yang turun. Semua penduduk sedang menghadapi kebingungan luar biasa karena kurang dari dua bulan mereka harus menyiapkan mie yang akan diikutkan ke festival. Tahun ini, beberapa di antara mereka sudah mengumumkan mie yang akan dibuat. Menu tersebut ditempelkan di depan rumah masing-masing, sehingga penduduk lain dapat melihat dan menentukan mie yang lain yang akan dibuat.

Di dalam istana raja, Sang Raja pun bingung. Tahun ini adalah tahun kelima festival tanpa ratu. Biasanya, Ratu lah yang akan meresmikan festival mie dengan mengangkat sepasang sumpit tinggi-tinggi lalu membunyikan lonceng dengan sumpit yang ada di kepalanya. Ratu sumpit sudah tiada karena sakit dan meninggalkan raja dengan seorang putri saja. Putrinya kini sudah berusia dewasa, dan Raja sangat ingin mencarikan pasangan untuknya supaya kelak mereka bisa meneruskan memimpin kerajaan. Seharusnya tidak ada tahun keenam festival mie tanpa seorang ratu. Seharusnya tahun depan, putrinya sudah bisa meresmikan festival dengan membunyikan lonceng menggunakan sumpit di kepalanya yang berbentuk sangat cantik.

Putri sumpit memiliki nama, Raisha Sumpitfri. Putri Raisha sangat anggun. Sumpit di atas kepalanya memiliki ukiran yang indah. Selain cantik, putri juga cerdas. Putri selalu bisa memasak mie dalam waktu sangat singkat dan enak sekali rasanya. Tahun ini putri belum menyiapkan resep untuk festival bulan depan. Di tengah kebingungannya, putri menemui raja yang sedang bersusah hati.

"Ayahanda, aku tidak tahu harus membuat mie apalagi tahun ini. Apakah Ayah bisa memberikan ide untukku?" Katanya menghampiri Raja di singgasana.

"Oh, putriku yang cantik dan bersumpit indah. Ayahanda sedang tidak bisa memberikan ide kepadamu. Sesungguhnya Ayah pun bingung dan memiliki pikiran yang mengganggu saat ini."

"Katakan kepadaku, Ayah. Apakah gerangan kebingungan Ayah itu? Aku siap membantu Ayah untuk menghadapi masalah apapun."

Lalu Raja menggenggam tangan sang putri dan menceritakan semua keluh kesahnya. Putri Raisha terkejut, tidak menyangka bahwa Raja ingin mencarikannya seorang pasangan. Putri pun ikut bingung, karena ingin membahagiakan ayahnya. Tapi putri tidak pernah jatuh hati kepada lelaki manapun di negri itu. Sang putri setiap hari hanya belajar teknik memasak mie yang baru, belajar melukis, menyanyi, bermain alat musik, berpuisi, dan membantu Raja mengawai Negri Sumpit.

Putri memikirkan matang-matang rencana Sang Raja dan memutuskan untuk bersedia dipasangkan dengan calon pilihan ayahnya. Sore hari cerah, setelah hujan kelopak mawar sebentar, Putri Raisha lalu berjalan-jalan keliling Negri Sumpit sendirian. Ia terus menelusuri sungai mentega dengan pikiran yang meliar. Tanpa disangka, Putri sudah melewati batas Negri Sumpit dan tersesat di dalam hutan. Tidak lama lagi, matahari akan tenggelam dan malam pun segera tiba.

Putri terus melangkah hati-hati setelah sadar telah tersesat. Burung-burung hutan yang bersayap kelopak bunga lili melintas di atas hutan. Suara bambi yang mendengkur terdengar makin jelas. Laba-laba hutan yang membentuk jaring perak tersebar di pohon-pohon terbalik raksasa. Putri terus melangkah dan melangkah mencari jalan pulang tapi terus semakin tersesat menjauh dari negrinya. Teriakan putri hanya bergaung dan menggema di dalam hutan. Malam pun turun. Putri merasa sangat lelah dan berhenti di bawah salah satu pohon terbalik. Ia duduk di sana dan menangis. Ia menangis dan terus menangis hingga tertidur.

--
Sebagian dongeng yang belum selesai
Tj.Duren, 7 Maret 2010

Thursday, March 4, 2010

Saya, Toilet, Menjelang Malam

Keram. Toilet jongkok ini membuat saya susah konsentrasi. Harusnya ada niat yang sangat mendesak untuk saya bisa meluruhkan semua sisa makanan yang tidak habis dicerna perut. Tapi niat itu dihalangi, ditekan sampai sedalam-dalamnya sehingga mereka tidak mau keluar. Malu mungkin. Malu pada toilet jongkok yang jarang disikat. Malu pada cermin usang yang sudah tidak bisa dipakai berkaca. Perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) saya mungkin sudah terbiasa dengan tempat yang terang-benderang, bukan yang gelap karena bohlam kekuningan yang tidak bercahaya sepenuhnya.

Ada-ada saja. Bahkan perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) saya mulai memanja. Ada peluh yang mengalir deras melewati dahi dan turun ke pipi. Saya usap dengan sedikit terengah. Saya lelah. Bahkan untuk buang air saja, saya merasa harus kerja keras sampai begini. Mungkin ada baiknya juga, supaya perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) yang saya punya bisa belajar hidup susah. Selama ini mereka hanya dijalankan oleh otak saya yang pemalas. Selama ini mereka 'nemplok' begitu saja. Begitu mereka teriak sakit dan berhasrat untuk buang air, saya langsung ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian, tuntaslah sudah. Sakit itu tidak berlangsung lama, kecuali si perut dan sistem pencernaan saya mengalami gangguan, terjangkit kuman, atau si maag yang hobi bercokol kalau saya kebanyakan minum kopi atau terlambat makan sedikit saja.

Sekarang rasakan. Rasakan kalian, perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan)! Biar kalian bisa mengerti, menahan sedikit sakit dan kotoran itu mengendap sebentar. Supaya tak sering-sering kalian menyusahkan. Supaya makin naik tingkatlah kalian. Supaya nanti, lain kali, tidak ada lagi penolakan untuk segala jenis toilet jongkok, kamar mandi sempit, cahaya remang-remang, kotornya lantai, dan lain lagi, dan macam-macam lagi.

Menjelang malam, saya dan toilet jongkok beraksi, memberi pelajaran pada kalian si perut yang susah diajak kompromi dan tidak mau diikutkan dalam mediasi.

--
In the middle of stomachache
H.Syahrin no. 16

Wednesday, March 3, 2010

Sore Hari di Suatu Hari

Cafe ini lengang. Belum tampak kerumunan orang yang sibuk mengatur nafas dan memburu udara setelah lelah bekerja. Baru ada saya, dan segelintir manusia yang berpakaian santai, tanpa blazer dan sepatu pantofel. Saya dan segelas ice chocco latte. Terjebak dalam bising jalanan yang mulai padat dan tontonan berita yang tak henti-henti mengulas keributan di gedung pimpinan rakyat.

Sebuah asbak dengan dua puntung rokok bekas isap terdampar di atas meja. Mereka sudah dipakai habis sampai ke ujungnya oleh salah satu rekan kerja saya. Dua jam yang lalu, saya masih berkutat dengan meeting dan obrolan penting seputar kerja. Saya, rekan, dan atasan. Kami bertiga putar otak supaya semua bisa dibereskan. Segera! Dalam hitungan hari saja, saya harus menyelesaikan pekerjaan ini supaya kami bisa lebih lega tanpa kejaran hutang kerjaan. Mendadak, sebuah keinginan bersantai lenyap. Saya harus menuntaskan ini. Pasti!

Melirik sebuah mobil kecil, khas city car sekali, berwarna kuning, yang baru saja meluncur di jalanan sebelah saya membuat saya ingin cepat pulang. Saya ingin loncat ke dalamnya, ikut menumpang sampai ke arah peristirahatan. Rumah kecil yang jarang saya tinggali, karena saya lebih banyak tinggal di beberapa tempat seperti kutu. Pindah sana dan pindah sini. Tapi saya merasa malam ini saya harus pulang. Ada kamar yang sudah pasti berdebu karena saya selalu kabur dari situ. Ada meja yang harus saya bereskan dari tumpukan kertas berantakan. Ada pakaian kotor yang mungkin tidak sempat saya masukan ke cucian. Terlebih lagi, ada seorang sahabat lama, seorang teman yang saya lupakan. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri dan pekerjaan.

Sore hari ini, dengan sengatan matahari yang sama panas seperti siang, saya sangat ingin pulang. Saya ingin menghabiskan waktu di depot ayam goreng kecil di dekat sana. Saya ingin bercerita ngalor-ngidul dengan sahabat saya. Ya, sahabat yang saya tadi ceritakan sebelumnya. Dia yang tinggal sebelah kamar dengan saya. Saya ingin mandi, menggosok semua permukaan kulit dan membersihkan semua. Saya ingin menikmati malam-malam sendirian di depan rumah, mendengarkan sepi yang sungguh sepi.

Baru saja, seorang lelaki perpakaian perlente dan sepatu kulit mengilap duduk di meja sebelah. Hampir yakin, saya bisa menebak bahwa dia adalah salah seorang karyawan kantoran yang baru pulang bekerja. Dia melihat-lihat buku menu dan membaca dengan serius seperti mempelajari buku sekolah. Aneh rasanya, karena dia memakai kacamata yang melorot terlalu jauh dari pangkal matanya. Saya diam saja, memperhatikan diam-diam, melanjutkan bercerita dalam diam, dan akhirnya dia melihat saya. Sebuah tatapan yang membingungkan, karena saya seperti ditegur (disapa) dalam tatapan itu. Serba salah, saya meneliti lagi penampilan mulai dari kepala hingga kaki. Tampaknya tidak ada yang mengganggu. Ya, kecuali kesendirian saya di sini ditemani segelas ice chocco latte dan laptop MAC ini. Kesendirian yang sama dengannya bukan? Dia pun hanya ditemani oleh sebuah laptop hitamnya. Mungkin dia merasa, kami bernasip sama. Kami terjebak dalam sore hari kota Jakarta yang mulai padat di kawasan selatan. Saya menunduk dan melanjutkan mengetik saja. Dia tersenyum.

Ingin saya cepat-cepat menutup laptop dan menuntaskan pekerjaan saya ini. Tapi membongkar kembali file-file sebulan yang lalu berikut email yang berkaitan dengan pekerjaan itu tidak semudah yang saya perkirakan. Saya ingin bisa pulang dengan lega, tanpa himpitan utang kerjaan. Baiklah. Sore hari ini, saya selesaikan semuanya.

Jakarta, dengan riuh rendah suaranya masih menemani saya menulis dan bercerita. Masih memaksa saya untuk segera bergegas pulang dari sini. Sore hari ini, di sebuah hari yang biasa saja, di tengah cafe yang mulai padat pengunjung. Sore hari di suatu hari saya telah bercerita.

--
Kemang,
3 Maret 2010

Tuesday, March 2, 2010

Hujan Bulan Maret

Bukan bermaksud menyama-samakan judul tulisan ini dengan judul tulisan salah satu guru menulisku yang bicara soal "Hujan Bulan Juni". Saya hanya ingin bercerita sedikit saja mengenai betapa hujannya hari ini, sebuah hujan di awal bulan Maret.

Hujan di bulan Maret tentunya biasa-biasa saja. Tapi hujan kali ini membasahi bukan hanya pakaian putih dan sehelai pasminah, tapi membanjiri seluruh isi kepala. Hujan yang langka, karena beruraian deras, sempat berhenti, lalu meluncur kembali ke atas bumi. Ada wajah-wajah yang melirik padaku. Wajah yang sumringah, wajah yang sudah terlupa, wajah yang tak pernah dikenal, dan wajah yang tak pernah tersapa. Ada kamu, sebagian besar teman-temanku, sedikit masa lalu, orangtua, saudara, tetangga, dan Tuhan saya.

Siapa?

Siapa Tuhan saya itu?

Mana?

Di mana Dia muncul dan hilang, datang, dan berlalu pergi?

Saya juga bertanya-tanya. Di mana kira-kira Beliau menyembunyikan diri-Nya. Selama ini saya meraba saja, mencari pijakan kaki yang kira-kira pantas untuk saya injak dan tempati. Bukan di sini. Saya merasa lebih bersalah lagi setelah wajah Tuhan yang tak berwujud itu menghilang, berganti dengan sebuah wajah dari masa lalu (yang tentu saja saya anggap berakhir kelam).

Tuhan, maaf.

Bukan Tuhan yang saya ingin lupakan. Justru orang itu. Dia yang mencintai hujan sama seperti aku mengasihi setiap titik air yang jatuh ke tanah. Saya juga ingin menyentuh hujan, seperti dia yang bersahabat dengan laut.

Awal bulan ini, dengan sentuhan hujan yang malas berhenti membuat saya kedip-kedip. Rentetan utang yang membebani, waktu yang seolah tidak pernah cukup, pekerjaan yang menumpuk, kesendirian yang tidak mau beranjak, liburan yang cepat sekali selesai. Semua keengganan itu membuat mata dan hati saya meloncat, melonjak, guling-guling, koprol dan kalau bisa sekalian hand stand dengan sendirinya. Lelahkah saya? Sampai kapan saya akan terus mengambang di batas kewarasan dan jurang kegilaan?

Saya tahu, bukan karena dia. Saya menjerumuskan diri sendiri saja.

Lalu Tuhan dalam titik air hujan yang sudah menggenang di belakang sofa membuat saya berpikir ulang. Sanggupkah sekali lagi aku menyapa-Mu di atas sajadah? Perbincangan tentang Engkau dengan seorang teman disore hari ini alot dan seru, setidaknya dalam hatiku. Lalu mengapa sekali lagi rasa haru menyeruak ketika saya mengatakan sebuah kata itu? Membayangkan saya berserah pasrah dalam sujud, saya menggigit bibir keras-keras. Masih berbekas lukanya sampai sekarang. Tapi luka di hati saya bisa lebih lama sembuh. Karena saya lari dari cinta-Mu. Sekali lagi, maafkan Tuhan.

Dan kesempatan itu datang. Saya mencari sebanyak-banyaknya, menggali ingatan, mencoba mengulangi, dan akhirnya melakukannya. Bertemukah saya dengan Ia? Tidak, belum sempat. Saya gagal kali ini. Tapi saya pasrah, bukan Ia yang tak mau menemui. Saya tahu. Saya sangat mengerti, Ia bisa saya temui dalam wujud apa saja kapan saja. Dari sehelai sajadah, dari lantunan doa, dari syair, bahkan dari hujan. Ia selalu bisa mengetuk hatiku dan membuat saya mengatakan, "ampuni aku ya, Tuhan".

Hujan bulan Maret. Perjalanan tiada ujung. Awal pencarian ulangku. Akhir penantianku tentang kamu. Hujan yang deras yang akan teringat, kapan, di mana, seperti apa, bagaimana dinginnya, betapa malasnya, dengan siapa bersua, dan kepada siapa hamba berserah nantinya.

Saya tidak akan lagi menangisi kamu. Saya berhenti memujamu.

Selamat datang Maretku, dan selamat tinggal hujanmu.

Terselip di gigi, sebuah kalimat terakhir yg ingin diucapkan,"Apa kabar Tuhan? Aku lega, terbebas darinya".

--
In the middle of peace
Jakarta, 1 Maret 2010

Friday, February 26, 2010

Seolah-olah

Seolah-olah aku mencintaimu
Jatuh hati sampai tergila-gila

Seolah-olah aku menyayangimu
Ingin bertemu dan bermanis manja

Seolah-olah saja
Padahal langit tahu
Padahal pepohonan mendengar
Padahal matahari mengerti

Seolah-olah kita sepasang pencinta
Padahal hanya orang-orang bermuka dua

Seolah-olah kita kekasih
Padahal cuma kebiasaan dan harga diri

Kamu dan aku seolah-olah ada
Kita,
yang sebenarnya terpisah
aku dan kamu yang seolah-olah saja

--
In the middle of trap
Jakarta, 26 February 2010

Thursday, February 18, 2010

Aku, Kamu, dan Starbuck

Sebuah penghantar malam yang lalu cepat larut, seperti gula di dalam air mendidih. Kau yang menjerang airnya. Kamu membuat malam yang cepat larut, menjadi manis dengan gula. Kau yang taburkan gulanya.

Starbuck dan sebuah cafe open air tepat di sebelahnya. Kita duduk menghadap jalan raya, menghirup udara minim polusi sebanyak mungkin supaya paru-paru yang terbiasa dengan asap dan telinga yang berteman dengan bising bisa menjadi baik kembali. Malam sudah larut. Ada aku, kamu, dan Starbuck.

Padahal kita makan dan minum di sebelah sini, bukan di coffee shop terkenal itu. Kita bercerita dan sibuk membahas starbuck tanpa henti. Starbuck dan seorang barista, Starbuck dan pesona si wanita. Aku, kamu, dan Starbuck. Bertiga dalam malam yang cepat larut, dan manis, dan si minim polusi udara.

Kamu memilih sebuah perbincangan tanpa sakit hati, tentang seorang wanita, tentang seorang barista. Aku banyak berkomentar, kadang seadanya, kadang sekenanya, kadang serius, kadang bercanda. Aku ingin kamu tahu bahwa aku mendukung apapun yang membuat orang lain senang. Kamu pasti senang, karena raut mukamu berseri-seri menceritakan dia tanpa sela tanpa henti. Aku tahu. Di dahimu tertulis itu. Kamu suka padanya. Dia sang barista.

Di sinilah kita. Mendamparkan diri pada sebuah sofa merah tua, di sebuah cafe open air, di sebelah Starbuck persisnya. Pembicaraan dari hulu ke hilir tentang kopi, masalah di kantorku tadi pagi, kesibukanmu mencari cara mendekati wanita, pembicaraan ngalor-ngidul, sampai ke seorang barista. Aku, kamu, dan Starbuck.

Dan malam ini aku merasa cukup bahagia.

--
In the middle of something
Azalea 17/AH, 18 February 2010

Wednesday, February 17, 2010

Bahkan Ketika Fajar

Sekali lagi merindukanmu. Sudah pasti, muaklah semua orang yang berulang kali mendengar kalimat yang sama keluar dari mulutku. Tapi bukan sesuatu yang dibuat-buat. Perasaan ini mengalir, deras dan kencang, berdenyut-denyut dalam nadi yang mulai melemah.

Kamu, terbit di kepalaku tepat sebelum matahari menyapa dunia. Dalam dunia yang lirih, aku ingin kamu ada. Nyata. Bukan rekayasa angan-angan saja. Bukan karena otakku berteriak menampilkan kamu di pikiranku. Aku ingin kamu bisa aku sentuh. Bolehkah? Sekali saja mungkin. Aku ingin mencium tanganmu terakhir kali.

Aku diam saja, menghayati setiap pesan yang sempat kamu tinggalkan. Belakangan ini, jari-jarimu yang sering hinggap di pikiranku. Entah mengapa. Mungkin karena kamu mencintaiku dari potongan-potongan jari yang menurutmu berseni (Ya, Tuhan memang seniman handal). Dulu. Katamu. Dan aku sekarang meningat jemarimu yang mendawaikan lagu, di balik gitar itu, meninggalkan sebait pesan atau sepenggal kata cinta. Dulu. Nyanyianmu.

Jauh menghilang. Pelan. Sayang, terlalu pelan. Sangat pelan hingga kamu menempel diam-diam. Aku tidak sadar sekali lagi mencintaimu. Tidak mengerti mengapa cinta bisa datang dan pergi dari orang yang sama yang sudah lama tidak berjumpa. Jumpalitan seperti naik roller coaster. Jatuh cinta ini seperti duri yang terselip pada daging. Rasanya utuh, tepat mengganggu ketika diam atau bergerak. Kamu duri itu.

Dan bahkan ketika fajar seperti sekarang. Dan bahkan ketika kamu sudah jauh di seberang. Dan bahkan ketika sudah lama aku menyerah meletakkan harapanku. Bahkan kini, setahun lebih ketiadaanmu. Aku masih merindukanmu, jatuh hati padamu, mencintaimu.

--
In the middle of memories
Jakarta, 17 Feb 2010

Wednesday, February 3, 2010

What's All those Nice Words Means?

yeay, nice words means nothing!

Gigi-geligi yang menyempil indah pada gusi, menarikan suara dari kata. Padahal kata itu lalu tak berarti apa-apa. Ya, hanya gigi-geligi yang menyempil manis pada gusi. Membantu sebuah nada yang terpaut dari mulut yang berbusa karena kata.

Aku memiliki ketertarikan menulis dan berkata-kata. Dari otak hingga sampai ke jari yang berjumlah masih lengkap sepuluh. Aku tertarik untuk bicara tentang kata-kata. Dari hati hingga sampai ke lidah yang mampu mengecap rasa. Aku bisa menyentuh kata-kata, lalu membayangkan kata itu melayang masuk ke dalam telinga lalu mampir di otak dan akhirnya tersangkut dalam dada. Aku dan kata-kataku.

Rima? Mengapa berima dan berirama? Supaya indah. Supaya makna yang mengangguni kata bisa meresap lebih dalam. Tak bisa bersuara, andai. Tak mampu berkata, andai. Andai-andai saja aku diam dan tidak menulis dan tidak bicara dan tidak berpikir dan tidak merasa. Lalu aku? Dapatkah aku menyebut diriku manusia?

Kata yang terjuntai, mengalir deras dari sebuah keyboard komputer berwana hitam dengan layar monitor lebar dan hitam dan selingan sepasang speaker yang juga hitam. Terayun-ayun rangkaian kata dari jemari yang menari di atas kerboardnya, dan mata memandang ke depan layar monitornya, dan mendengar lantunan lagu dari speakernya, yang kesemuanya hitam. Aku dan kata-kata ku.

Siapa yang membaca kata-kata itu? Mendengar aku bicara? Merasa setiap kata yang melayang yang terbang yang singgah di telinga, hanyut ke otak, dan akhirnya menepi pada hati? Mungkin bukan engkau, bukan kamu, bukan anda. Hanya aku. Dan juga kata-kataku.

Sial! Ketidakmampuanku menulis sebaris kalimat malam ini membuat aku ingin memaki. Karena makian itu pun berisi kata-kata. Cukup untuk bisa membuat aku lebih merasa menjadi manusia. Bisa menenangkan aku dan membuat aku berpikir sebagai manusia. Aku menjadi manusia ketika berkata. Dan aku ingin memanusiakan kata-kataku. Bukan makian. Bukan sebuah sumpah serapah yang aku luncurkan begitu saja dari bibir yang kotor karena amarah. Aku ingin bersajak, bersyair, berlirik.

Dan malam ini aku tidak mampu. Huruf yang menempel pada kata-kataku tidak mau menyatu dengan hati yang memerintah otakku untuk menggerakkan tanganku dan jemariku. Huruf-huruf itu berantakan. Berpencar masing-masing di satu dan lain tempat dalam ruang yang luas. Mereka tidak mau berkumpul dan merekat. Malam ini aku susah menjadi manusia. Semua karena kata-kata. Kata-kataku.

--
In the middle of loneliness
3 January 2010

Sunday, January 24, 2010

Sepenggal Kisah Langit

Perempuan itu bersimpuh di kakinya. Rambutnya yang biasa tergelung kini menguraikan garis-garis hidupnya, panjang, bergelombang, dan hitam. Urat tergambar dan mengalir jelas di sela-sela hatinya yang keruh. Ia terluka. Dengan segenap jiwa. Ia menganga. Mengais setiap duka yang dia punya.

Perempuan itu mengurai tangisnya. Pecahan kaca di matanya jatuh juga. Pada dinding batu yang dingin dia sandarkan segenap pilu. Dia menangis dalam diam. Pelan-pelan dan tanpa suara. Ia bicara dengan bahasa manusia. Batu juga bisu, tak mengerti kata hatinya yang membucah semena-mena. Mereka tidak saling berkata. Menyandarkan pipi pada kelabu dinding batu, perempuan itu berkasih pada dirinya sendiri.

Ada kata-kata yang tak ingin diucapkannya pada bumi. Tapi ia terlanjur runtuh. Langit itu.

Bumi, belahan jiwanya, tempatnya biasa menapaki diri, separuh kenyataannya, sebagian kepastian, pasangan, cinta.

Perempuan itu tak mampu bangun. Pantatnya menempel pada lantai keramik yang kusam. Usang. Kaku menjamu pergelangan kakinya. Betisnya menegang, menunjukkan sebuah penolakan. Seluruh punggungnya linu, ototnya tertarik tak karuan. Tapi ia tidak mampu lagi. Ia tertunduk saja, melemahkan indera.

Ia ingin menjadi asap. Menerbangi setiap celah tanpa tepi. Kepulan mimpi pun tak apa, asal tidak menjadi manusia. Perlahan naik dan terus membumbung, lalu pecah. Tercampur dengan debu, aroma, setiap nafas, dan gas lain di udara. Ia ingin menjadi bukan siapa-siapa.

"Bakar aku menjadi abu," pintanya. Supaya terserok oleh sapu dan pengki di pagi hari. Supaya detak dan derap hatinya terbagi menjadi serpihan yang tak dapat lagi ia kumpulkan. Supaya sebagian demi sebagian bisa menyesap ke dalam tempat yang kecil dan terlupakan. Hilang.

Peluh si perempuan bercucuran deras, berlomba dengan riak air matanya. Masing-masing berlarian jatuh dan menghantam keusangan keramik yang sudah ada sejak lama. Yang satu kecut, dan satu lagi asin. Berkumpul mereka, menggenang di balik kain yang dipakai olehnya. Air-air yang keruh. Curahan hati yang bisu.

Isak. Lalu isak yang penuh sesak memenuhi segala sudut ruangan. Disusul raungan. Teriak dan cacian. Penuh, penuh, dan terlalu padat.

"Cabut nyawaku!"

Hening lagi. Tersisa sepenggal keluh yang lembab menerawangi sekeliling. Pohon sudah berhenti bergoyang. Hari sudah hampir subuh. Senyap dan masih gelap. Ketika orang-orang melindur dalam tidur mereka, ketika nyawa terkumpul lagi dalam raga mereka, ketika adzan belum berkumandang. Sebagian melantunkan bait-bait mimpi, sebagian lagi terjaga karena sudah semestinya dan beban mereka.

Perempuan itu lalu bergelung, meringkuk dan bermanja dengan dirinya sendiri. Ia menggumam, berbicara tak jelas, merutuk, dan sisanya hanyut karena tangis. Berbagi pada siapa, ia tak berani. Langit runtuh, menggerayangi setiap muka bumi. Langit itu.

Dengan sisa tenaga, ia merobek sebagian kain yang dipakainya. Kain yang basah karena darah.

"Robek lebih banyak. Kain itu kotor. Aku kotor," pikirnya.

Kain yang menjuntai lemah mengalungi pinggulnya. Darah di mana-mana. Ia melemas dan mengerang. Tapi di sana tak ada seseorang. Ia hanya sendiri, bersama dinding batu, berikut lantai keramik usang. Mungkin sobekan-sobekan kain, dan darah, dan air matanya juga. Tapi dia tidak menghitung, tidak merasakan kehadiran benda-benda.

Tak sempat terbit matahari, ia tenggelam lebih jauh dan tersiksa. Neraka yang tak terasa menghiasi hatinya. Menelusup lebih dalam dan menggaruk lukanya yang tetap menganga. Makin pedih. Matahari itu belum sempat terbit, dan langit sudah runtuh. Langit itu.

Terbujur kaku, tanpa tarikan nafas walau sederhana. Perempuan itu bersandar dengan dirinya, membentuk formasi tubuh yang aneh dan tak biasa. Rambutnya kusut di atas darah yang menggenang makin lebar. Matanya terkatup, melindungi bola matanya yang sudah keruh. Ia lelah. Dan tertidurlah ia ke alamnya sendiri saja. Menjadi asap. Menjadi abu.

Dinding batu dingin dan keramik usang hanya diam. Tubuhnya tergeletak. Fajar yang senyap. Pendaran cahaya pun menapaki langit. Tapi bukan langit itu, karena langit itu sudah runtuh.

Dan pisau bersimbah darah pun jatuh dari tangannya.

Tepat runtuh. Langit itu.

Friday, January 15, 2010

Kata-Kata yang Berantakan

Puisi yang ingin kutulis lebih dari kata-kata. Cinta yang aku punya melampaui batas nyata. Dunia hanya sebatas lingkaran. Dan kau menjadi titik pusatnya. Melangkahlah, mengangguni jalan dan tepi. Lalu jangan lupa kembali.

Tidakkah kau lihat? Atau pernahkah kau melirik? Mungkin kau hanya lupa memiliki masa itu. Ada aku. Di situ pernah ada aku. Raga yang kau pilih untuk mendampingimu. Aku tersadarkan. Kita berdua terpulihkan. Keruh, keruh jiwa yang nelangsa. Kau dan aku memutihkan dusta, dari dosa jadi nirvana. Hanya kita yang bisa.

Melupakan bukanlah keahlianku. Aku selalu menggali dan menggali lagi. Ingin kamu. Begitu dan begini saja. Masing-masing dari kita bercerita. Kau dan pusatmu. aku dan lingkaranku. Jadi pulanglah. Peluk aku seerat yang kau bisa. Sentuh dan rasakan semua.

Menginginkanmu. Kebodohanku.

Mengharapkanmu. Keputusasaanku.

--
in the middle of tears
Tj. Duren, 15 Januari 2010

Monday, January 11, 2010

Kalian dan Dosaku Sendiri

Geram
Lalu geram lah hatiku
Meraung membahana isi kepala
Kalian berteriak seperti aku tak punya telinga
Biasa sajalah!
Aku ini manusia

Sayup
Lalu sayuplah jiwaku
Mau saja aku mengikat batin
Biar kalian yang pegang temalinya
Sudahi sajalah!
Aku ini wanita

Semua juga berdosa
Dusta kalau kau bilang kamu suci
Bah!

Aku juga tahu
Aku sadar diri
Mana ada yang bilang tahi itu wangi?
Semua sudah terlanjur
Cuma kami berdua yang mengerti
Mau bagaimana lagi?

Doakan saja aku pergi ke neraka
Timbang kekuatanku
Kalian bisa bersorak-sorai semaunya
Silahkan berpesta
Aku sudah tidak peduli
Aku lelah

Dan aku tak akan kembali

--
02.54 - 11 Januari 2010,
in the middle of myself

Saturday, January 9, 2010

Aku Rindu

Apakah Engkau baik-baik saja? Sudah lama aku tidak menyapa. Tiga kali sehari kita bertemu setiap aku mau makan nasi. Tiap malam, aku merindukan Engkau berbicara padaku sebelum tidur. Aku haus setiap kata yang Engkau sering katakan lewat sebuah buku. Tapi di situ aku jarang menemuiMu. Surat cintaMu hanya aku letakkan di dalam lemari dengan tersia-sia. Maafkan aku.

Bapa, aku ingin bercerita. Kisah hidupku ini aku tahu Engkau pasti sudah mengerti sebelum aku sempat membuka suara. Tapi aku hanya ingin berkeluh kesah saja. Aku ingin menumpahkan kekesalan, kesedihan, ketakutan, keengganan, kemarahan, kepiluan, kesakitan. Tidak hanya itu, aku juga punya rahasia. Rahasia yang hanya Kau tahu setiap alur ceritanya. Biar saja aku bicara, ya Bapa? Tentu Kau punya waktu untuk selamanya bukan? Kau memiliki semua waktu di dunia ini, jadi satu jam yang aku pinta tidaklah seberapa.

Kabarku saat ini bisa dibilang sudah membaik. Berkat Engkau juga. Aku menemukan lagi sebuah harapan untuk hidupku sendiri. Aku melalui setahun ini dengan perjuanganku dan saat ini aku kembali berdiri. Lihat aku! Aku ternyata masih mampu. Tapi Bapaku, sekuat apapun sekarang, ternyata aku masih saja merasa lemah.

Aku bersyukur, semua anugerahMu masih bisa aku nikmati. Saat ini segala kesulitan, masih bisa aku tangani. Aku marah pada orang-orang yang merendahkan aku. Mereka tidak melihat keberadaannku. Cuma Engkau yang memperhatikan. Ada pula mereka yang membuatku sedih. Ada yang meninggalkan. Beberapa lagi membuat sakit hati. Aku bingung harus melangkah ke mana. Aku ingin bisa menghargai hidupku lebih banyak lagi.

Engkau membangun pintu yang gagangnya terlalu tinggi untuk bisa aku raih. Pertama kira tidak mungkin. Tapi ternyata aku masih bisa membukanya. Kau menyelipkan sebuah tangga yang tidak aku lihat sebelumnya. Butuh waktu bagiku supaya aku menemukan tangga itu. Keluar dari pintu, aku menemukan kolam besar yang kau siapkan. Engkau tahu aku tidak bisa berenang. Aku lalu mencari cara. Bapa yang baik, Engkaulah Dia, pernah membekali aku sebuah ban karet. Cuma aku lupa di mana menyimpannya. Dengan tangan terbuka, Engkau menanti aku anakMu di seberang sana. Engkau menunjukkan cara untuk aku bisa melaluinya. Lalu sebuah tali, Kau lempar ke sini. Kau tarik aku dengan perkasa.

Oh, Bapa. Engkau sungguh menganggumkan. Semua ketidakberdayaanku ini membuat aku lagi dan lagi mencari Engkau. Ketika aku jatuh, maka Kau akan ada di situ. Aku seringkali lupa, tapi tak pernah Kau tinggalkan aku. Bahkan seringkali Kau tepuk pundakku yang lesu. Kau katakan bahwa Engkau mencintaiku. Sejujurnya, aku juga sangat mencintaiMu. Maka semua yang kau berikan adalah bentuk kasih. Kau cobai aku supaya aku menjadi pribadi yang lebih kuat lagi. Tidak mungkin salah. Engkau mengenali aku lebih baik dari diriku sendiri.

Sekarang aku ingin Kau bercerita. Katakanlah padaku apa saja. Sedikit juga tidak apa-apa. Aku sudah lelah menangis dan mengadu. Aku ingin mendengarMu bicara padaku. Apa kabarMu? Apa Kau merindukanku juga? Apakah kesalahan yang aku perbuat? Berceritalah Bapa. Agar aku mengerti Kau ada di sebelahku saat ini.

Bapa, aku merindukanMu...

Friday, January 8, 2010

Siapa yang Terluka

Lalu siapa?
Siapa yang membongkar luka?
Bukan aku
Kamu juga tidak tahu

Lalu siapa?
Apakah ini cuma alam liar pikiran kita?
Kamu tak bisa
Aku juga tidak biasa

Lalu siapa?
Siapa yang mengacungkan jarinya?
Aku diam
Kamu tak mau diam

Siapa yang bertanya?
Jawaban ini milik siapa?
Luka itu seperti apa?
Siapa yang terluka?

--
in the middle of no where
Jakarta, 8 Januari 2010

Tuesday, January 5, 2010

Berbekal Sebuah Lagu (mendiang) Meggy Z.

Kalau bosan bernyanyi nada-nada pop seperti lagu populer kebanyakan, terkadang lagu penghibur hati yang lara adalah yang tentunya berirama "Indonesia Sekali". Jempol tak kurang, pasti ada dua yang bergoyang. Lantunan nada mendayu yang merangkai lirik sedih seringkali berkumandang dalam hati, walaupun malu2 bila harus menyanyikannya dengan gegap gempita plus iringan liukan badan ke kiri dan kanan. Jadi lebih banyak saya bernyanyi dangdut cukup di kamar mandi atau sembunyi-sembunyi saja. Bukannya tidak cinta negara, tapi rasanya aneh kalau menyanyikan dangdut ini tidak di sebuah konteks kegiatan yang sepadan.

Berbekal satu lagu terpopuler Meggy Z juga lah, saya akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur ke sebuah praktek dokter gigi. Setelah sibuk ber-plurking-ria dan berpikir matang-matang, saya lalu mengangkat pantat yang santai berselonjor di kasur. Mungkin lirik berikut masih terngiang selalu di telinga beberapa di antara anda:

"Putus lagi cintaku
putus lagi jalinan kasih-sayangku dengannya
cuma karena rupiah lalu engkau berpaling muka
tak mau menatap lagi"

Itu sih bukan bagian yang membakar semangat saya. Pada akhirnya, lirik berikut yang membuat saya pantang mundur ke medan pertempuran bernama "ruang praktek dokter gigi". Ini dia liriknya...

"jangankan diriku
semut pun kan marah
bila terlalu… sakit begini

daripada sakit hati
lebih baik sakit gigi ini
biar tak mengapa"

Halah, setua ini masih takut sakit gigi? Pikir saya, "patah hati sudah biasa dalam hidup saya, mas Meggy aja lebih milih sakit gigi". Jadi kenapa saya harus mengalah pada si sakit yang belum tentu terjadi ketika si gigi dicabut nanti. Apapun yang terjadi, terjadilah...

Tiga jam yang lalu tepatnya, nangkring-lah saya di sebuah dental house dekat kost. Ternyata tempat praktek itu hari ini sepi pengunjung (belakangan saya baru tahu salah satu alasannya). Alhasil, malam ini saya menjadi pasien pertama si dokter "sebut saja Bunga" (padahal laki2).

Dokter Bunga senyum sumringah kepada saya begitu saya sampai di depan ruangannya. "Aduh, lidya rupanya sudah berani. Pergumulannya sudah berhasil diatasi ya?" Saya cuma bisa ngangguk-ngangguk tanpa bisa berkomentar. Dalam hati saya, "koen iku, seenak udel mu dewe. Weis, sakarep mu lah dok!" Senyum pun saya lemparkan sebagai jurus maut untuk menenangkan diri sendiri.

"Duduk...tenang...tarik napas...baca doa...tutup mata...tutup kuping...dan terakhir, kalau masih tidak kuat..tutup mulut!" begitulah mantra2 yang saya ucapkan selama beberapa menit awal di bangku pesakitan. Dokter yang duduk di sebelah saya kedip2 memperhatikan saya dan terlihat takjub, sampai-sampai dia nanya, "kenapa lid?". Sambil mesem, saya bilang "nggak papa dok. Saya lebih baik sakit gigi daripada sakit hati kok". Si dokter lalu tertawa kencang (sebentar saja) dan berikutnya tanpa tedeng aling-aling mengambil berbagai peralatannya, bersiap menerkam ruang mulut saya dan membasmi si gigi sialan itu.

"tak..tok..siiiing..cruut..siiiing...klotak...aw..aaaw..." Dua puluh menit dalam ketegangan (tapi aneh, karena gak sakit sama sekali) akhirnya selesai. Saya kira berakhir sudah semuanya, karena si dokter meletakkan peralatannya ke tray. "Ini tidak bisa dicabut biasa, saya operasi kecil ya."

*GUBRAAAK!!!*

"Apaaa??? Saya mau dioperasi doook???" Terbayang-bayang sudah jari jemari si dokter merobek gusiku di berbagai tempat. Belum apa-apa saya sudah merasa lemas tak berdaya. Tapi mau bagaimana lagi, usaha si dokter Bunga rupanya sudah maksimal dan tidak mendapatkan hasil memuaskan (sebenernya ini lagi ngomongin apa sih??).

Scene berikutnya seperti terjadi dalam gerakan lambat. Sorot lampu, mesin pemotong, sundae, kaca mulut, kapas, penyedot liur, penyemprot air, tang, dan aneka jenis tools seliweran di depan mata. Dua puluh lima menit kemudian, si dokter mengangkat dua potong akar gigi premolar saya itu sambil cengar-cengir. "DONE!" katanya.

Session menjahit sebagai penutup ternyata so much much easier. Tidak sampai 10 menit, sudah selesai lah mulutku minus 1 gigi dan saya langsung disuruh duduk tenang. Saya pikir, dokter Bunga akan mengajak saya berdoa (benar-benar pemikiran bodoh!), ternyata dokter menjelaskan kepada saya berbagai pantangan yang jumlahnya bejibun.

"Trus gak jadi doa nih?" ujar saya setengah becanda, sambil beringsut-ingsut bangkit dari the hot seat. Si Bunga hanya ketawa sambil melepas sarung tangannya. Dari situ terlihat bahwa bunga memakai cincin (another stupid mind) dan hilanglah sudah rasa senang gembira hati ini. Ternyata betul, sakit gigi tidak seberapa bila dibandingkan dengan sakit hati.

Saya harus banyak mengucapkan terima kasih pada sang master sakit gigi, mendiang Meggy Z. Berkat beliau lah, saya berani melaksanakan tugas dan kewajiban saya sebagai pesakit-gigi-an. Dan berkat beliau juga, saya masih bisa bertahan sekarang dalam nyeri dan serangan si "nyut2" setelah anestesi maha dasyat itu hilang.

Sekarang saya sedang berandai-andai lagu Meggy Z itu terkenal sampai ke luar negri. Pasti liriknya akan sulit sekali dibuat untuk disesuaikan dengan nadanya. Untunglah Mas Meggy ini lahir, tinggal, besar, dan ngetop di Indonesia jadi Bang Obbie Messakh nggak susah-susah mentransalte-nya ke dalam bahasa inggris. Terima kasih Tuhan, karena sudah menganugerahi saya sebuah otak kurang waras sehingga bisa menghibur diri sendiri saat sakit seperti ini. Terima kasih juga untuk kesempatan anda membaca tulisan kurang penting ini dan membuat anda ingin men-donlod lagu Sakit Gigi dari Youtube supaya anda bisa ingat kembali sperti apa lagunya.

Note: Ingat alasan mengapa tempat itu sepi? Saya tahu ketika sampai di counter dan received those bill.... (tebak saja lah!) Beruntunglah anda2 sekalian yang tidak salah jurusan seperti saya yang sekarang menyesal karena tidak menjadi dokter gigi...