Friday, February 27, 2009

permintaan sederhana... (sebuah surat untuk saudariku)

Setiap orang di dunia memiliki peran masing-masing. Saya menikmati peran yang saya lakoni, apapun itu. Sebagai seorang anak, adik, kakak, sahabat, teman main, kekasih gelap, pencinta dan yang dicinta, seseorang yang dianggap buruk, seseorang yang dianggap malaikat, seseorang yang apa adanya, dsb.

Ketika peran itu harus berganti setiap menit atau bahkan detik, saya pun menyadari betapa cepat kita berubah dari malaikat menjadi penjahat. Ketika kita dianggap sebagai orang yang iri terhadap kebahagiaan orang lain, padahal kita hanya ingin menyelamatkan jiwanya yang rapuh dan kewarasannya yang tinggal setengah. Atau ketika kita dianggap sebagai penghasut, padahal kita hanya berusaha menjadi jujur dan mengungkapkan fakta. Serba salah juga ketika peran itu tidak pas, tidak cocok antara yang terdapat pada naskah saya dengan orang lain. Terasa tidak bisa disambung-sambungkan, terutama dengan lawan main yang angkuh dan sulit menyimak.

Saya pikir, saya juga sempat jatuh dan dikuatkan. Inilah kekurangan saya juga, ketika harusnya menguatkan justru malah saya menjadi lemah. Harusnya sedikit tutup mata dan telinga, menahan air mata supaya tidak meleleh dan berkata sekeras-kerasnya. Tapi apa daya ketika orang yang kita sayang mengiba pada kita? Dan sekarang, sudah lupalah dia apa saja yang dia katakan dan ketika dia memohon-mohon aku untuk lakukan permintaannya. Saya salah lagi. Salah langkah lagi.

Saya hanya mengungkapkan kebencian pada dia, tetapi ternyata kamu menuntut sebuah alasan. Tidak ada yang bisa aku kemukakan. Rasanya sama seperti benci melihat kucing yang wajahnya kadang-kadang menyebalkan atau benci melihat baju yang harus dipakai hari itu ternyata terlipat kusut dan tidak bisa dipakai. Hanya sebuah benci yang sulit untuk dicari pangkalnya, tiba-tiba saja menjadi tidak suka. Mungkin karena dia adalah gender yang mulai aku tidak sukai. Entah apa alasannya.

Aku memang masih bisa bermanis manja pada lelaki. Aku raup kepuasan dari sebuah kasih sayang yang tulus, tanpa tuntutan. Inilah peran yang ingin aku mainkan, sedikit mengesampingkan kebencianku pada lelaki. Mungkin memang karena aku pernah tersakiti, tapi bukan karena perlakuan yang aku terima dengan yang kau terima tidak sama. Berpikirlah bijaksana! Aku justru bahagia dengan perlakuan yang aku dapatkan, tanpa penjelasan aku dicampakkan. Memang itulah jalannya, bukan berarti aku tidak dipertahankan. Memangnya kenapa dengan ditinggalkan? Masa depanku lebih baik dengan seperti ini. Ternyata dia mengerti apa yang aku butuhkan, sebuah perpisahan yang pahit namun bisa aku lewati bukan? Oooh…terima kasih padanya yang berbaik hati menyakiti aku dengan cara yang kejam. Dia telah membuat aku kuat dirajam.

Janganlah berusaha untuk memahami saya, karena kadang-kadang saya pun dibuat bingung dengan empat dimensi diri sendiri. Tidak perlu juga berbelas kasihan, saya tidak butuh. Apalagi kalau kamu ingin berdialog tentang hal semacam ini. Ini tidak butuh dimengerti, jadi diam sajalah.

Aku terluka karena sebaris kalimat yang diucapkan penuh makna menyakitkan. Kamu pikir siapa dirimu bisa menilai aku dengan cara seperti itu? Berani sekali kamu menguji keyakinan saya tentang cinta. Apa yang kamu tau dari masa lalu? Saya disakiti? Janji yang dulu dibuat lalu patah arang? Saya menjadi orang yang terkasihan? Kamu salah, sayang sekali. Ini adalah titik balik dari kehidupan saya, pembelajaran yang membuat saya sedikit lebih pintar menyiasati segalanya. Bahkan bisa saya katakan, membuat saya sedikit lebih pandai ketika menghadapi kamu.

Kamu pasti akan mengeluh lagi dan berusaha berargumentasi. Saya tidak punya waktu untuk itu. Cukuplah saya melangkah mundur dengan anggun, dan kita lihat ketidakberdayaan kata-kata yang sempat kau ucapkan itu akan melunglai suatu saat nanti. Ini bukan tentang saya, saudaraku. Ini adalah tentang kamu. Duduklah tenang sejenak. Ingat lagi apa saja yang terdengar oleh telingamu yang bersumber dari mulutku. Saya hanya ingin menanyakan kabar. Lalu mengucapkan sebuah kata maaf tadinya. Betul? Sebuah maaf karena merasa salah telah menjadi orang ketiga, karena telah menjadi penyambung lidah, karena saya tidak bisa menjadi penguat bagi kamu. Dan menit-menit selanjutnya melantur menjadi caci maki dan meruaklah semua kekesalan serta emosi.

Silahkan maju dengan peranmu. Aku akan tetap disini, sebagai seorang anak yang mencoba berbakti, adik yang penuh kasih dan tahu diri, kakak yang mendoakan adiknya setiap hari, sahabat yang sering mengeluh, teman main yang merepotkan, kekasih gelap yang berawal dari sebuah kejujuran, pencinta yang memang apa adanya, orang yang dicinta dengan juga apa adanya, seseorang yang dianggap buruk oleh mereka yang tidak berhak menilai, seseorang yang dianggap malaikat oleh mereka yang tahu usaha-usaha kecilku, seseorang yang apa adanya begitu saja, dsb…dsb…

Cukuplah kita bertengkar. Tiada pangkal dan ujung yang manis dari keegoisan masing-masing. Saya menyadari betapa tidak berhaknya saya untuk mengatakan ini semua. Tapi inilah jalan untuk saya bisa membuka hati dan menuangkan amarah. Sebuah kata maaf, apakah cukup bagimu? Sebuah kata itu apakah bisa merubah pandangan negative kalian? Mungkin tidak, tapi lagi-lagi peran ini aku tanggung sebagaimana mestinya. Saya juga mengetahui kekalutan hati, kebingungan diri, kehilangan jiwa, dan semuanya. Doa-doa itu tetap didengar, saudaraku. Saya tidak bisa lagi bicara pada kamu atau dia. Inilah saatnya kita berdiri pada pilar ketegaran masing-masing. Dan ketika kau sudah lemah, atau tak berdaya, atau putus asa, yakinlah saya tetap ada. Tidak sekarang, ketika kau menegakkan kepalamu begitu tinggi atau menutup telingamu dan hanya mendengarkan otak dan hatimu bicara. Tapi nanti, ketika suatu malam sebelum tidur kamu berdoa seperti biasa atau bangun dalam keadaan pasrah. Suatu hari nanti kau akan menyadari, keberadaanku tidak bisa terganti. Dan rasa sayang yang aku beri, tidak akan surut dari asalnya. Saya hanya mendoakan kalian. Dan sekali lagi, doa-doa itu tetap didengar, oleh Tuhanmu atau Tuhanku, ketika kau berlutut di Gereja atau ketika aku bersujud di atas sajadah.

Permintaanku sederhana. Sebuah maaf untukku saja… Maafkan saya.

(27 Februari 2009, 03.45 am)

Friday, February 20, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 3

Setiap cerita memiliki akhir yang berbeda, walaupun dalam romansa yang serupa. Kisah tentang aku pun melebur, seperti hatiku yang kini siap untuk aku kubur. Ketika kemarin aku melangkah dengan anggun, meninggalkan arena pertempuran antara aku dan dia, persis saat itu juga aku menunduk layu. Semua sisi diri telah kulepaskan meski aku enggan.

Aku dan Abi. Teror-teror tanpa henti yang mematikan langkah kami. Aku dibangunkan mencari kenyataan, dengan cara yang sulit aku cerna. Tidak sedikit yang aku korbankan demi mencari cinta dan mempertahankannya. Abi sulit digenggam. Dia memiliki hidup yang lain, dunianya yang kedua setelah dunianya yang penuh dengan aku dan dia. Dua tahun lalu tepatnya, ketika percintaan yang rumit itu aku telisik dengan sungguh-sungguh.

Kini cinta itu tidak lagi aku uraikan. Asaku hilang, seiring jalan yang makin berat aku tempuh. Jangan katakan aku tidak berusaha, kami sudah berkali-kali mencoba. Membangun segala sesuatu dari awal lagi dan lagi. Kami menyusun rencana yang tidak hanya cukup satu. Upaya untuk membangun sebuah hubungan yang biasa-biasa saja tidak semudah yang kami pikirkan. Justru karena kami sangatlah tidak biasa.

Jadi kini, terjeratlah aku dalam sebuah tempat yang sungguh hening. Umpatan-umpatan kasar dari mulut Sita sajalah yang saat ini bergaung di udara. Pohon-pohon bergerak seirama, tapi hanya terdiam tanpa kata. Bila pohon bicara, dan awan yang berarak mampu berkata, mungkin mereka akan balik mengumpat, menyuruh kami untuk pergi. Mereka tentu menginginkan kami untuk berhenti mencemari kesucian tempat ini.

Dua motor berkejaran di jalan raya, sepuluh meter dari tempat kami bersemedi. Suara sumbang itu menghentikan Sita yang mulai hilang kewarasan. Dia berdiri, tegap, meninggikan kepalanya. Lalu sesaat, dia menguraikan air mata. Air mata yang aku tahu rasanya, pedih ketika mengalir membuncah keluar dari pelupuk mata yang tadinya kering. Aku mengerti, dia masih melihat bayangan yang sama. Dia dan kami pun masih menanti keajaiban yang kami rasa telah habis kami sia-siakan demi pria.

Lihatlah barisan kami sekarang, enam wanita yang mengisak. Menaburkan bulir-bulir peluh, bahkan dalam keadaan sedingin ini. Kebebasan itu telah menampakkan diri di depan mata. Peluh ini akan tergantikan, dan pasti nanti terbayar sempurna. Mahluk-mahluk bebas seperti kami hanya butuh sedikit lagi waktu untuk bisa mengerti dan belajar dari kesulitan yang menghalangi kami. Kami cuma butuh waktu untuk bangun dari kekalahan dan menemukan perjuangan baru.

Kami lalu menghabiskan satu jam lagi, sebagian duduk dengan santai dan sebagian lagi berbaring. Beban demi beban satu-persatu menguap pergi, memenuhi ruang bebas di luar diri. Suasana lalu menghangat dengan celoteh ringan tentang rencana liburan akhir bulan depan, rencana membeli sebuah mobil baru, rencana untuk membuka sekolah gratis, dan beberapa rencana lain yang terdengar menyenangkan.

Tepat pukul dua belas malam, bulan penuh menggantung tinggi. Sedikit awan tipis membayangi senyumnya yang merekah. Bulan kuning itu membisikan pada kami, sebuah harapan tentang hidup. Mengajari kami menjadi manusia biasa, dengan angan-angan yang sederhana. Memberitahu kami bahwa esok dia akan datang lagi, dan masalah-masalah tetap silih berganti. Hari ini kami puas. Dan terlebih penting lagi, kami telah bebas.

Aku memulai ritual penutup kami dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Lima menit lamanya mata kami tertutup dan mulut kami terkunci. Aku lalu menyuarakan sebaris puisi.

“Dan ketika langkah mengayun begitu saja
Dalam bimbang dan sesak
Dalam redup dan gulita
Dalam sakit dan derita

Esok akan datang lagi
Sebuah bulan yang terbit tinggi
Di birunya malam
Walau langit kadang kelam

Selamanya harapan tetap ada
Dan teman selalu setia”


Wajah-wajah sembab menyapaku, mereka terlihat letih tapi lega. Kami bahagia, bahwa sisa tenaga dari pergumulan kami masih ada karena teman selalu bisa menjadi sandaran. Lalu kami membuat lingkaran, merangkul tiap-tiap jiwa yang hadir di situ. Air mata itu tidak tampak, bersembunyi untuk dibagi mungkin pada akhir minggu selanjutnya lagi.

Aku meraih sepasang sepatuku. Mereka mengikutinya sambil terburu-buru, menanggalkan alas kaki dan memegangnya agak tinggi. Lea berteriak, “Satuuuu!” Lalu kami pun melanjutkan menghitung sampai tiga dalam tawa. Barisan kami siap. Pada hitungan tiga, aku berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak. Meninggalkan beberapa botol minuman yang sekarang bersarang dalam kantong sampah di bawah sebuah pohon entah apa namanya. Menitipkan kesedihanku pada lembah ini. Meletakkan kelelahanku pada angin. Mengejar hari esok yang tetap sama sebagai seorang wanita, bernama Lidya. Dengan napas tersengal kami sampai di tepi jalan. Dan kepada langit malam ini, pada bulan kuning, pada lembah temaram, pada udara, pada semuanya, kami berbisik, “terima kasih telah mengajari kami sekali lagi”.

Tuesday, February 17, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 2

Lea membaringkan tubuhnya ke bumi, melayangkan pandang jauh ke atas langit. Aku mengikuti gerakannya, turut membawa raga yang rapuh di sebelahku untuk menikmati tiduran di atas rumput. Dinda terbaring dengan nafas yang terputus-putus. Rambutnya terurai, tergerai bagaikan sehelai kain hitam legam di atas hijau permadani. Kontras, seperti hati dan hidupnya.

Tawa itu pertama kali meledak keluar dari seorang Maia. Terbahak-bahaklah dia sampai berguncang seluruh badannya, mengoyakkan kekauan kembali pada asalnya yang penuh warna.

“Aku gak ngerti. Kenapa Dinda jadi aneh? Baru saja kemarin dia menasehati aku panjang lebar soal cinta pada bayangan. Sekarang semua orang menasehati dia untuk tegar. Dinda… Dinda…,” ujarnya sambil menahan tawa yang tersisa.
“Aku juga pernah dinasehati masalah yang sama. Kan kalian tahu persis apa yang aku jalani bersama Bams. Aku capek ngomongin masalah itu. Aku masih ingin di situ,” Ayu menimpali.
“Iya, bener banget. Aku juga dinasehatin dia tuh kemarin. Dia bilang ‘gak boleh gini’, ‘gak boleh gitu’, ‘harusnya kamu seperti ini’. Ah, Dinda. Aku jadi pengen ketawa juga,” sahut Lea.

Kerumunan manusia itu lalu tersedak. Justru Dinda lah yang pertama kali menggelegarkan suara terbahak. Ayu masih terdiam sejenak karena sedikit bingung, lalu mulai tertawa sampai tidak bisa berhenti. Maklum, otaknya memang lemah menangkap hal-hal kurang penting terkadang. Tapi begitu dia tahu, biasanya dia yang paling terlambat juga menyadari bahwa hal yang dibicarakan sudah berlalu dan dia masih di frekuensi otak yang sama.

Aku belakangan tertawa karena semua melakukannya. Entah ini adalah reaksi mabuk kami, atau memang itu hal yang kocak. Reaksi mabuk ini pun tidak adil. Bila mereka bisa lepas tertawa, mengapa aku lalu mengharu biru? Perasaanku tetap sama. Kosong.

Hatiku seakan diremas begitu erat, aku sulit bernapas. Udara yang segar mengayun di depan hidung, menunggu untuk diraup. Tapi begitu sulit aku atur oksigen yang paru-paruku harapkan akan masuk. Dalam hati aku bertanya, ‘ masihkah aku menunggu dia?”

Dinda, Rena, Sita, Lea, Maia, dan Ayu adalah perempuan-perempuan yang pernah menderita karena cinta. Beberapa dari kami bahkan masih tidak bisa menolak cinta yang tidak pernah diinginkan itu datang dan tetap tinggal. Kami malas untuk beralih dan mencari. Benar apa yang dikatakan Sita. Kami bukanlah manusia bodoh, tapi kami tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Aku ralat, tidak mau bukannya tidak bisa.

Baru dua hari yang lalu Dinda menawarkan perpisahan yang berat dari Leo. Leo adalah seorang lelaki yang hampir menikah, karena janji orang tuanya kepada rekan bisnis ayahnya. Leo yang dipacari diam-diam selama lebih dari dua tahun yang lalu. Leo yang teratur, beda dengan Dinda yang sembarangan. Leo yang penyayang, jauh lebih daripada Dinda yang seorang perempuan. Leo yang akhirnya tidak sanggup menolak keinginan orang tuanya dibandingkan cintanya pada Dinda.

Rena adalah wanita yang disukai oleh semua pria, tetapi malah bertekuk lutut pada seorang lelaki hampir paruh baya. Lelaki yang memiliki dua anak dan sudah menikah belasan tahun. Lelaki yang namanya sangat keramat untuk disebut, bahkan oleh Rena. Dia selalu menyebutnya Abang, karena tidak ingin status si Abang yang cukup terkenal itu lalu hancur dan rusak oleh Rena. Aku tahu dia, tak sengaja bertemu ketika aku mampir ke rumah Rena. Tapi aku cukup tahu diri, aku menyingkir dan menutup mulut rapat-rapat.

Lain lagi Sita. Dialah yang kena batunya dari mahluk turunan Adam. Sudah dua tahun dia bertunangan dengan Rama, sampai akhirnya dia tahu bahwa Rama sudah memiliki pacar simpanan yang belakangan Sita tau juga ditunanginya. Hampir satu bulan aku sampai harus menemaninya tidur karena dia sedikit tertekan. Aku dan dialah yang tidak sengaja menemukan tempat ini ketika aku menemaninya keliling kota saat dia kumat susah tidurnya.

Hati kami mungkin memiliki struktur yang serupa, merasakan hiruk pikuk dunia yang berwarna sama. Kadnag-kadang kami sendiri bingung ketika masalah yang menerpa kami berbenang merah, menghubungkan kami dalam duka yang sama juga. Aku dan mereka.

Cerita-cerita tentang cinta yang kami jalani, membawa kami kepada dataran ini, tempat kami bisa berbagi. Pada rumput kami tumpahkan kekesalan dan pada langit kami teriakkan kesakitan. Cintalah satu-satunya yang membuat kami gila, menghamba pada minuman setiap malam Minggu. Cintalah yang menjadikan kami keras seperti karang, tetapi juga terlalu lemah seperti tahu. Ya, tahu. Tahu putih yang rapuh, menjadi kekuningan ketika terlalu lama disimpan. Tidak berguna jika tidak pernah diolah.

Ketika cerita cinta terurai dalam ayunan malam, kami sisakan sedikit untuk dibagi dengan diri sendiri. Hati kami sebenarnya tidak benar-benar kering, hanya lembab karena buliran kasih perlahan-lahan tidak lagi disimpan, menghilang pelan-pelan. Cukup sudah. Kami akhirnya satu-persatu tumbang, menyatakan kekalahan untuk saat ini, berjuang untuk bangkit kembali.

(bersambung lagi,,,)

Sunday, February 15, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 1

Warna itu adalah warna biru yang berbaur dengan kelabu. Menjadikannya tidak biru sempurna. Membuat beberapa pasang mata memandang sendu. Kami berkumpul di bawah naungan langit malam yang terbentang luas. Kami adalah para mahluk bebas kini. Setiap akhir minggu kami akan menghabiskan malam panjang secara bersama-sama dan menjadi sedikit gila. Karena kami membutuhkan sedikit canda dan lebih banyak alkohol untuk memantapkan kerisauan jiwa.

Sebagian dari kumpulan ini adalah wanita seperempat abad yang sukses di berbagai bidang, mulai dari seni, pendidikan, hingga dagang. Mereka kerap kali datang dengan mengendarai mobil mewah yang kini pengendaranya memadati sebuah ruang tanpa sisi. Dataran yang sedikit lebih tinggi dari daerah lain kota ini.

Sisanya yang lain adalah pengelana. Tidak memiliki cita-cita terlalu tinggi, bahkan takut untuk merajut sebuah asa. Tapi mereka memiliki kebebasan yang tidak dirasakan oleh anggota lainnya. Mereka lebih banyak bergerak tanpa aturan, bicara tanpa santun, berlaku tanpa canggung. Semua terlihat biasa, mungkin bisa disebut lebih menyerupai manusia.

Jumlah kami tidak banyak, tak melampaui sepuluh orang. Kadang-kadang membengkak memang, kalau ada saja saudara atau teman kerja yang getol ingin bergabung karena merasa kelompok kami ini menyenangkan dan sangat mencengangkan.

Coba bayangkan. Kami selalu disapa oleh hawa dingin menusuk, tetapi tak seorang pun dari kami yang peduli duduk berlama-lama di atas rumput untuk memandang langit malam yang tidak setiap minggu selalu cerah. Kadang kami bahkan tidak peduli rumput sedikit basah, menyisakan noda kecoklatan pada balutan busana mahal beberapa diantara anggotanya. Kami cuma dihangatkan oleh tawa dan cerita-cerita nan renyah yang seringkali sudah terlupa ketika kami beranjak pulang ke rumah. Tapi kami merasa bagian ini disatukan oleh hati.

Sudah beberapa bulan ini kami sengaja berkumpul, menyisakan sedikit waktu melompat dari rutinitas mingguan. Aku adalah salah satu pencetus ide sekaligus penemu tempat ajaib ini. Secara tak sengaja, aku beserta tiga temanku yang lain menyusuri keheningan malam. Ternyata tidak semua tempat terlelap. Tempat ini terlalu cantik untuk disembunyikan dalam mimpi. Terlalu benderang seakan memang menyiapkan diri untuk menyambut kami dan mengajak berbagi kesepiannya.

Lalu datanglah kami memecah-belah sunyi tempat ini. Rumput yang mengalasi hamparan bidang landai itu disiapkan dengan sendirinya oleh alam. Satu-satunya tempat kami bisa berkumpul tanpa harus merasa terganggu atau mungkin terlalu mengganggu. Kami seolah diundang untuk meletakkan otak sejenak, menggantinya dengan spon tanpa neuron sehingga kami benar-benar tidak berpikir. Melepaskan sedikit ketegangan dan meluapkan segenap perasaan.

Tak jarang, beberapa di antara kami datang dalam keadaan sedikit mabuk. Tidak ada aturan yang mengikat kami, tidak pula untuk memisahkan kami. Semua bebas datang dan bebas pergi. Namun sampai saat ini, belum ada satu pun yang menolak untuk tinggal.

Seperti untuk pertama kalinya, kami merasakan hidup berjalan dalam detik yang sama. Selama ini kami bergerak terlalu berbeda. Bagiku, dua puluh empat jam dalam sehari dilewati untuk enam jam tidur, dua jam istirahat alias tidur siang, enam jam menonton televisi, dua jam shopping, dua jam nongkrong, dan sisanya untuk kegiatan tak jelas. Bagi mereka yang lain, mungkin butuh waktu empat puluh jam sehari untuk memenuhi rutinitas mereka.

Satu hal yang sama. Kami benar-benar membutuhkan satu masa tanpa ketegangan. Satu masa dalam kebersamaan. Kami tahu bahwa salah satu alasan adalah, di sini kami melepaskan topeng kami. Aku setiap hari terlihat sangat bahagia dan bebas merdeka. Di depan mereka aku menjadi seorang yang sungguh berbeda dari biasanya. Aku yang lemah, lelah dengan segala kebebasanku. Aku ingin dikurung, dalam sebuah hubungan yang nyata.

Malam ini kami duduk berdamping-dampingan, berikut sebotol bir di genggaman. Masih tersisa banyak di belakang, menunggu untuk disesap guna menghalau suasana beku. Kami berselonjor seadanya. Seperti biasa,pada menit-menit pertama kami akan menunggu bulan meninggi. Dalam diam kami menyadari keberadaan diri. Dalam senyap kami menilik eksistensi.

Tak perlu waktu lama. Salah seorang dari kami akan bersenandung sebait lagu, yang selalu menjadi tema percakapan berikutnya. Kami menyebutnya ‘song of the day’. Kadang-kadang bernada riang, tetapi lebih sering sendu mendayu. Menit selanjutnya menjebak kami dalam percakapan panjang. Kami bertukar cerita, bersilang pendapat, saling mendukung dan menyanggah. Dan pada akhirnya akan membawa kami ke sebuah ujung tanpa konklusi.

Bir dalam botol mengering, menyisakan sedikit buih pada dasar yang kelam. Sedikit menggigil, kami beranjak merapatkan barisan, mencari perlindungan dari kejamnya angin malam pada satu sama lain.

Malam ini, Dinda sedikit lebih mabuk daripada biasanya. Dia hanya menggunakan kaos tanpa lengan dipadu celana jeans hitam ketat tanpa penahan dingin lagi di atas pakaiannya. Dia bersandar padaku, menitikkan air mata. Hari ini lagu bersenandung, masih dari pemilik suara emas yang sama, Rena. Rena yang manis. Rena yang kekanakan. Rena yang selalu menjadi pujaan. Dia menyanyikan sebuah lagu dengan tema perpisahan. Perpisahan yang sangat mengharukan karena dilandasi rasa cinta yang sangat, sebuah perpisahan yang tulus untuk kebahagiaan.

Kami lalu berdiam diri, mengatupkan bibir rapat-rapat, menghentikan pergerakan sekecil apapun, mengatur nafas menjadi lebih pelan. Kami merasakan kesunyian. Kami menikmati angin. Kami mendengarkan malam. Lagu itu masih sayup-sayup berkumandang, melewati embusan angin dan nafas masing-masing. Menyisakan sedikit pedih, siap untuk bertarung melawan sedih.

“Walau hati ini terus menangis menahan kesakitan ini. Tapi kulakukan semua demi cinta.” Sebait nada bergema dalam keremangan. Hatiku gamang. Lagu ini mengingatkan aku pada kesakitan yang aku tahan sekian lama. Tapi tidak bagi Sita. Dia terlihat jijik, dengan segala lirik yang bergaung dalam aroma kesedihan. Dia lalu tersenyum, meratapi kebodohannya. Kami tahu, dia hanya mencoba menjadi seorang wanita.

“Sudahlah, jangan terlalu terhanyut menjadi manusia bodoh. Kita tidak bodoh. Kita cuma tidak mau melihat. Kita tidak mau belajar, belajar melepaskan dan belajar untuk mencari,” katanya ketika lagu sudah habis dinyanyikan.

Isak tangis mengepung telingaku. Dinda menangis terlalu lepas, persis ketika kepalanya tersandar lemah di bahuku. Aku bingung harus bicara apa. Aku tidak berkata-kata, selain menaikkan lenganku dan kuletakkan di pundaknya. Tiga kali tepukan ringan itu membuat badannya semakin terguncang. Dia lalu mengatakan sesuatu yang lebih terdengar seperti rintihan.

“Aku memang bodoh. Aku tahu aku bodoh. Aku hanyut dan menjadi bodoh dan lebih bodoh lagi setelah aku tahu aku bodoh tetapi aku tetap tinggal dalam kebodohanku.”
“Dinda… Aku kenal kamu yang tidak bodoh,” sahutku.
“Iya, Dinda. Dulu aku tahu kamu yang sangat pintar. Tiga tahun kuliahmu selesai dan dua tahun setelahnya gelar mastermu kamu dapat,” hibur Riva yang duduk di sebelahnya.
“Hentikan mengucapkan kata bodoh. Malam ini si bodoh harusnya membenci kita karena kita selalu menyebut-nyebut dia,” Ayu lalu angkat bicara.

Kami terdiam sejenak. Aku melihat Dinda mengambil sebotol bir lagi. Dia meneguknya tanpa henti, dan airmatanya tetap mengalir lewat pipi. Setengah botol dihabiskannya kali ini. Aku ikut mengambil sebotol, lalu mereguknya seperti kehausan. Kerongkonganku kering, tercekat dalam kebimbangan sendiri.

Tuesday, February 10, 2009

Stay by Sugarland

*Why don’t you stay?
I’m down on my knees
I’m so tired of being lonely
Don’t I give you what you need?
When she calls you to go
There is one thing you should know
We don’t have to live this way
Baby, why don’t you stay?

You keep telling me, baby
There will come a time
When you will leave her arms
And forever be in mine
But I don’t think that’s the truth
And I don’t like being used
And I’m tired of waiting
It’s too much pain to have to bear
To love a man you have to share

Back to *

I can’t take it any longer
But my will is getting stronger
And I think I know just what I have to do
I can’t waste another minute
After all that I’ve put in it
I’ve given you my best
Why does she get the best of you?
So next time you fine
You wanna leave her bed for mine

Why don’t you stay?
I’m up of my knees
I’m so tired of being lonely
U can’t give me what I need
When she beg you not to go
There’s one thing you should know
I don’t have to live this way
Baby, why don’t you stay?

Wednesday, February 4, 2009

Aku Bertahan

Aku Bertahan
Rio Febrian

Sedih, ku tahu kini perasaanmu kepadaku
Sedih, saat kau tak yakin kepadaku akan cintaku
Jalan berliku takkan membuatku
Menyerah akan cinta kita

Tatap mataku dan kau akan tahu
Semuanya yang aku rasakan

* Reff:
Aku bertahan karena kuyakin cintaku kepadamu
Sesering kau coba tuk mematikan hatiku
Tak kan terjadi, yang aku tahu
Kau hanya untukku
Aku bertahan, ku akan tetap pada pendirianku
Sekeras kau coba tuk membunuh cintaku
Yang aku tahu, kau hanya untukku

Tatap mataku dan kau akan tahu
Semuanya yang aku rasakan

Back to *Reff

Aku bertahan, ku akan tetap pada pendirianku
Sekeras kau coba tuk membunuh cintaku
Yang aku tahu, kau hanya untukku

Taubat...

A great song by OPICK... Bikin nangis tersedu2, karena daku memang sering merindukan Allah ku...

TAUBAT
OPICK

Wahai Tuhan, jauh sudah lelah kaki melangkah
Aku hilang tanpa arah, rindu hati sinar-Mu
Wahai Tuhan, aku lemah hina berlumur noda
Hapuskanlah terangilah jiwa di hitam jalanku

Ampunkanlah aku, terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau Sang maha pengampun dosa

Ya Rabbi, izinkanlah aku kembali pada-Mu
Meski mungkin tak kan sempurna aku sebagai hamba-Mu

Ampunkanlah aku, terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau Sang maha pengampun dosa
Berikanlah aku kesempatan waktu
Aku ingin kembali… Kembali…

Dan meski tak layak sujud padaMu
Dan sungguh tak layak aku…

Ampunkanlah aku, terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkau Sang maha pengampun dosa
Berikanlah aku kesempatan waktu
Aku ingin kembali… Kembali kepada-Mu…
Ampunkanlah aku, terimalah taubatku
Aku ingin kembali… Kembali kepada-Mu…
Ampunkanlah aku

Tuesday, February 3, 2009

hari ini biru...

mendung pagi ini tidak juga menyingkir sampai batas waktu mentari menarik diri. Dia yang sudah lelah, mengalah pada senja, merangkak turun ke peraduan. Hari ini biru, cenderung kelabu... aku pasrah pada realita kesendirian.

Langkah kaki yang pernah menjaga jiwa, berlari tak tentu arah. Dia hilang, mengerang dan mengadu, pada nasib yang kian pilu. Mungkin kehadirannya menyebabkan langit kelabu menjadi merah merona. Tapi saat ini, cukup setitik cahaya lentera yang aku perlu. Aku tidak butuh kamu.

Kematian sosokmu melepaskan perih yang makin menjadi-jadi. Tapi apalah daya ketika engkau jauh. Perpisahan ini adalah harga mati, bagi kamu dan juga bagi aku. Kita cuma sepasang manusia yang sekarang terpisah jarak dan waktu. Entah untuk berapa jauh dan sampai berapa lama...

Aku tidak lagi meratapi kamu. Aku hanya terpaku melihat hari ini begitu biru. Hujan dan awan seolah mengejek aku dan berkata, aku selalu kalah pada akhirnya. Tapi aku tetaplah aku... Dan hari ini, sampai sore menjelang, sama saja. Hari ini biru...

Sunday, February 1, 2009

Lucu Bener...

Ini adalah cerita masalah bahasa daerah yang sering banget muncul tiba-tiba dan mengagetkan semua orang. Kalo kata daku, ini lucu dan aneh banget, apalagi kalo anda yang membaca adalah orang Palembang ato ngerti bahasa daerah itu.
Kejadiannya berawal ketika dua temen SMA ku waktu di Palembang mengunjungi bandung untuk maen di sini. Kita lalu pergi shopping2 di mal gitu, salah satunya adalah PVJ yang di dalemnya ada SOGO. Ternyata salah satu sepatu merek ternama (namanya dirahasiakan) sedang sale ampe 70%. Gimana gak ngiler tuh nyoba2in sepatu lucu mumpung gi murah. Nah, salah satu temen daku ternyata tertarik dengan sepatu putih, high heels, cantik banget lah pokoknya. Percakapan yang terjadi seperti berikut:
Temen daku (A) : “Mbak… bisa minta yang ukuran 35 gak?”
Mbak SPG : “Ada mbak, tapi coba dulu ada yang 36”
Temen daku (A): mulai nyobain yang 36 tapi merasa kurang pas.
Mbak SPG : dateng membawakan ukuran 35
Temen daku (A) : nyobain sepatu ukuran 35
Temen daku (B) : “Bagus tuh… Keren banget”
Temen daku (A) :”Mbak, minta yang baru dong. Yang ini ada sedikit nodanya.”
Mbak SPG : “Aduh, gak ada lagi mbak. Tinggal yang ini ukuran 35”
Temen daku (A) : Nyobain lagi ukuran 36, karena lebih bersih
Daku : “Kayaknya yang ini kelobokan deh. “
Temen daku (A) : “Iya ya? Kayaknya emang kelobokan deh”
Mbak SPG : muka bingung, gak ngerti kata ‘lobok’, tapi manggut2 aja
Temen daku (B) : “Wakakakakakak…” Ketawa ngakak2 karena merasa percakapan barusan sangat aneh

Menangkap maksudnya??? Jadi kita sok asyik gitu gunain bahasa Indonesia, tapi tetep aja nyelipin kata “lobok” yang artinya gede. Jadi kelobokan itu adalah kegedean. Sebenernya itu biasa aja kalo di Palembang sono, tapi tetep aja lucu kalo kita gak sadar sekeliling kita gak ada yang ngerti artinya. Lucu banget deh ngeliat muka mbak yang tersipu2 gitu sekaligus aneh kali ya? Tapi kata ‘lobok’ gak bisa menunjukkan benda yang besar. Gak ada tuh orang yang nyebut “eh, tuh pohon lobok banget ya?” karena memang khusus buat sesuatu yang gak pas ukurannya misalnya baju, sepatu ato celana. Kocak bener deh…

Ada lagi niii… cerita dari temen aku si B. Adiknya kebetulan mampir ke daerah depok (UI) maen ke kostnya gitu. Percakapan yang terjadi saat dia berniat membeli jus adalah seperti ini ni…
Adik : “Mas beli jus mangga dong”
Mas :”Ini ni… Harganya empat ribu”
Adik : memberikan uang pecahan lima ribuan
Mas : menerima uang si adik itu lalu kembali ke depot jusnya
Adik : menghampiri si mas lalu bilang,”Mas ‘sosok’nya mana ya?”
Mas : “Apa?”
Adik : “Sosok” (dengan wajah polos)
Mas : “Apa”
Adik : “Sosok mas” (masih dengan wajah polos)
Mas : “Apa”
Adik : sedikit bingung dan bertanya-tanya… Tapi tetep aja bilang, “sosok”
Mas : “HAH?”
Adik : Baru menyadari kebodohannya, akhirnya bilang juga bahasa bumi… Katanya, “Kembaliannya mas…”

Kocak bener deh niiii… Sumpah, daku masih ketawa2 sampe sekarang kalo inget cerita ini. Aku mpe pipis di celana saking ketawanya gak nahan abis. Emang kadang-kadang kita masih suka ngebawa bahasa daerah itu, yang kita anggap semua orang bakal ngerti dengan bahasa planet kita sendiri. Wah, bagi para pengelana yang sedang berada di negeri orang, mohon jangan ulangi kedohan serupa ya. Tolong disaring lagi kata-kata yang mau dipake untuk ngobrol ato ngomong dengan orang daerah setempat. Jangan sempet deh diketawain ato dibodoh2in… Hahahahaha… Selamat berjuang!!!

Masa Kecil... PERMAINAN TRADISIONAL SERUUU BANGET!!!

Inget masa kecil, pasti gak lepas dari yang namanya permainan tradisional. Walaupun disebut dalam berbagai istilah, tapi daku yakin kalo hampir semua orang yang lahirnya sekitar tahun 70 dan 80-an merasakan permainan yang jauh lebih asyik daripada sekedar duduk di depan komputer bermain game online ato PSP yang gak banyak membutuhkan kucuran keringat dan energy yang lebih.
Mudah-mudahan kalian semua bisa kembali mengenang masa lalu dan di hari libur nanti, mengajak teman-teman seangkatan anda untuk berkumpul bermain bersama. Yang kita perlukan hanyalah lapangan yang cukup luas dan ketangkasan untuk bisa menang serta persaingan yang sehat. Pokoknya dijamin seru deh…
Game pertama adalah “CABUT”, yang dalam versi Indonesia lebih dikenal sebagai “GOBAK SODOR”. Kalo di kota kelahiran saya, Palembang, kita biasa menyebutnya cabut, sesuai kata pertama yang harus kita teriakan untuk menandakan permainan dimulai. Ada beberapa penjaga yang hanya boleh berjalan sesuai garis permainan. Satu orang menjaga di garis depan, sekaligus menjaga garis tengah yang melintang dari depan ke bagian belakang. Penjaga yang lain berjaga di garis-garis yang memanjang ke samping, tidak boleh pindah posisi. Para pemain berusaha berlari dari garis samping menuju paling belakang dan kembali ke garis awal tanpa bisa disentuh oleh penjaga. Kadang-kadang kecurangan seringkali terjadi, karena daku begitu diteriakin kenaaaaa, langsung mengelak dengan seribu alasan. Kalo baru mulai maen, pasti ada kesepakatan, kena baju dianggap “dak asi” alias “gak sah”. Keren kan?
Game kedua adalah “BENTENGAN”, yang versi Indonesianya daku gak tau. Pastinya kita akan membagi para pemain jadi dua kelompok, dan menentukan satu benteng yang harus kita jaga sampai titik darah penghabisan. Yang serunya, kalo kita mengatur strategi untuk mencari celah sampai ke benteng lawan. Kadang-kadang dengan bodohnya kita sampai mengambil jalan paling jauh dan paling tidak mungkin trus tiba-tiba sudah ada di belakang benteng lawan. Ato kalo salah satu dipaksa jadi umpan supaya lawan trpancing dan keluar dari bentengnya. Lalu kita serbuuuuu… nangkepin musuh satu-satu untuk jadi sandera. Proses pembebasan sandera juga sangat seru, hahaha. Ini bener-bener olahraga lahir batin lah pokoknya. Keren abizzz..
Favorit daku berikutnya adalah “OREK’AN” alias “KEJER2AN”. Nah, kalo yang ini memang sudah biasa. Tapi jangan salah, ternyata banyak banget versi permainan ini. Kalo yang biasa, untuk menghindar dari penjaga, kita lalu duduk sampai menunggu diselamatkan orang lain, maka ada juga yang lebih kreatif dengan mengganti ‘duduk’ menjadi ‘mematung’ atau ‘menyebutkan nama pahlawan atau nama binatang atau nama buah’. Coba bayangkan, untuk bisa bermain ini kita perlu lebih dari sekedar tenaga tapi juga konsentrasi tinggi. Lagi sibuk dikejer penjaga, kita masih harus mikir menyebut apa untuk bisa selamat dari kejeran. Terus belom lagi aksi heroic dari temen2 yang sok jagoan berusaha menyelamatkan yang sedang duduk ato jadi patung. Gak jarang justru merekalah yang menyesatkan kita ke lubang kekelaman. Karena begitu disentuh yang artinya boleh lari lagi, eh kita malah langsung dikenai oleh si penjaga. Yaaaah… Menyesal trus marah2 deh ke yang nyelametin.
Tau gak sama yang satu ini? Sebutannya di Palembang sih “CAK ENGKLENG”. Uhm… Diceritain aja ya. Kita bikin kotak2 di tanah, ada yang versi biasa, ada yang versi pesawat terbang. Trus kita ambil batu ato benda yang pipih untuk jadi alat main kita. Benda itu dilepar ke kotak, gak boleh kena garis. Trus kita lompat2 deh dari satu kotak ke kotak lain. Bentuknya yang paling awal dua kotak, terus satu kotak, terus dua kotak lagi, satu lagi, dan terakhir dua kotak. Kita harus sampe di kotak terakhir dan berbalik sambil mengambil batu yang dilempar itu untuk kita bawa keluar dari kotak awal. Bener gak sih penjelasanku? Nah, kita bisa terus lempar batu itu dari yang pertama sampe terakhir. Kalo ada batu milik orang lain di salah satu kotak, berarti kotak itu harus dilewatin tanpa diinjak. Aduh, ribet bener deh ini jelasin permainannya. Enaknya langsung dipraktekin sih… nanti ya, kita bikin turnamen permainan tradisional.
Sebenernya masih banyak lagi sih permainan seru abad lalu. Kalo di Palembang kita paling sering maen waktu jam-jam istirahat sekolah dan sore-sore ama tetangga. Misalnya, “BUAYA2AN”, “YEYE a.k.a KARET”, “TUNGKUPAN a.k.a “SUMPUTAN” – kalo kata temen daku seek and hide. Nah yg bener itu hide and seek ato seek and hide sih? Soalnya dia ngomongnya dengan berapi-api dan setengah teriak,hahaha. Nah, gimana ide liburan minggu ini? Mantab bener kan? Kita ajarin dong para generasi penerus bangsa untuk maen game-game yang asyik dan seru kayak kita dulu. Apalagi kalo sampe ada turnamen permainan tradisional itu. Keren…