Thursday, August 19, 2010

Mencintaimu Lebih Dari Ini

Dukaku yang kularung dalam sebuah kali, menghanyut tanpa sebelumnya tergenang di permukaan air. Dukaku sebanyak itu. Dulu, terbendung dalam hati yang kujahit sendiri lukanya.

Tak terperi, rasa sakit atas masa lalu. Aku dan masa laluku. Denyut-denyut dendam yang perlahan hilang. Sudah terbiasa, kataku. Sudah sering dan terlalu lama aku jatuh dan merasakan sakitnya. Lalu semakin kering mulut dan bibirku. Aku terlalu lama tidak bersuara. Mungkin bukan tuli atau bisu. Hanya saja tak bisa mengatakan apa-apa.

Kesendirian, sekali lagi bukan sahabat yang baik. Ia musuh utamaku. Sendiriku. Merantai kaki dan tubuh. Diam. Merasakan getir yang terus berulang. Dalam sendiriku, sakit dan remuk itu kembali dan selalu datang.

Namun.

Kamu hadir di waktu yang tepat. Ketika itu, dendamku sudah hanyut. Duka yang kularung dalam sebuah kali, yang sudah hanyut tanpa tergenang. Hilang sudah. Kamu melengkapiku. Merajut bidang kosong, bekas aku dan lukaku. Mengisi ruang batin, dulu diam dan sendiriku. Aku jatuh hati padamu. Bukan. Kamu membuatku merasakan cinta pada hidup. Rasanya salah. Kamu mengajariku meletakkan sedu sedan pada kasih.

Dan kini hati itu, cinta itu, kasih itu, membanjiri aku. Semoga juga kamu.

Mencintaimu lebih dari ini. Bagaimana caranya? Bagaimana bisa? Aku hanya mencintaimu secukupnya. Mungkin juga kau ingin aku makin cinta. Tapi bagaimana?

Lalu kumohon, beri tahu aku rahasianya. Kuingin mencintamu, lebih dari ini.

--
Dearest Arif,
I Love you

Jakarta, 19 Agustus 2010

Wednesday, August 4, 2010

Sepenggal Kisah Bumi

Paru-parunya dipaksa bekerja. Darah memompa jantungnya yang berdegup kencang, mengikat oksigen, mengantarkan pada otot yang lelah dan kencang. Ia terus berlari, mengerahkan separuh lagi kemampuannya untuk bisa berpikir. Langkah-langkah panjang yang tersaruk-maruk di rerumputan menggores kaki hingga betis.

Dalam pikirannya hanya satu, bumi yang dipijaknya masih kokoh berdiri. Tapi penopang langitnya sudah rapuh. Ia tidak ingin tersia-sia, menjadi bumi tanpa langit. Ia tidak mau berdusta pada dunia, bahwa bumi bisa sendiri.Ia masih ingin langitnya ada, bersandar pada punggungnya walaupun tak lagi kekar seperti sedia.

Ia hanya lelaki. Dan cintanya sudah mulai teradu pada keadaan yang pilu.

Matahari sudah siap tampil. Fajar bergegas menjemput empunya dunia, sang cahaya yang garang. Dedaunan menegakkan tubuhnya. Embun bergulir sementara bunga tergelitik mekar. Di ufuk timur yang jauh, pagi merayap. Senyap.

Bumi terus berlari.

Di ujung jemarinya yang tergenggam, masih ada sejumput cinta yang ia punya. Di ujung bibirnya yang menghitam, masih ada kata maaf yang belum sempat tersampaikan. Dan sekali lagi, ia tidak ingin terlambat mengotori batinnya. Selamanya dia tidak akan bisa memaafkan diri sendiri. Bumi lambat laun juga mati, jika langitnya luluh runtuh.

Tiang-tiang bambu terpancang di depan rumah usang dengan balutan warna suram, sebelum fajar menyongsong pagi. Gulita dan senyap mengendap-endap dari tanah hingga atap. Tak jauh dari situ, lantai keramik usang dan dinding batu yang beku cuma terdiam. Menatap tanpa berani bicara, darah-darah yang terurai. Bumi tak tahu. Ia belum tahu.

Di sisi langit yang sama, cintanya tak pernah menua. Tak seperti kayu dan keramik dan batu dan rumah itu. Langitnya dan cintanya.

Bumi tergetar. Rasa sesak menggoncangnya hingga ke ujung nadi. Di hadapan tiang-tiang bambu, ia bersimpuh. Menatap nanar langitnya yang tak mau lagi mengarak biru. Ada darah menggenang pada langitnya. Juga air mata. Diujung jarinya yang tergenggam, cintanya memuai. Melayang di udara. Di ujung bibirnya yang menghitam, maafnya terurai. Hilang begitu saja.

Tak sempat terucapkan cinta pada langit sekali lagi. Sejak minggu lalu, langitnya yang dulu teduh, tertutup awan hitam pekat. Sejak minggu lalu, bumi tak peduli langitnya menangis curah hujan yang tak henti. Rahim langit ternodai oleh seorang lelaki. Ia tak sudi. Tadinya. Dan kini ia tak peduli. Bumi hanya ingin langitnya kembali.

Pada kemarik usang dan dinding batu yang bisu, bumi menghempaskan sesalnya yang dalam. Tak lagi bisa dirasakannya ototnya yang mengencang atau napasnya yang menggebu. Ia luruh. Terlambat yang amat menyakitkan. Ia tak dapat lagi berdiri.

"Aku terlambat. Sekali lagi maaf," Kata-katanya bergulir bersama deru deritanya. Keramik usang dan dinding batu mulai berkaca-kaca. Mereka menitikkan air mata. Pada cinta yang teramat dalam, mereka salahkan semua.

"Tunggu aku," terakhir kali ucapnya.

Lalu pisau yang yang membelah langit, direnggutnya. Bumi menghujam dada dan terkulai.

Tepat luruh. Bumi itu.

--
Lanjutan cerita dari Sepenggal Kisah Langit yg terbengkalai lama. Sila liat linknya...
http://salamlangituntukbumi.blogspot.com/2010/01/sepenggal-kisah-langit.html

Jakarta, 19 Agustus 2010

Siapakah Aku Ini, Bapa?

Apakah sebaik itu aku di hadapan-Mu ya Allah yg rahim? Ketika aku tidak menumbuhkan imanku,Kau ketuk hatiku berkali-kali. Ketika aku melemahkan keyakinanku,Kau kuatkan aku terus-menerus. Dan ketika aku terjatuh dalam dosa,Kau angkat aku sekali lagi. Apa lg yg dapat kuberi,selain imanku yg sederhana?

Ya Bapa, maafkanlah anakmu. Aku yang liar dan pemarah. Aku yang pandai berdusta dan berkata buruk. Aku yang pembenci dan menyimpan dendam. Di hadapan-Mu,aku bertekuk lutut dan merendahkan hati. Mana aku berani menatap tubuh-Mu yang terpaku di kayu salib. Terlebih ketika engkau terbaring penuh luka dan wafat dalam goa. Semua cinta itu telah kusia-siakan,seperti juga hidup dan pengampunan yang sudah Kau berikan. Aku tak mampu,Tuhan. Maafkan hamba, anak-Mu yang penuh dosa.

Lalu apa lagi yang bisa kukatakan di hadapan salib-Mu yang kaku? Selain sebuah kalimat yang kukatakan berulang-ulang kali dalam tubuh yang lesu dan suara parau air mataku.......Terimalah imanku yg sederhana ini,Tuhan.

Amin.

--Carmel, 23 July 2010--