Friday, July 31, 2009

just 1 day left....

Hari ini sebuah hari yang menakutkan. Bagai maut yang hampir menjemput, aku tidak bisa duduk tenang. Jam sudah menunjukkan angka 12 lebih sepuluh, tapi aku tidak bisa tertidur juga. Lalu aku mulai menulis, mengetik berbaris-baris kata tanpa maksud apa-apa. Aku hanya ingin bersuara, walaupun aku tidak tahu bicara dengan siapa. Untung saja, aku masih mengenal teknologi bernama facebook. Aku bermain-main dengan dunia maya barang sebentar, mengusir kesepian yang tak kunjung hilang. Lima belas menit yang berjalan pelan, siap-siap menyusupkan biru dalam hatiku. Aku kemudian termangu.

Hari ini sebuah hari yang mengerikan. Bagi siapapun yang berada dalam puncak kejayaan, mungkin bisa saja tertawa sembari menyadari waktu yang terus melangkah. Tapi bukan aku. Saat ini aku sedang menghadapi kebimbangan hatiku sendiri, menyadari betapa rapuhnya jiwaku dan keinginanku yang terlalu tinggi. Semua angan sudah terbang, terlalu bebas malah, sehingga satu demi satu kemudian lenyap tanpa jejak. Bekas yang ditinggalkan membuat aku perih. Kelu, seperti diiris sembilu. Aku terlalu banyak diam. Mungkin jejak ini sudah terhapus oleh keadaan.

Hari ini membawa aku pada kenangan, sebagian memang menyakitkan. Keasadaran tinggi ini membuatku mengerti, usiaku semakin berlari kencang, meninggalkan rentetan waktu. Aku bukan lagi seorang aku yang berusia remaja, melebihi dewasa. Sebentar lagi, nafas ini mungkin terhenti. Tidak sedikit orang yang mati muda, pikirku. Mungkin salah satunya, ada namaku yang tercatat di situ. Tapi bukanlah permasalahan usia yang membuatku gentar. Aku hanya tidak mau menerima kekalahanku, sebuah perang melawan diri sendiri. Aku ingin menang. Ini adalah harga mati.
Lalu mau bagaimana lagi? Semua sudah aku jalani. Sepenuh hati, atau separuhnya, aku tidak tahu. Yang pasti, sebuah masa lalu tidak bisa berlalu begitu saja. Ingin rasanya kembali, memutar waktu yang dulu sudah meninggalkan aku dengan kejam. Tidak peduli betapa inginnya aku menghentikan, semua tidak bisa usai. Pada Dia aku ingin mengadu, keluh kesahku sudah terlalu lama kupendam. Aku ingin berteriak pada dunia, mengatakan pada mereka betapa teganya hidup mempermainkan aku, kesetiaanku, keimananku, juga jalan yang aku tempuh. Terlalu banyak air mata, kesakitan, patah hati, kecewa, juga dusta. Semua telah membuat hatiku melepuh. Apakah semua membuat hatiku lalu mati juga?

Aku ingat setahun yang lalu. Masih ingat betul rasanya menjalani nikmat hidup yang serba sempurna. Aku memiliki pekerjaan, setidaknya sebagai mahasiswa. Aku juga memiliki seorang kekasih yang kucinta. Tinggal dalam kehidupan yang serba teratur dan terarah, seakan-akan aku bisa menjadi apa saja yang aku minta. Tak habis-habisnya aku dicurahi keberuntungan, keajaiban, cinta, pelukan, penghargaan, sahabat dekat. Hidup lalu kian tidak bisa kuandalkan, ketika aku memilih jurangku sendiri. Aku mungkin telah salah melangkah. Kusesali itu, hingga saat ini. Perdamaian dengan diri sendiri yang sulit terjadi.

Aku ingin berdamai dengan dunia. Aku ingin berdamai dengan Dia. Aku ingin berdamai
dengan hati.

Maaf, bila aku menjadi sosok yang cengeng. Tersedu-sedu menikmati alunan beberapa lagu. Aku sungguh-sungguh bingung dan tenggelam dalam kesedihan. Entah mengapa semua terasa menyakitkan. Tahun yang kemarin, bukannya tidak kusyukuri…tapi memang aku mengharapkan yang lebih baik lagi menanti di tahun ini.

Hari ini adalah hari terakhirku menikmati usia yang ke 22. Masih dengan segudang pertanyaan, dengan segenap kebimbangan, dengan kesakitanku, aku ingin melangkah maju. Aku hanya ingin meninggalkan masa lalu. Uhm, menulis ini pun membuat aku sedemikian sakit. Aku sendiri pun tidak terlalu mengerti mengapa aku seperti ini, mengalirkan air yang tumpah ruah dari kedua mata.

Aku teringat mama yang sedang buruk kesehatannya. Beliau yang sudah lima tahun ini jarang kujumpai. Saat ini aku hanya ingin berterima kasih, bersujud simpuh di hadapannya, memohon ampun atas ucapan, makian, permusuhan, dan derita hatinya yang kubuat luka. Hari ini, aku berdoa tidak untukku. Tahun ini bukan untukku, Tuhan. Kuingin dia bisa tersenyum ceria lagi, bernyanyi dengan suaranya, berlari sore dengan teman-temannya. Kuingin darah yang dikucurkan ketika melahirkanku 23 tahun yang lalu digantikan dengan kebahagiaan dan kesehatan. Kumohon padaMu, jagalah dia dengan cinta.

Aku juga teringat papa. Sosok yang selalu kupuja itu membuat jemariku kaku. Entah harus berapa banyak ucapan terima kasih yang ingin aku ucapkan baginya. Dialah hidupku. Papa yang lucu, yang bijaksana, yang selalu bisa mendamaikan aku dengan saudara-saudariku, yang gemar merokok walaupun sejuta larangan gencar kami ucapkan. Aku merindukan pijitannya yang kerap kali ada waktu aku letih. Aku rindu merengek padanya, meminta sejumlah uang lagi untuk kebutuhanku yang tidak ada habisnya. Aku rindu menonton pertandingan sepakbola di tv bersama dia. Aku rindu semua tentangnya. Pada Tuhanku, aku meminta kebahagiaan untuk papa. Semoga masih ada cukup waktu bagiku membalas semua cintanya.

Saudara-saudariku yang kukasihi, Septyatha, Novitaria dan Leni Ariani. Pertengkaran demi pertengkaran selalu menyudutkan kami dalam sebuah bentuk persaudaraan yang tidak biasa. Aneh, kami sering sekali saling menghina, benci, marah pada satu sama lain. Tapi aku tidak pernah ingin mereka digantikan oleh siapapun manusia di dunia ini. Aku sesungguhnya mencintai mereka dengan sepenuh jiwa, keduanya adalah anugrah bagiku dan hidupku. Dalam doaku malam ini, kuinginkan mereka terus bersinar bagi satu sama lain. Kuinginkan yang terbaik untuk ketiganya.

Mereka, Elysabeth Simamora dan Depie Proveria. Sahabat terbaikku sepanjang lima tahun belakangan. Tiap air mata, tawa, yang selalu kubagi untuk kalian berdua. Pelukan yang aku perlukan, dukungan yang aku harapkan, cacian yang menyadarkan, senyum yang menandakan ketulusan, apapun bentuk sayang yang mereka beri bagi jiwa. Semua itu membuat aku tetap bernyawa saat ini, membuat aku merangkak naik dari jurang kekelaman yang kadang aku buat sendiri. Terima kasih telah menawarkan sebuah persahabatan yang tidak bisa tersaingi oleh apapun jenis materi. Kumohon Tuhan untuk memberikan curahan kasih bagi mereka, agar tetaplah mereka terus tersenyum dan berbahagia.

Lalu dia, yang begitu tega meninggalkan sebuah janji dan menutup akhir cerita. Dia yang tetap menjadi separuh jiwaku, yang dulu telah kutukar dari sebuah kesetiaan. Dia yang aku tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Dia yang membuatku menangisi malam-malamku selama 7 bulan ini dalam luka. Dia yang membuatku belajar untuk mencintai, juga disakiti. Doaku selalu sama, hingga tak perlu lagi kurangkai kata-kata baru untukNya. Telah kuhapal karena selalu mengalir dari mulutku. Semoga Tuhan menjaga setiap langkahmu, menjaga kesehatanmu, menjaga imanmu, menjaga rejekimu, juga menjaga cinta yang kutitipkan padamu. Namun di malam ini kusisipkan lagi sebaris doa. Semoga Tuhan melimpahi engkau kemudahan, mewujudkan setiap keinginan dan harapan yang engkau cita-citakan. Aku mengerti, kita telah menemukan jalan yang tidak lagi sama. Tapi sebuah cinta yang begitu dalam, tidak pernah menyisakan ruang bagi yang lain. Terima kasih untuk semuanya, setahun lebih yang begitu luar biasa.

Hari ini aku akan menutup usiaku yang ke 22. Aku akan menikmati setiap jengkal waktuku yang tersisa. Aku menghamburkan tangis sebisanya agar sepanjang hari ini akan menjadi sebuah kebahagiaan bagi diri. Tuhan yang maha baik, kumohon Engkau tetap mencintai aku dengan caraMu. Engkau tidak akan pernah meninggalkan aku, aku tahu. Semoga tetap yang terbaiklah yang aku terima dari kasihMu yang tak terhingga.

Di penghujung usiaku yang ke 22, aku mendaraskan janji-janji baru, membayangkan mimpi-mimpi baru, mengharapkan hidup yang baru, bagiku dan segenap jiwaku. Selamat ulang tahun bagi diriku sendiri, Lidya Agusfri. Tetaplah melangkah dengan senyum, kepedihan, kesendirian, kesepian, tawa ceria, kekonyolan, air mata, dan jiwa yang selalu rapuh namun hidup dan berwarna. Aku adalah aku, di usia 22 atau setahun lagi sesudahnya. Semoga berbahagia.

Tuesday, July 14, 2009

9 teman dan peribahasa terbaik

1. Elysabeth Simamora
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Artinya bersakit-sakit dahulu, gangguan jiwa kemudian. Gila gak sih, awal-awalnya sih gak capek karena pake rakit…eh, pas udah deket, malah disuruh berenang. Udah jelas-jelas aku cuma bisa gaya dada…pas nyemplung ke air trus langsung dadaaaaaaah….hehehehe. Si ibeth ini pandai menipu… Awal perjumpaan terlihat kalem kemayu, ternyataaaaa…. Dikau sungguh kejam temanku,hahahaha… Tapi kita sungguh “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Betul?

2. Depie Proveria
“air beriak tanda tak dalam”. Pas banged nih buat depie…orangnya suka teriak-teriak, suaranya kenceng, suka ngomong…tandanya dia memang tak dalam. Kalo diukur kedalamannya, gak nyampe 150 cm, gak berbakat jadi sumur deh…. (hampura deeeph…). Nambah ah buat depie, ada lagi peribahasa lain yaitu “biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Ya gak deph? Biarin aja para lelaki menggonggong, yang penting kita selalu laku (makin gak nyambung!).

3. Leni Ariani
“menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. Makanya, jangan suka menepuk air di dulang. Mendingan menepuk air yang lain. Dia sih suka salah, sering gak konsultasi dulu…harusnya nanya, yang mana air dulang yang mana yang bukan. Trus ya…Kalo memang kedapetan rejeki, musti bisa menciprati ke orang-orang lain, termasuk keluarga dan sodara ”terdekat” (kan sekarang kita tidur bareng sekasur, jadi memang kita yang paling dekat menurut segi geografis ^-^)

4. Novitaria
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Kalo mau tahu si ibu ini, lihatlah anaknya yang bernama Janice Arivi Puji. Anaknya sangat dicintai semua orang, pandai bernyanyi, pinter baca, cantik, modis, pinter nari, pinter ngelucu, imut-imut, selalu bertutur kata yang sopan dan halus, tidak mendengkur kalo tidur, tidak suka ngupil, tidak suka teriak-teriak, tidak pernah memukul orang, tidak pernah merampas milik orang lain, tidak suka nangis kenceng-kenceng…… Nah, silahkan pilih2, mana yang nyata alias realita, mana yang fiksi… hahahahahahahahaha….. Semoga berhasil!!!

5. Abeee
“Bagai punguk merindukan bulan”. Artinya si punguk udah lama banged gak ketemu sama si bulan. Kasian si punguk, cuma bisa ngeliat bulan dari jauh tapi gak bisa ngobrol. Bulannya udah jauh sih, jadi aja gak ketemu-ketemu. Lama-lama punguknya bosen ah, sekarang ngerinduin yang lain aja. Maaf ya laaaan….

6. Eddy Kosasih
“Bagai punguk merindukan bulan (2)”. Bukan berarti gak kreatif dengan persediaan peribahasa, tapi emang ini yang paling tepat. Aku tau banged dengan kecintaan dan kekaguman eek padaku. Selama bertahun-tahun dia memendam perasaannya padaku. Tapi biarlah ya ek… Biar kau terus merindukanku, gak perlu diungkapin, daripada tar lu kecewa…hahahahaha…

7. Yunita Primasari
“Satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”. Betul gak tet? Wahahahahaha… Tidak usah diberikan penjelasan deh. Biar saudara-saudara menebak dan persepsikan sendiri. Pokoknya ini utet sekali…. (aku padamu lah teeeeet….)

8. Melsa Trinita
“Dari mata turun ke hati”. (kayaknya ini gak termasuk peribahasa deh…hahahaha). Kita ganti aja yaaa… uhm, yang tepat mungkin……………………….. “ada udang di balik batu”. Biasanya udang-udang suka banged sembunyi di balik melsa. Bukan berarti melsa punya bau-bau amis yang sama, atau sama-sama tidak punya otak, tapi…dia adalah tempat perlindungan bagi orang-orang. Bagaikan batu yang melindungi para udang dari terpaan sinar mentari yang menyengat dan ombak lautan yang kejam (apaaa siiiiih???). Tapi melsa ini super TOP deh. Satu lagi peribahasanya buat melsa… “Jauh di mata dekat di hati”. Alaaaaaaah….dangdut banged sih.. heehehehehe

9. Yulitriani – Cipan
“sambil menyelam minum air”. Artinya kami bekerja sambil menikmati hiburan (yang tak lain dan tak bukan adalah gossip). Jadi sambil ngapa2in kami sering banget sambil minum-minum. Abis briefing, minum kopi. Abis meeting, minum kopi. Abis makan siang, minum lagi. Di kala itu, gossip memang jadi penghiburan bagi hati kami yang lelah ini….halaaaah!!! Aku merindukanmu ciiii….

Sunday, July 12, 2009

Hubungan antara perempuan-lelaki, atau pacaran-lingkungan???

Duniaku seperti jungkir balik. Persis roller coaster, dibanting ke kiri, ke kanan, diangkat ke atas, didorong ke bawah, jumpalitan tidak kenal sisi mana yang dituju. Perasaanku tidak bisa dikendalikan. Aku bimbang.

Ada yang bertanya pada saya kemarin, apa betul saya mencintai pria satu itu? Cinta? Saya tidak mudah mengatakannya. Cinta itu mungkin sudah susut. Sama seperti kayu yang sudah habis diserut. Lama-kelamaan, tidak lagi tertinggal bentuknya yang utuh, kaku, seperti sebatang kayu. Yang tersisa hanya serutan-serutan kayu, yang berserakan, yang mungkin sudah tidak lagi berguna. Dalam salah satu tulisan, saya mengatakan... "hati layaknya tanaman, yang tidak bisa tumbuh subur jika tidak dirawat. Dia bisa mati jika ditinggal pergi, tidak disiram, hanya disimpan. Hati butuh matahari, sinar yang tidak bisa dia hasilkan sendiri."

Merasakan hati yang sulit mencintai lagi, tidak mudah bagi saya. Menyakitkan karena tiba-tiba kita bisa hilang rasa, "ilfil" kalo kata orang-orang bilang. Entah mengapa dan bagaimana prosesnya. Pernahkah anda, di suatu hari ketika bangun pagi, merasakan bahwa dunia anda tidak lagi sama? Ada yang kosong, ada yang tercecer di suatu tempat, tidak bisa kita temukan kembali. Lalu di hari itu, anda benar-benar malas melakukan segala sesuatu. Anda tidak menyapa pasangan anda, tidak membuat kopi untuk suami tercinta, tidak menyiapkan sepatu untuk suami berangkat kerja, atau tidak pula mengucapkan salam dan memberi kecup sayang kepada istri ketika meninggalkan rumah. Ada yang tahu mengapa? Sebagian mungkin mengatakan, karena kebosanan dan menghadapi rutinitas yang sama setiap hari, kita bisa saja menjadi tiba-tiba tidak punya rasa. Lha...lalu bagaimana dengan saya?

Bosan sudah pasti harus dicoret dari daftar pilihan jawaban untuk kasus saya. Mana mungkin hubungan yang baru seusia minggu bisa terjebak dalam neraka kebosanan? Tampaknya ada alasan khusus untuk itu. Harus bagaimana bila kita tidak tahu apa yang sebenarnya merusak "perasaan" sungguh-sungguh ini? Saya harus tahu. Tidak peduli saya harus bertapa atau menyepi, demi mencari jawabannya. Bila sudah ada alasan, sudah tentu ada jalan keluar yang bisa mengatasi "huru-hara" batin saya.

Pagi ini saya mengecek facebook. Ada foto-foto saya dan pasangan berikut komentar-komentarnya. Gila, semua orang ternyata sangat perhatian dengan hal ini. Concern sekali, sampai2 mendoakan hubungan kami. Saya baru sadar bahwa sebuah hubungan tidak hanya ada antara dua orang yang menjalaninya saja, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar dunia "hubungan khusus"nya. Bisa keluarga, bisa sahabat dan orang terdekat, bisa teman-teman, rekan kerja, atau hanya kenalan lama. Banyak orang lalu ingin tahu perkembangan terbaru, ikut bersorak sorai ketika tanda "jadian" lalu muncul sebagai status terbaru, ikut mendoakan (walaupun ada yang hanya sekedar basa-basi, ada pula yang sungguh-sungguh), ikut sedih bila ternyata hubungan itu tidak berhasil dan putus di tengah jalan. Kita betul-betul terikat dalam society yang katanya bangga dengan status "kekeluargaan". Hah! Tanpa disadari, kita jadi terbawa dalam suasana "wajib menjunjung tinggi harkat, derajat, dan martabat demi kehidupan sosial". Beberapa pasangan, yang sudah menikah juga, tidak berani memutuskan untuk berpisah karena faktor keluarga dan sosial lainnya. Padahal keduanya sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain. Beruntunglah mereka yang pada saat ini sudah tidak lagi demikian,yang pelan-pelan mati dalam tumpukan "nama baik".

Saya juga bingung kenapa hal ini lalu menjadi sedemikian besar, melibatkan banyak orang dan banyak cerita. Sampai-sampai saya ngomong tidak keruan, ngalor-ngidul dalam postingan saya kali ini. Apakah memang sebuah hubungan tidak bisa tulus antara dua orang, tanpa melibatkan orang lain? Ketika ada masalah, keduanya tidak peduli dengan anggapan, sanggahan, pemikiran, cap negatif, yang orang-orang akan berikan kepada mereka. Bila memang harus berakhir, adakah cara yang baik dan tidak menyakitkan bagi semua pihak? Bila memang harus selesai, ke manakah kenangan dan romansa lalu disimpan atau dibuang? Mudah-mudahan hubungan saya ini bisa diselamatkan. Kuserahkan hanya pada Tuhan....

Saturday, July 11, 2009

hati yang mampu memaafkan...sebuah cerita

FX Jakarta, di siang hari yang cerah membuat kaki-kakiku yang hanya terbalut celana super-duper-pendek ini sedikit gemetar. Padahal di luar, matahari sumringah sekali, panas menyengat, walaupun kawasan Senayan tidak sepadat hari biasa.

Di balik kaca-kaca cafe, saya melihat beberapa pengunjung yang sedikit sepi. Waktu makan siang sudah lewat, dan makan malam masih lama datang. Orang lebih senang lalu-lalang, melaksanakan hasrat window shopping ke lantai-lantai atas. Saya nelangsa. Mengingat beberapa bulan yang lalu, saya pernah menapaki tempat ini bersama seorang lelaki. Nelangsa karena apa juga saya tidak berani bicara. Takut salah. Takut ada yang tidak menginterpretasikan dengan betul, memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikrkan. Buat apa, ya kan?

Kedatangan saya ke sini karena ulang tahun salah seorang rekan lama. Rekan lama??? Mungkin kurang tepat. Dulu dia memang seorang yang "dekat" dengan sodara saya. Tapi kemudian, kekesalan saya menjadi dendam pribadi yang sulit hilang. Lha, sekarang mau ketemu...kok bisa? Aneh memang... Tapi saya tidak akan mau bertemu dengan orang ini, dengan menyimpan dendam yang sama seperti dulu kala. cukup sudah hati ini menjadi dengki, menjadi hati yang pemarah, menjadi hati yang tersakiti.

Bila melihat judul ini, hati yang memaafkan... Saya menambahkan "sebuah cerita". Karena saat ini memaafkan bukanlah perkara yang mudah bagi saya. tidak bagi orang yang masih belajar untuk bisa, sekali lagi "belajar untuk bisa" memaafkan. Apa yang paling penting dari pelajaran memaafkan ini? Sebuah cerita, ketika kita bisa memaafkan diri sendiri. Memaafkan objek penderita dari total keseluruhan cerita dari kepedihan, kesedihan, patah hati, sakit, aniaya, atau derita. Inilah aku... cerita ini dimulai dari seorang aku dan akan berakhir ketika aku telah menyadari "aku" inni telah termaafkan.

Lalu sampailah saya, berjalan di mall ini dari lantai paling bawah sampai atas untuk mencari cake ultah, birthday card and gift untuknya, bersama dengan sodara saya. Ketenangan ini begitu menyerap saya menjadi tenteram, tidak terbersit kelam dan dendam. Saya telah memaafkan. Dia dan diri saya. Kami telah dimaafkan sebuah "hati".

Begitu pula dengan kenangan tentang dia, seorang yang menyakiti saya dan mengkhianati cinta saya dengan begitu kejamnya. Fx ini menimbulkan getaran-getaran kedewasaan. Sakit dan pilu ini saya pendam, atau lebih tepatnya, telah hilang terbang. Mungkin beban ini menyenangkan, kadang-kadang saya berterima kasih. Syukur kepada Tuhan. Inilah pelajaran berharga saya hari ini, sebuah cerita untuk saya dan anda semua. Cerita biasa saja tentang sebuah hati..."hati yang memaafkan"...

bibir bisu pantai biru...

Pada titik itu dia mendaratkan kedamaian luar biasa di balik hatiku. Sebuah senyum melintas darinya menghujam langsung ke dalam dada, tidak lagi bertumpu pada mata. Aku ingin melihat dia cukup dari titik itu, tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh. Aku cukup memantau dia melangkah anggun, menapaki setiap bebatuan dan menyapa gemerisik dedaunan. Dia akan tersenyum pada angin, pada matahari, pada beberapa serangga yang lalu lalang, bukan padaku.

Dengan pakaian serba putih, dia seolah bersinar diterpa cercah mentari. Apalagi di pagi hari seperti ini, aku tahu ke mana kakinya melangkah pergi. Tujuannya adalah sebuah pantai dengan pasir putih berteman ombak bergulung. Pantai itu adalah tempat pertemuan aku dengan dia pertama kalinya, kedua kalinya, ketiga kalinya, hingga sekarang. Tak terhitung jumlahnya hingga dua musim berlalu.

Keberadaanku bukan ingin mengusik raganya, apalagi hatinya. Aku hanya ingin menyapanya lewat momen ini. Dulu bayanganku pernah singgah, bersinggungan dengan tubuhnya yang kecil dan tampak lemah. Tapi cukup satu kali itu saja, ketika keberanianku memuncak tinggi hingga tanpa sadar kaki ini melangkah mendekati. Cinta ini hadir tanpa perlu sebuah absensi. Akan selalu ada sejak pertama pertemuan dimulai hingga segalanya terurai dan selesai. Tanpa perkenalan atau perpisahan.

Aku meminta pada langit untuk menaungi bidadari yang kini menghadap cakrawala. Jangan hujan, pintaku. Jangan biarkan dia basah dan resah kemudian berlalu pergi untuk berlindung di balik tempat tinggalnya yang entah ada di mana.

Di balik pondok berbilik bambu ini aku memandangmu, merekatkan setiap lekuk wajahmu dalam benak. Agar dapat kubayangkan lagi rambut-rambut yang berbaris rapi di atas matamu, melengkung sempurna. Agar dapat kuingat lagi senyum yang manis membingkai bibirmu, berwarna merah cerah. Malam ini aku akan melagukan semua, melantunkan melodi cinta yang cukup hanya aku pemiliknya. Tidak akan aku bagi dengan siapa pun, tidak juga bagi engkau.

Lalu kini kau berteriak, mengatakan pada laut bahwa kau sepi. Kau tersenyum pada mereka seakan mereka mendengar, seakan-akan mereka mengerti. Tapi aku tahu. Aku sangat tahu kesepian hatimu, bahkan waktu kau hanya terdiam, bahkan saat kau melayangkan sebuah senyuman. Aku mengerti kau butuh cinta. Aku mencintaimu, tapi tidak akan aku bagi saat ini. Mungkin tidak juga nanti.

Pakaian yang kau kenakan pagi ini mengembang diterjang angin. Ujung-ujungnya basah karena air laut dan kotor karena pasir. Bayanganmu membelakangi wajah yang kau tutupi dari aku, hanya kau perlihatkan pada pantai yang berdesah. Cintaku tumpah ruah. Menyirami buluh nadiku yang jumlahnya jutaan. Cinta itu terdesak hingga ke atas kepala, menyembunyikan otakku sehingga tidak dapat bekerja. Hanya ada rasa cinta yang terngiang dalam jiwa.

Pada karang besar berwarna kelabu kau bersandar. Mendaratkan tubuhmu yang terlihat lemah di atas sana. Karang itu tinggi dan sedikit terjal. Sesaat aku ingin memegang tanganmu, membantumu menaiki tebing sampai ke puncaknya. Sepuluh detik yang lalu aku ingin sekali berlari ke arahmu dan mengangkat tubuhmu. Tapi aku tidak mampu bergerak.

Dan sekarang aku melihat engkau berbaring menatap langit. Kau di sana tetap menikmati dunia dengan kesendirianmu, sama seperti aku yang menikmati cinta tanpa dibagi. Lagi-lagi kau hanya berteman pada pasir yang bernapas lewat lautnya, ombak yang bergerak lewat riaknya, dan pada langit yang bicara lewat warnanya, bukan dengan seorang manusia.

Tidak aku pertanyakan ke mana kau labuhkan hatimu yang lembut namun biru. Tiada pernah sedikit pun aku cemburu, lalu berlari menangkapmu. Aku inginkan kau bebas, tetap berlayar pada laut lepas. Kau bukanlah milikku siang ini, tidak sampai kemudian hari. Aku memiliki bayanganmu yang aku simpan dalam hati. Cukup. Meminta sepenggal perasaanmu aku tidak berani.

Entah mengapa aku merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau menghangatkan aku jauh lebih banyak daripada yang aku terima dari mentari. Perasaan itu menenangkan.

Aku hanya sanggup merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau mengindahkan duniaku jauh lebih cantik daripada ombak yang menari-nari pecah ketika sampai di pantai. Perasaan itu mendamaikan.

Aku akan selalu merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau menyelamatkan aku dari derita jauh lebih baik daripada pelukan angin atau manusia. Perasaan itu mengamankan.

Teriakan hatiku akan kecintaan, kekaguman, kerinduan diriku akan kamu menjadikanku utuh. Engkau dan aku dalam benak, menyala tanpa sumbu, tidak kunjung padam. Kamu dan gaunmu. Kamu dan pantaimu. Kamu dan senyummu. Kamu dan kesendirianmu. Kamu dan biru hatimu. Kamu melengkapi aku.

Pada tepi pantai biru, dengan kebisuanmu, aku mencintaimu. Selalu.

-2 Juli 2009-