Friday, July 31, 2009

just 1 day left....

Hari ini sebuah hari yang menakutkan. Bagai maut yang hampir menjemput, aku tidak bisa duduk tenang. Jam sudah menunjukkan angka 12 lebih sepuluh, tapi aku tidak bisa tertidur juga. Lalu aku mulai menulis, mengetik berbaris-baris kata tanpa maksud apa-apa. Aku hanya ingin bersuara, walaupun aku tidak tahu bicara dengan siapa. Untung saja, aku masih mengenal teknologi bernama facebook. Aku bermain-main dengan dunia maya barang sebentar, mengusir kesepian yang tak kunjung hilang. Lima belas menit yang berjalan pelan, siap-siap menyusupkan biru dalam hatiku. Aku kemudian termangu.

Hari ini sebuah hari yang mengerikan. Bagi siapapun yang berada dalam puncak kejayaan, mungkin bisa saja tertawa sembari menyadari waktu yang terus melangkah. Tapi bukan aku. Saat ini aku sedang menghadapi kebimbangan hatiku sendiri, menyadari betapa rapuhnya jiwaku dan keinginanku yang terlalu tinggi. Semua angan sudah terbang, terlalu bebas malah, sehingga satu demi satu kemudian lenyap tanpa jejak. Bekas yang ditinggalkan membuat aku perih. Kelu, seperti diiris sembilu. Aku terlalu banyak diam. Mungkin jejak ini sudah terhapus oleh keadaan.

Hari ini membawa aku pada kenangan, sebagian memang menyakitkan. Keasadaran tinggi ini membuatku mengerti, usiaku semakin berlari kencang, meninggalkan rentetan waktu. Aku bukan lagi seorang aku yang berusia remaja, melebihi dewasa. Sebentar lagi, nafas ini mungkin terhenti. Tidak sedikit orang yang mati muda, pikirku. Mungkin salah satunya, ada namaku yang tercatat di situ. Tapi bukanlah permasalahan usia yang membuatku gentar. Aku hanya tidak mau menerima kekalahanku, sebuah perang melawan diri sendiri. Aku ingin menang. Ini adalah harga mati.
Lalu mau bagaimana lagi? Semua sudah aku jalani. Sepenuh hati, atau separuhnya, aku tidak tahu. Yang pasti, sebuah masa lalu tidak bisa berlalu begitu saja. Ingin rasanya kembali, memutar waktu yang dulu sudah meninggalkan aku dengan kejam. Tidak peduli betapa inginnya aku menghentikan, semua tidak bisa usai. Pada Dia aku ingin mengadu, keluh kesahku sudah terlalu lama kupendam. Aku ingin berteriak pada dunia, mengatakan pada mereka betapa teganya hidup mempermainkan aku, kesetiaanku, keimananku, juga jalan yang aku tempuh. Terlalu banyak air mata, kesakitan, patah hati, kecewa, juga dusta. Semua telah membuat hatiku melepuh. Apakah semua membuat hatiku lalu mati juga?

Aku ingat setahun yang lalu. Masih ingat betul rasanya menjalani nikmat hidup yang serba sempurna. Aku memiliki pekerjaan, setidaknya sebagai mahasiswa. Aku juga memiliki seorang kekasih yang kucinta. Tinggal dalam kehidupan yang serba teratur dan terarah, seakan-akan aku bisa menjadi apa saja yang aku minta. Tak habis-habisnya aku dicurahi keberuntungan, keajaiban, cinta, pelukan, penghargaan, sahabat dekat. Hidup lalu kian tidak bisa kuandalkan, ketika aku memilih jurangku sendiri. Aku mungkin telah salah melangkah. Kusesali itu, hingga saat ini. Perdamaian dengan diri sendiri yang sulit terjadi.

Aku ingin berdamai dengan dunia. Aku ingin berdamai dengan Dia. Aku ingin berdamai
dengan hati.

Maaf, bila aku menjadi sosok yang cengeng. Tersedu-sedu menikmati alunan beberapa lagu. Aku sungguh-sungguh bingung dan tenggelam dalam kesedihan. Entah mengapa semua terasa menyakitkan. Tahun yang kemarin, bukannya tidak kusyukuri…tapi memang aku mengharapkan yang lebih baik lagi menanti di tahun ini.

Hari ini adalah hari terakhirku menikmati usia yang ke 22. Masih dengan segudang pertanyaan, dengan segenap kebimbangan, dengan kesakitanku, aku ingin melangkah maju. Aku hanya ingin meninggalkan masa lalu. Uhm, menulis ini pun membuat aku sedemikian sakit. Aku sendiri pun tidak terlalu mengerti mengapa aku seperti ini, mengalirkan air yang tumpah ruah dari kedua mata.

Aku teringat mama yang sedang buruk kesehatannya. Beliau yang sudah lima tahun ini jarang kujumpai. Saat ini aku hanya ingin berterima kasih, bersujud simpuh di hadapannya, memohon ampun atas ucapan, makian, permusuhan, dan derita hatinya yang kubuat luka. Hari ini, aku berdoa tidak untukku. Tahun ini bukan untukku, Tuhan. Kuingin dia bisa tersenyum ceria lagi, bernyanyi dengan suaranya, berlari sore dengan teman-temannya. Kuingin darah yang dikucurkan ketika melahirkanku 23 tahun yang lalu digantikan dengan kebahagiaan dan kesehatan. Kumohon padaMu, jagalah dia dengan cinta.

Aku juga teringat papa. Sosok yang selalu kupuja itu membuat jemariku kaku. Entah harus berapa banyak ucapan terima kasih yang ingin aku ucapkan baginya. Dialah hidupku. Papa yang lucu, yang bijaksana, yang selalu bisa mendamaikan aku dengan saudara-saudariku, yang gemar merokok walaupun sejuta larangan gencar kami ucapkan. Aku merindukan pijitannya yang kerap kali ada waktu aku letih. Aku rindu merengek padanya, meminta sejumlah uang lagi untuk kebutuhanku yang tidak ada habisnya. Aku rindu menonton pertandingan sepakbola di tv bersama dia. Aku rindu semua tentangnya. Pada Tuhanku, aku meminta kebahagiaan untuk papa. Semoga masih ada cukup waktu bagiku membalas semua cintanya.

Saudara-saudariku yang kukasihi, Septyatha, Novitaria dan Leni Ariani. Pertengkaran demi pertengkaran selalu menyudutkan kami dalam sebuah bentuk persaudaraan yang tidak biasa. Aneh, kami sering sekali saling menghina, benci, marah pada satu sama lain. Tapi aku tidak pernah ingin mereka digantikan oleh siapapun manusia di dunia ini. Aku sesungguhnya mencintai mereka dengan sepenuh jiwa, keduanya adalah anugrah bagiku dan hidupku. Dalam doaku malam ini, kuinginkan mereka terus bersinar bagi satu sama lain. Kuinginkan yang terbaik untuk ketiganya.

Mereka, Elysabeth Simamora dan Depie Proveria. Sahabat terbaikku sepanjang lima tahun belakangan. Tiap air mata, tawa, yang selalu kubagi untuk kalian berdua. Pelukan yang aku perlukan, dukungan yang aku harapkan, cacian yang menyadarkan, senyum yang menandakan ketulusan, apapun bentuk sayang yang mereka beri bagi jiwa. Semua itu membuat aku tetap bernyawa saat ini, membuat aku merangkak naik dari jurang kekelaman yang kadang aku buat sendiri. Terima kasih telah menawarkan sebuah persahabatan yang tidak bisa tersaingi oleh apapun jenis materi. Kumohon Tuhan untuk memberikan curahan kasih bagi mereka, agar tetaplah mereka terus tersenyum dan berbahagia.

Lalu dia, yang begitu tega meninggalkan sebuah janji dan menutup akhir cerita. Dia yang tetap menjadi separuh jiwaku, yang dulu telah kutukar dari sebuah kesetiaan. Dia yang aku tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Dia yang membuatku menangisi malam-malamku selama 7 bulan ini dalam luka. Dia yang membuatku belajar untuk mencintai, juga disakiti. Doaku selalu sama, hingga tak perlu lagi kurangkai kata-kata baru untukNya. Telah kuhapal karena selalu mengalir dari mulutku. Semoga Tuhan menjaga setiap langkahmu, menjaga kesehatanmu, menjaga imanmu, menjaga rejekimu, juga menjaga cinta yang kutitipkan padamu. Namun di malam ini kusisipkan lagi sebaris doa. Semoga Tuhan melimpahi engkau kemudahan, mewujudkan setiap keinginan dan harapan yang engkau cita-citakan. Aku mengerti, kita telah menemukan jalan yang tidak lagi sama. Tapi sebuah cinta yang begitu dalam, tidak pernah menyisakan ruang bagi yang lain. Terima kasih untuk semuanya, setahun lebih yang begitu luar biasa.

Hari ini aku akan menutup usiaku yang ke 22. Aku akan menikmati setiap jengkal waktuku yang tersisa. Aku menghamburkan tangis sebisanya agar sepanjang hari ini akan menjadi sebuah kebahagiaan bagi diri. Tuhan yang maha baik, kumohon Engkau tetap mencintai aku dengan caraMu. Engkau tidak akan pernah meninggalkan aku, aku tahu. Semoga tetap yang terbaiklah yang aku terima dari kasihMu yang tak terhingga.

Di penghujung usiaku yang ke 22, aku mendaraskan janji-janji baru, membayangkan mimpi-mimpi baru, mengharapkan hidup yang baru, bagiku dan segenap jiwaku. Selamat ulang tahun bagi diriku sendiri, Lidya Agusfri. Tetaplah melangkah dengan senyum, kepedihan, kesendirian, kesepian, tawa ceria, kekonyolan, air mata, dan jiwa yang selalu rapuh namun hidup dan berwarna. Aku adalah aku, di usia 22 atau setahun lagi sesudahnya. Semoga berbahagia.

No comments: