Saturday, July 11, 2009

bibir bisu pantai biru...

Pada titik itu dia mendaratkan kedamaian luar biasa di balik hatiku. Sebuah senyum melintas darinya menghujam langsung ke dalam dada, tidak lagi bertumpu pada mata. Aku ingin melihat dia cukup dari titik itu, tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh. Aku cukup memantau dia melangkah anggun, menapaki setiap bebatuan dan menyapa gemerisik dedaunan. Dia akan tersenyum pada angin, pada matahari, pada beberapa serangga yang lalu lalang, bukan padaku.

Dengan pakaian serba putih, dia seolah bersinar diterpa cercah mentari. Apalagi di pagi hari seperti ini, aku tahu ke mana kakinya melangkah pergi. Tujuannya adalah sebuah pantai dengan pasir putih berteman ombak bergulung. Pantai itu adalah tempat pertemuan aku dengan dia pertama kalinya, kedua kalinya, ketiga kalinya, hingga sekarang. Tak terhitung jumlahnya hingga dua musim berlalu.

Keberadaanku bukan ingin mengusik raganya, apalagi hatinya. Aku hanya ingin menyapanya lewat momen ini. Dulu bayanganku pernah singgah, bersinggungan dengan tubuhnya yang kecil dan tampak lemah. Tapi cukup satu kali itu saja, ketika keberanianku memuncak tinggi hingga tanpa sadar kaki ini melangkah mendekati. Cinta ini hadir tanpa perlu sebuah absensi. Akan selalu ada sejak pertama pertemuan dimulai hingga segalanya terurai dan selesai. Tanpa perkenalan atau perpisahan.

Aku meminta pada langit untuk menaungi bidadari yang kini menghadap cakrawala. Jangan hujan, pintaku. Jangan biarkan dia basah dan resah kemudian berlalu pergi untuk berlindung di balik tempat tinggalnya yang entah ada di mana.

Di balik pondok berbilik bambu ini aku memandangmu, merekatkan setiap lekuk wajahmu dalam benak. Agar dapat kubayangkan lagi rambut-rambut yang berbaris rapi di atas matamu, melengkung sempurna. Agar dapat kuingat lagi senyum yang manis membingkai bibirmu, berwarna merah cerah. Malam ini aku akan melagukan semua, melantunkan melodi cinta yang cukup hanya aku pemiliknya. Tidak akan aku bagi dengan siapa pun, tidak juga bagi engkau.

Lalu kini kau berteriak, mengatakan pada laut bahwa kau sepi. Kau tersenyum pada mereka seakan mereka mendengar, seakan-akan mereka mengerti. Tapi aku tahu. Aku sangat tahu kesepian hatimu, bahkan waktu kau hanya terdiam, bahkan saat kau melayangkan sebuah senyuman. Aku mengerti kau butuh cinta. Aku mencintaimu, tapi tidak akan aku bagi saat ini. Mungkin tidak juga nanti.

Pakaian yang kau kenakan pagi ini mengembang diterjang angin. Ujung-ujungnya basah karena air laut dan kotor karena pasir. Bayanganmu membelakangi wajah yang kau tutupi dari aku, hanya kau perlihatkan pada pantai yang berdesah. Cintaku tumpah ruah. Menyirami buluh nadiku yang jumlahnya jutaan. Cinta itu terdesak hingga ke atas kepala, menyembunyikan otakku sehingga tidak dapat bekerja. Hanya ada rasa cinta yang terngiang dalam jiwa.

Pada karang besar berwarna kelabu kau bersandar. Mendaratkan tubuhmu yang terlihat lemah di atas sana. Karang itu tinggi dan sedikit terjal. Sesaat aku ingin memegang tanganmu, membantumu menaiki tebing sampai ke puncaknya. Sepuluh detik yang lalu aku ingin sekali berlari ke arahmu dan mengangkat tubuhmu. Tapi aku tidak mampu bergerak.

Dan sekarang aku melihat engkau berbaring menatap langit. Kau di sana tetap menikmati dunia dengan kesendirianmu, sama seperti aku yang menikmati cinta tanpa dibagi. Lagi-lagi kau hanya berteman pada pasir yang bernapas lewat lautnya, ombak yang bergerak lewat riaknya, dan pada langit yang bicara lewat warnanya, bukan dengan seorang manusia.

Tidak aku pertanyakan ke mana kau labuhkan hatimu yang lembut namun biru. Tiada pernah sedikit pun aku cemburu, lalu berlari menangkapmu. Aku inginkan kau bebas, tetap berlayar pada laut lepas. Kau bukanlah milikku siang ini, tidak sampai kemudian hari. Aku memiliki bayanganmu yang aku simpan dalam hati. Cukup. Meminta sepenggal perasaanmu aku tidak berani.

Entah mengapa aku merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau menghangatkan aku jauh lebih banyak daripada yang aku terima dari mentari. Perasaan itu menenangkan.

Aku hanya sanggup merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau mengindahkan duniaku jauh lebih cantik daripada ombak yang menari-nari pecah ketika sampai di pantai. Perasaan itu mendamaikan.

Aku akan selalu merindukanmu.
Kerinduanku pada engkau menyelamatkan aku dari derita jauh lebih baik daripada pelukan angin atau manusia. Perasaan itu mengamankan.

Teriakan hatiku akan kecintaan, kekaguman, kerinduan diriku akan kamu menjadikanku utuh. Engkau dan aku dalam benak, menyala tanpa sumbu, tidak kunjung padam. Kamu dan gaunmu. Kamu dan pantaimu. Kamu dan senyummu. Kamu dan kesendirianmu. Kamu dan biru hatimu. Kamu melengkapi aku.

Pada tepi pantai biru, dengan kebisuanmu, aku mencintaimu. Selalu.

-2 Juli 2009-

No comments: