Sunday, March 28, 2010

Tuhan, Aku Cinta Padamu

Aku lemas

Tapi berdaya

Aku tidak sambat rasa sakit

atau gatal

Aku pengin makan tajin

Aku tidak pernah sesak nafas

Tapi tubuhku tidak memuaskan

untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku

dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian

kepada Allah



Tuhan, aku cinta padamu

Rendra

(Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga Jakarta.)

Friday, March 5, 2010

Putri Sumpit

Di sebuah negri yang jauh, di balik pelangi yang bersemu warna kuning saja tanpa enam warna lainnya, di atas bukit yang berbentuk seperti jamur, dengan hutan berisi pohon-pohon bergantung terbalik dengan daun sebagai akar, dan akar sebagai pucuk dedaunan.

Negri yang jauh itu bernama Negri Sumpit. Ada sekitar lima ratus mahluk berwujud manis, memakai topi-topi kerucut di atas kepala mereka. Laki-laki dan perempuan dibedakan dengan warna. Para lelaki berwarna ungu cerah dan wanita berwarna merah muda. Pakaian mereka terbuat dari segitiga-segitiga kecil yang tertata rapi menjadi sehelai pakaian. Segitiga yang berwarna-warni, berkilauan ketika terkena cahaya matahari dan berpendar di kegelapan. Ujung kaki mereka runcing seperti moncong tikus, kecil dan tertutup sepatu dari kelopak teratai. Dan begian kepala. Bagian kepala mereka, adalah sumpit yang tertancap dengan manis di ubun-ubun, menjulang dari balik rambut dan topi para lelakinya.

Seorang raja yang memimpin Negri Sumpit memiliki sumpit kepala paling besar di antara semuanya. Tidak pernah seorang pun yang bisa menandingi kebijaksanaan raja. Raja sumpit sangat baik hati dan menyintai rakyatnya. Rakyat Negri Sumpit pun menghormati raja sehingga setiap bertemu raja, mereka memegang ujung kepala sumpit masing-masing dan berlutut di hadapannya.

Negri Sumpit sangat makmur. Penduduk negri ini memiliki keahlian khusus untuk membuat mie. Setiap perempuan, laki-laki, anak kecil, dan dewasa, mampu membuat mie yang sangat lezat. Kelezatan mie yang dibuat oleh Negri Sumpit terdengar sampai ke seluruh penjuru. Mereka membuat mie ayam, mie bakso, mie pangsit, mie telor, mie rasa pizza, mie rasa bbq, mie rasa jeruk, mie rasa coklat, dan berbagai macam mie. Setahun sekali, di penghujung musim hujan stroberi, mereka akan mengadakan festival mie. Setiap penduduk menyumbangkan mie buatan mereka untuk bisa dicoba oleh penduduk negri lain. Dan mie yang mereka sajikan tidak ada yang sama.

Selama sembilan bulan, ada sembilan musim hujan dengan hujan yang berbeda-beda. Irisan sosis, biji kopi, manik-manik, gula, susu, gelembung sabun, biji jagung, kelopak mawar, dan stoberi. Sebulan berikutnya adalah musim hujan air yang sangat basah kemudian dua bulan kemarau yang menguapkan semua tetesan hujan sehingga tanah mereka kering kembali.

Bulan ini adalah awal musim hujan kelopak mawar. Baru sedikit saja kelopak mawar yang turun. Semua penduduk sedang menghadapi kebingungan luar biasa karena kurang dari dua bulan mereka harus menyiapkan mie yang akan diikutkan ke festival. Tahun ini, beberapa di antara mereka sudah mengumumkan mie yang akan dibuat. Menu tersebut ditempelkan di depan rumah masing-masing, sehingga penduduk lain dapat melihat dan menentukan mie yang lain yang akan dibuat.

Di dalam istana raja, Sang Raja pun bingung. Tahun ini adalah tahun kelima festival tanpa ratu. Biasanya, Ratu lah yang akan meresmikan festival mie dengan mengangkat sepasang sumpit tinggi-tinggi lalu membunyikan lonceng dengan sumpit yang ada di kepalanya. Ratu sumpit sudah tiada karena sakit dan meninggalkan raja dengan seorang putri saja. Putrinya kini sudah berusia dewasa, dan Raja sangat ingin mencarikan pasangan untuknya supaya kelak mereka bisa meneruskan memimpin kerajaan. Seharusnya tidak ada tahun keenam festival mie tanpa seorang ratu. Seharusnya tahun depan, putrinya sudah bisa meresmikan festival dengan membunyikan lonceng menggunakan sumpit di kepalanya yang berbentuk sangat cantik.

Putri sumpit memiliki nama, Raisha Sumpitfri. Putri Raisha sangat anggun. Sumpit di atas kepalanya memiliki ukiran yang indah. Selain cantik, putri juga cerdas. Putri selalu bisa memasak mie dalam waktu sangat singkat dan enak sekali rasanya. Tahun ini putri belum menyiapkan resep untuk festival bulan depan. Di tengah kebingungannya, putri menemui raja yang sedang bersusah hati.

"Ayahanda, aku tidak tahu harus membuat mie apalagi tahun ini. Apakah Ayah bisa memberikan ide untukku?" Katanya menghampiri Raja di singgasana.

"Oh, putriku yang cantik dan bersumpit indah. Ayahanda sedang tidak bisa memberikan ide kepadamu. Sesungguhnya Ayah pun bingung dan memiliki pikiran yang mengganggu saat ini."

"Katakan kepadaku, Ayah. Apakah gerangan kebingungan Ayah itu? Aku siap membantu Ayah untuk menghadapi masalah apapun."

Lalu Raja menggenggam tangan sang putri dan menceritakan semua keluh kesahnya. Putri Raisha terkejut, tidak menyangka bahwa Raja ingin mencarikannya seorang pasangan. Putri pun ikut bingung, karena ingin membahagiakan ayahnya. Tapi putri tidak pernah jatuh hati kepada lelaki manapun di negri itu. Sang putri setiap hari hanya belajar teknik memasak mie yang baru, belajar melukis, menyanyi, bermain alat musik, berpuisi, dan membantu Raja mengawai Negri Sumpit.

Putri memikirkan matang-matang rencana Sang Raja dan memutuskan untuk bersedia dipasangkan dengan calon pilihan ayahnya. Sore hari cerah, setelah hujan kelopak mawar sebentar, Putri Raisha lalu berjalan-jalan keliling Negri Sumpit sendirian. Ia terus menelusuri sungai mentega dengan pikiran yang meliar. Tanpa disangka, Putri sudah melewati batas Negri Sumpit dan tersesat di dalam hutan. Tidak lama lagi, matahari akan tenggelam dan malam pun segera tiba.

Putri terus melangkah hati-hati setelah sadar telah tersesat. Burung-burung hutan yang bersayap kelopak bunga lili melintas di atas hutan. Suara bambi yang mendengkur terdengar makin jelas. Laba-laba hutan yang membentuk jaring perak tersebar di pohon-pohon terbalik raksasa. Putri terus melangkah dan melangkah mencari jalan pulang tapi terus semakin tersesat menjauh dari negrinya. Teriakan putri hanya bergaung dan menggema di dalam hutan. Malam pun turun. Putri merasa sangat lelah dan berhenti di bawah salah satu pohon terbalik. Ia duduk di sana dan menangis. Ia menangis dan terus menangis hingga tertidur.

--
Sebagian dongeng yang belum selesai
Tj.Duren, 7 Maret 2010

Thursday, March 4, 2010

Saya, Toilet, Menjelang Malam

Keram. Toilet jongkok ini membuat saya susah konsentrasi. Harusnya ada niat yang sangat mendesak untuk saya bisa meluruhkan semua sisa makanan yang tidak habis dicerna perut. Tapi niat itu dihalangi, ditekan sampai sedalam-dalamnya sehingga mereka tidak mau keluar. Malu mungkin. Malu pada toilet jongkok yang jarang disikat. Malu pada cermin usang yang sudah tidak bisa dipakai berkaca. Perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) saya mungkin sudah terbiasa dengan tempat yang terang-benderang, bukan yang gelap karena bohlam kekuningan yang tidak bercahaya sepenuhnya.

Ada-ada saja. Bahkan perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) saya mulai memanja. Ada peluh yang mengalir deras melewati dahi dan turun ke pipi. Saya usap dengan sedikit terengah. Saya lelah. Bahkan untuk buang air saja, saya merasa harus kerja keras sampai begini. Mungkin ada baiknya juga, supaya perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan) yang saya punya bisa belajar hidup susah. Selama ini mereka hanya dijalankan oleh otak saya yang pemalas. Selama ini mereka 'nemplok' begitu saja. Begitu mereka teriak sakit dan berhasrat untuk buang air, saya langsung ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian, tuntaslah sudah. Sakit itu tidak berlangsung lama, kecuali si perut dan sistem pencernaan saya mengalami gangguan, terjangkit kuman, atau si maag yang hobi bercokol kalau saya kebanyakan minum kopi atau terlambat makan sedikit saja.

Sekarang rasakan. Rasakan kalian, perut dan sistem pencernaan (termasuk pembuangan)! Biar kalian bisa mengerti, menahan sedikit sakit dan kotoran itu mengendap sebentar. Supaya tak sering-sering kalian menyusahkan. Supaya makin naik tingkatlah kalian. Supaya nanti, lain kali, tidak ada lagi penolakan untuk segala jenis toilet jongkok, kamar mandi sempit, cahaya remang-remang, kotornya lantai, dan lain lagi, dan macam-macam lagi.

Menjelang malam, saya dan toilet jongkok beraksi, memberi pelajaran pada kalian si perut yang susah diajak kompromi dan tidak mau diikutkan dalam mediasi.

--
In the middle of stomachache
H.Syahrin no. 16

Wednesday, March 3, 2010

Sore Hari di Suatu Hari

Cafe ini lengang. Belum tampak kerumunan orang yang sibuk mengatur nafas dan memburu udara setelah lelah bekerja. Baru ada saya, dan segelintir manusia yang berpakaian santai, tanpa blazer dan sepatu pantofel. Saya dan segelas ice chocco latte. Terjebak dalam bising jalanan yang mulai padat dan tontonan berita yang tak henti-henti mengulas keributan di gedung pimpinan rakyat.

Sebuah asbak dengan dua puntung rokok bekas isap terdampar di atas meja. Mereka sudah dipakai habis sampai ke ujungnya oleh salah satu rekan kerja saya. Dua jam yang lalu, saya masih berkutat dengan meeting dan obrolan penting seputar kerja. Saya, rekan, dan atasan. Kami bertiga putar otak supaya semua bisa dibereskan. Segera! Dalam hitungan hari saja, saya harus menyelesaikan pekerjaan ini supaya kami bisa lebih lega tanpa kejaran hutang kerjaan. Mendadak, sebuah keinginan bersantai lenyap. Saya harus menuntaskan ini. Pasti!

Melirik sebuah mobil kecil, khas city car sekali, berwarna kuning, yang baru saja meluncur di jalanan sebelah saya membuat saya ingin cepat pulang. Saya ingin loncat ke dalamnya, ikut menumpang sampai ke arah peristirahatan. Rumah kecil yang jarang saya tinggali, karena saya lebih banyak tinggal di beberapa tempat seperti kutu. Pindah sana dan pindah sini. Tapi saya merasa malam ini saya harus pulang. Ada kamar yang sudah pasti berdebu karena saya selalu kabur dari situ. Ada meja yang harus saya bereskan dari tumpukan kertas berantakan. Ada pakaian kotor yang mungkin tidak sempat saya masukan ke cucian. Terlebih lagi, ada seorang sahabat lama, seorang teman yang saya lupakan. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri dan pekerjaan.

Sore hari ini, dengan sengatan matahari yang sama panas seperti siang, saya sangat ingin pulang. Saya ingin menghabiskan waktu di depot ayam goreng kecil di dekat sana. Saya ingin bercerita ngalor-ngidul dengan sahabat saya. Ya, sahabat yang saya tadi ceritakan sebelumnya. Dia yang tinggal sebelah kamar dengan saya. Saya ingin mandi, menggosok semua permukaan kulit dan membersihkan semua. Saya ingin menikmati malam-malam sendirian di depan rumah, mendengarkan sepi yang sungguh sepi.

Baru saja, seorang lelaki perpakaian perlente dan sepatu kulit mengilap duduk di meja sebelah. Hampir yakin, saya bisa menebak bahwa dia adalah salah seorang karyawan kantoran yang baru pulang bekerja. Dia melihat-lihat buku menu dan membaca dengan serius seperti mempelajari buku sekolah. Aneh rasanya, karena dia memakai kacamata yang melorot terlalu jauh dari pangkal matanya. Saya diam saja, memperhatikan diam-diam, melanjutkan bercerita dalam diam, dan akhirnya dia melihat saya. Sebuah tatapan yang membingungkan, karena saya seperti ditegur (disapa) dalam tatapan itu. Serba salah, saya meneliti lagi penampilan mulai dari kepala hingga kaki. Tampaknya tidak ada yang mengganggu. Ya, kecuali kesendirian saya di sini ditemani segelas ice chocco latte dan laptop MAC ini. Kesendirian yang sama dengannya bukan? Dia pun hanya ditemani oleh sebuah laptop hitamnya. Mungkin dia merasa, kami bernasip sama. Kami terjebak dalam sore hari kota Jakarta yang mulai padat di kawasan selatan. Saya menunduk dan melanjutkan mengetik saja. Dia tersenyum.

Ingin saya cepat-cepat menutup laptop dan menuntaskan pekerjaan saya ini. Tapi membongkar kembali file-file sebulan yang lalu berikut email yang berkaitan dengan pekerjaan itu tidak semudah yang saya perkirakan. Saya ingin bisa pulang dengan lega, tanpa himpitan utang kerjaan. Baiklah. Sore hari ini, saya selesaikan semuanya.

Jakarta, dengan riuh rendah suaranya masih menemani saya menulis dan bercerita. Masih memaksa saya untuk segera bergegas pulang dari sini. Sore hari ini, di sebuah hari yang biasa saja, di tengah cafe yang mulai padat pengunjung. Sore hari di suatu hari saya telah bercerita.

--
Kemang,
3 Maret 2010

Tuesday, March 2, 2010

Hujan Bulan Maret

Bukan bermaksud menyama-samakan judul tulisan ini dengan judul tulisan salah satu guru menulisku yang bicara soal "Hujan Bulan Juni". Saya hanya ingin bercerita sedikit saja mengenai betapa hujannya hari ini, sebuah hujan di awal bulan Maret.

Hujan di bulan Maret tentunya biasa-biasa saja. Tapi hujan kali ini membasahi bukan hanya pakaian putih dan sehelai pasminah, tapi membanjiri seluruh isi kepala. Hujan yang langka, karena beruraian deras, sempat berhenti, lalu meluncur kembali ke atas bumi. Ada wajah-wajah yang melirik padaku. Wajah yang sumringah, wajah yang sudah terlupa, wajah yang tak pernah dikenal, dan wajah yang tak pernah tersapa. Ada kamu, sebagian besar teman-temanku, sedikit masa lalu, orangtua, saudara, tetangga, dan Tuhan saya.

Siapa?

Siapa Tuhan saya itu?

Mana?

Di mana Dia muncul dan hilang, datang, dan berlalu pergi?

Saya juga bertanya-tanya. Di mana kira-kira Beliau menyembunyikan diri-Nya. Selama ini saya meraba saja, mencari pijakan kaki yang kira-kira pantas untuk saya injak dan tempati. Bukan di sini. Saya merasa lebih bersalah lagi setelah wajah Tuhan yang tak berwujud itu menghilang, berganti dengan sebuah wajah dari masa lalu (yang tentu saja saya anggap berakhir kelam).

Tuhan, maaf.

Bukan Tuhan yang saya ingin lupakan. Justru orang itu. Dia yang mencintai hujan sama seperti aku mengasihi setiap titik air yang jatuh ke tanah. Saya juga ingin menyentuh hujan, seperti dia yang bersahabat dengan laut.

Awal bulan ini, dengan sentuhan hujan yang malas berhenti membuat saya kedip-kedip. Rentetan utang yang membebani, waktu yang seolah tidak pernah cukup, pekerjaan yang menumpuk, kesendirian yang tidak mau beranjak, liburan yang cepat sekali selesai. Semua keengganan itu membuat mata dan hati saya meloncat, melonjak, guling-guling, koprol dan kalau bisa sekalian hand stand dengan sendirinya. Lelahkah saya? Sampai kapan saya akan terus mengambang di batas kewarasan dan jurang kegilaan?

Saya tahu, bukan karena dia. Saya menjerumuskan diri sendiri saja.

Lalu Tuhan dalam titik air hujan yang sudah menggenang di belakang sofa membuat saya berpikir ulang. Sanggupkah sekali lagi aku menyapa-Mu di atas sajadah? Perbincangan tentang Engkau dengan seorang teman disore hari ini alot dan seru, setidaknya dalam hatiku. Lalu mengapa sekali lagi rasa haru menyeruak ketika saya mengatakan sebuah kata itu? Membayangkan saya berserah pasrah dalam sujud, saya menggigit bibir keras-keras. Masih berbekas lukanya sampai sekarang. Tapi luka di hati saya bisa lebih lama sembuh. Karena saya lari dari cinta-Mu. Sekali lagi, maafkan Tuhan.

Dan kesempatan itu datang. Saya mencari sebanyak-banyaknya, menggali ingatan, mencoba mengulangi, dan akhirnya melakukannya. Bertemukah saya dengan Ia? Tidak, belum sempat. Saya gagal kali ini. Tapi saya pasrah, bukan Ia yang tak mau menemui. Saya tahu. Saya sangat mengerti, Ia bisa saya temui dalam wujud apa saja kapan saja. Dari sehelai sajadah, dari lantunan doa, dari syair, bahkan dari hujan. Ia selalu bisa mengetuk hatiku dan membuat saya mengatakan, "ampuni aku ya, Tuhan".

Hujan bulan Maret. Perjalanan tiada ujung. Awal pencarian ulangku. Akhir penantianku tentang kamu. Hujan yang deras yang akan teringat, kapan, di mana, seperti apa, bagaimana dinginnya, betapa malasnya, dengan siapa bersua, dan kepada siapa hamba berserah nantinya.

Saya tidak akan lagi menangisi kamu. Saya berhenti memujamu.

Selamat datang Maretku, dan selamat tinggal hujanmu.

Terselip di gigi, sebuah kalimat terakhir yg ingin diucapkan,"Apa kabar Tuhan? Aku lega, terbebas darinya".

--
In the middle of peace
Jakarta, 1 Maret 2010