Tuesday, March 2, 2010

Hujan Bulan Maret

Bukan bermaksud menyama-samakan judul tulisan ini dengan judul tulisan salah satu guru menulisku yang bicara soal "Hujan Bulan Juni". Saya hanya ingin bercerita sedikit saja mengenai betapa hujannya hari ini, sebuah hujan di awal bulan Maret.

Hujan di bulan Maret tentunya biasa-biasa saja. Tapi hujan kali ini membasahi bukan hanya pakaian putih dan sehelai pasminah, tapi membanjiri seluruh isi kepala. Hujan yang langka, karena beruraian deras, sempat berhenti, lalu meluncur kembali ke atas bumi. Ada wajah-wajah yang melirik padaku. Wajah yang sumringah, wajah yang sudah terlupa, wajah yang tak pernah dikenal, dan wajah yang tak pernah tersapa. Ada kamu, sebagian besar teman-temanku, sedikit masa lalu, orangtua, saudara, tetangga, dan Tuhan saya.

Siapa?

Siapa Tuhan saya itu?

Mana?

Di mana Dia muncul dan hilang, datang, dan berlalu pergi?

Saya juga bertanya-tanya. Di mana kira-kira Beliau menyembunyikan diri-Nya. Selama ini saya meraba saja, mencari pijakan kaki yang kira-kira pantas untuk saya injak dan tempati. Bukan di sini. Saya merasa lebih bersalah lagi setelah wajah Tuhan yang tak berwujud itu menghilang, berganti dengan sebuah wajah dari masa lalu (yang tentu saja saya anggap berakhir kelam).

Tuhan, maaf.

Bukan Tuhan yang saya ingin lupakan. Justru orang itu. Dia yang mencintai hujan sama seperti aku mengasihi setiap titik air yang jatuh ke tanah. Saya juga ingin menyentuh hujan, seperti dia yang bersahabat dengan laut.

Awal bulan ini, dengan sentuhan hujan yang malas berhenti membuat saya kedip-kedip. Rentetan utang yang membebani, waktu yang seolah tidak pernah cukup, pekerjaan yang menumpuk, kesendirian yang tidak mau beranjak, liburan yang cepat sekali selesai. Semua keengganan itu membuat mata dan hati saya meloncat, melonjak, guling-guling, koprol dan kalau bisa sekalian hand stand dengan sendirinya. Lelahkah saya? Sampai kapan saya akan terus mengambang di batas kewarasan dan jurang kegilaan?

Saya tahu, bukan karena dia. Saya menjerumuskan diri sendiri saja.

Lalu Tuhan dalam titik air hujan yang sudah menggenang di belakang sofa membuat saya berpikir ulang. Sanggupkah sekali lagi aku menyapa-Mu di atas sajadah? Perbincangan tentang Engkau dengan seorang teman disore hari ini alot dan seru, setidaknya dalam hatiku. Lalu mengapa sekali lagi rasa haru menyeruak ketika saya mengatakan sebuah kata itu? Membayangkan saya berserah pasrah dalam sujud, saya menggigit bibir keras-keras. Masih berbekas lukanya sampai sekarang. Tapi luka di hati saya bisa lebih lama sembuh. Karena saya lari dari cinta-Mu. Sekali lagi, maafkan Tuhan.

Dan kesempatan itu datang. Saya mencari sebanyak-banyaknya, menggali ingatan, mencoba mengulangi, dan akhirnya melakukannya. Bertemukah saya dengan Ia? Tidak, belum sempat. Saya gagal kali ini. Tapi saya pasrah, bukan Ia yang tak mau menemui. Saya tahu. Saya sangat mengerti, Ia bisa saya temui dalam wujud apa saja kapan saja. Dari sehelai sajadah, dari lantunan doa, dari syair, bahkan dari hujan. Ia selalu bisa mengetuk hatiku dan membuat saya mengatakan, "ampuni aku ya, Tuhan".

Hujan bulan Maret. Perjalanan tiada ujung. Awal pencarian ulangku. Akhir penantianku tentang kamu. Hujan yang deras yang akan teringat, kapan, di mana, seperti apa, bagaimana dinginnya, betapa malasnya, dengan siapa bersua, dan kepada siapa hamba berserah nantinya.

Saya tidak akan lagi menangisi kamu. Saya berhenti memujamu.

Selamat datang Maretku, dan selamat tinggal hujanmu.

Terselip di gigi, sebuah kalimat terakhir yg ingin diucapkan,"Apa kabar Tuhan? Aku lega, terbebas darinya".

--
In the middle of peace
Jakarta, 1 Maret 2010

No comments: