Wednesday, March 3, 2010

Sore Hari di Suatu Hari

Cafe ini lengang. Belum tampak kerumunan orang yang sibuk mengatur nafas dan memburu udara setelah lelah bekerja. Baru ada saya, dan segelintir manusia yang berpakaian santai, tanpa blazer dan sepatu pantofel. Saya dan segelas ice chocco latte. Terjebak dalam bising jalanan yang mulai padat dan tontonan berita yang tak henti-henti mengulas keributan di gedung pimpinan rakyat.

Sebuah asbak dengan dua puntung rokok bekas isap terdampar di atas meja. Mereka sudah dipakai habis sampai ke ujungnya oleh salah satu rekan kerja saya. Dua jam yang lalu, saya masih berkutat dengan meeting dan obrolan penting seputar kerja. Saya, rekan, dan atasan. Kami bertiga putar otak supaya semua bisa dibereskan. Segera! Dalam hitungan hari saja, saya harus menyelesaikan pekerjaan ini supaya kami bisa lebih lega tanpa kejaran hutang kerjaan. Mendadak, sebuah keinginan bersantai lenyap. Saya harus menuntaskan ini. Pasti!

Melirik sebuah mobil kecil, khas city car sekali, berwarna kuning, yang baru saja meluncur di jalanan sebelah saya membuat saya ingin cepat pulang. Saya ingin loncat ke dalamnya, ikut menumpang sampai ke arah peristirahatan. Rumah kecil yang jarang saya tinggali, karena saya lebih banyak tinggal di beberapa tempat seperti kutu. Pindah sana dan pindah sini. Tapi saya merasa malam ini saya harus pulang. Ada kamar yang sudah pasti berdebu karena saya selalu kabur dari situ. Ada meja yang harus saya bereskan dari tumpukan kertas berantakan. Ada pakaian kotor yang mungkin tidak sempat saya masukan ke cucian. Terlebih lagi, ada seorang sahabat lama, seorang teman yang saya lupakan. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri dan pekerjaan.

Sore hari ini, dengan sengatan matahari yang sama panas seperti siang, saya sangat ingin pulang. Saya ingin menghabiskan waktu di depot ayam goreng kecil di dekat sana. Saya ingin bercerita ngalor-ngidul dengan sahabat saya. Ya, sahabat yang saya tadi ceritakan sebelumnya. Dia yang tinggal sebelah kamar dengan saya. Saya ingin mandi, menggosok semua permukaan kulit dan membersihkan semua. Saya ingin menikmati malam-malam sendirian di depan rumah, mendengarkan sepi yang sungguh sepi.

Baru saja, seorang lelaki perpakaian perlente dan sepatu kulit mengilap duduk di meja sebelah. Hampir yakin, saya bisa menebak bahwa dia adalah salah seorang karyawan kantoran yang baru pulang bekerja. Dia melihat-lihat buku menu dan membaca dengan serius seperti mempelajari buku sekolah. Aneh rasanya, karena dia memakai kacamata yang melorot terlalu jauh dari pangkal matanya. Saya diam saja, memperhatikan diam-diam, melanjutkan bercerita dalam diam, dan akhirnya dia melihat saya. Sebuah tatapan yang membingungkan, karena saya seperti ditegur (disapa) dalam tatapan itu. Serba salah, saya meneliti lagi penampilan mulai dari kepala hingga kaki. Tampaknya tidak ada yang mengganggu. Ya, kecuali kesendirian saya di sini ditemani segelas ice chocco latte dan laptop MAC ini. Kesendirian yang sama dengannya bukan? Dia pun hanya ditemani oleh sebuah laptop hitamnya. Mungkin dia merasa, kami bernasip sama. Kami terjebak dalam sore hari kota Jakarta yang mulai padat di kawasan selatan. Saya menunduk dan melanjutkan mengetik saja. Dia tersenyum.

Ingin saya cepat-cepat menutup laptop dan menuntaskan pekerjaan saya ini. Tapi membongkar kembali file-file sebulan yang lalu berikut email yang berkaitan dengan pekerjaan itu tidak semudah yang saya perkirakan. Saya ingin bisa pulang dengan lega, tanpa himpitan utang kerjaan. Baiklah. Sore hari ini, saya selesaikan semuanya.

Jakarta, dengan riuh rendah suaranya masih menemani saya menulis dan bercerita. Masih memaksa saya untuk segera bergegas pulang dari sini. Sore hari ini, di sebuah hari yang biasa saja, di tengah cafe yang mulai padat pengunjung. Sore hari di suatu hari saya telah bercerita.

--
Kemang,
3 Maret 2010

No comments: