Wednesday, August 4, 2010

Sepenggal Kisah Bumi

Paru-parunya dipaksa bekerja. Darah memompa jantungnya yang berdegup kencang, mengikat oksigen, mengantarkan pada otot yang lelah dan kencang. Ia terus berlari, mengerahkan separuh lagi kemampuannya untuk bisa berpikir. Langkah-langkah panjang yang tersaruk-maruk di rerumputan menggores kaki hingga betis.

Dalam pikirannya hanya satu, bumi yang dipijaknya masih kokoh berdiri. Tapi penopang langitnya sudah rapuh. Ia tidak ingin tersia-sia, menjadi bumi tanpa langit. Ia tidak mau berdusta pada dunia, bahwa bumi bisa sendiri.Ia masih ingin langitnya ada, bersandar pada punggungnya walaupun tak lagi kekar seperti sedia.

Ia hanya lelaki. Dan cintanya sudah mulai teradu pada keadaan yang pilu.

Matahari sudah siap tampil. Fajar bergegas menjemput empunya dunia, sang cahaya yang garang. Dedaunan menegakkan tubuhnya. Embun bergulir sementara bunga tergelitik mekar. Di ufuk timur yang jauh, pagi merayap. Senyap.

Bumi terus berlari.

Di ujung jemarinya yang tergenggam, masih ada sejumput cinta yang ia punya. Di ujung bibirnya yang menghitam, masih ada kata maaf yang belum sempat tersampaikan. Dan sekali lagi, ia tidak ingin terlambat mengotori batinnya. Selamanya dia tidak akan bisa memaafkan diri sendiri. Bumi lambat laun juga mati, jika langitnya luluh runtuh.

Tiang-tiang bambu terpancang di depan rumah usang dengan balutan warna suram, sebelum fajar menyongsong pagi. Gulita dan senyap mengendap-endap dari tanah hingga atap. Tak jauh dari situ, lantai keramik usang dan dinding batu yang beku cuma terdiam. Menatap tanpa berani bicara, darah-darah yang terurai. Bumi tak tahu. Ia belum tahu.

Di sisi langit yang sama, cintanya tak pernah menua. Tak seperti kayu dan keramik dan batu dan rumah itu. Langitnya dan cintanya.

Bumi tergetar. Rasa sesak menggoncangnya hingga ke ujung nadi. Di hadapan tiang-tiang bambu, ia bersimpuh. Menatap nanar langitnya yang tak mau lagi mengarak biru. Ada darah menggenang pada langitnya. Juga air mata. Diujung jarinya yang tergenggam, cintanya memuai. Melayang di udara. Di ujung bibirnya yang menghitam, maafnya terurai. Hilang begitu saja.

Tak sempat terucapkan cinta pada langit sekali lagi. Sejak minggu lalu, langitnya yang dulu teduh, tertutup awan hitam pekat. Sejak minggu lalu, bumi tak peduli langitnya menangis curah hujan yang tak henti. Rahim langit ternodai oleh seorang lelaki. Ia tak sudi. Tadinya. Dan kini ia tak peduli. Bumi hanya ingin langitnya kembali.

Pada kemarik usang dan dinding batu yang bisu, bumi menghempaskan sesalnya yang dalam. Tak lagi bisa dirasakannya ototnya yang mengencang atau napasnya yang menggebu. Ia luruh. Terlambat yang amat menyakitkan. Ia tak dapat lagi berdiri.

"Aku terlambat. Sekali lagi maaf," Kata-katanya bergulir bersama deru deritanya. Keramik usang dan dinding batu mulai berkaca-kaca. Mereka menitikkan air mata. Pada cinta yang teramat dalam, mereka salahkan semua.

"Tunggu aku," terakhir kali ucapnya.

Lalu pisau yang yang membelah langit, direnggutnya. Bumi menghujam dada dan terkulai.

Tepat luruh. Bumi itu.

--
Lanjutan cerita dari Sepenggal Kisah Langit yg terbengkalai lama. Sila liat linknya...
http://salamlangituntukbumi.blogspot.com/2010/01/sepenggal-kisah-langit.html

Jakarta, 19 Agustus 2010

No comments: