Tuesday, February 17, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 2

Lea membaringkan tubuhnya ke bumi, melayangkan pandang jauh ke atas langit. Aku mengikuti gerakannya, turut membawa raga yang rapuh di sebelahku untuk menikmati tiduran di atas rumput. Dinda terbaring dengan nafas yang terputus-putus. Rambutnya terurai, tergerai bagaikan sehelai kain hitam legam di atas hijau permadani. Kontras, seperti hati dan hidupnya.

Tawa itu pertama kali meledak keluar dari seorang Maia. Terbahak-bahaklah dia sampai berguncang seluruh badannya, mengoyakkan kekauan kembali pada asalnya yang penuh warna.

“Aku gak ngerti. Kenapa Dinda jadi aneh? Baru saja kemarin dia menasehati aku panjang lebar soal cinta pada bayangan. Sekarang semua orang menasehati dia untuk tegar. Dinda… Dinda…,” ujarnya sambil menahan tawa yang tersisa.
“Aku juga pernah dinasehati masalah yang sama. Kan kalian tahu persis apa yang aku jalani bersama Bams. Aku capek ngomongin masalah itu. Aku masih ingin di situ,” Ayu menimpali.
“Iya, bener banget. Aku juga dinasehatin dia tuh kemarin. Dia bilang ‘gak boleh gini’, ‘gak boleh gitu’, ‘harusnya kamu seperti ini’. Ah, Dinda. Aku jadi pengen ketawa juga,” sahut Lea.

Kerumunan manusia itu lalu tersedak. Justru Dinda lah yang pertama kali menggelegarkan suara terbahak. Ayu masih terdiam sejenak karena sedikit bingung, lalu mulai tertawa sampai tidak bisa berhenti. Maklum, otaknya memang lemah menangkap hal-hal kurang penting terkadang. Tapi begitu dia tahu, biasanya dia yang paling terlambat juga menyadari bahwa hal yang dibicarakan sudah berlalu dan dia masih di frekuensi otak yang sama.

Aku belakangan tertawa karena semua melakukannya. Entah ini adalah reaksi mabuk kami, atau memang itu hal yang kocak. Reaksi mabuk ini pun tidak adil. Bila mereka bisa lepas tertawa, mengapa aku lalu mengharu biru? Perasaanku tetap sama. Kosong.

Hatiku seakan diremas begitu erat, aku sulit bernapas. Udara yang segar mengayun di depan hidung, menunggu untuk diraup. Tapi begitu sulit aku atur oksigen yang paru-paruku harapkan akan masuk. Dalam hati aku bertanya, ‘ masihkah aku menunggu dia?”

Dinda, Rena, Sita, Lea, Maia, dan Ayu adalah perempuan-perempuan yang pernah menderita karena cinta. Beberapa dari kami bahkan masih tidak bisa menolak cinta yang tidak pernah diinginkan itu datang dan tetap tinggal. Kami malas untuk beralih dan mencari. Benar apa yang dikatakan Sita. Kami bukanlah manusia bodoh, tapi kami tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Aku ralat, tidak mau bukannya tidak bisa.

Baru dua hari yang lalu Dinda menawarkan perpisahan yang berat dari Leo. Leo adalah seorang lelaki yang hampir menikah, karena janji orang tuanya kepada rekan bisnis ayahnya. Leo yang dipacari diam-diam selama lebih dari dua tahun yang lalu. Leo yang teratur, beda dengan Dinda yang sembarangan. Leo yang penyayang, jauh lebih daripada Dinda yang seorang perempuan. Leo yang akhirnya tidak sanggup menolak keinginan orang tuanya dibandingkan cintanya pada Dinda.

Rena adalah wanita yang disukai oleh semua pria, tetapi malah bertekuk lutut pada seorang lelaki hampir paruh baya. Lelaki yang memiliki dua anak dan sudah menikah belasan tahun. Lelaki yang namanya sangat keramat untuk disebut, bahkan oleh Rena. Dia selalu menyebutnya Abang, karena tidak ingin status si Abang yang cukup terkenal itu lalu hancur dan rusak oleh Rena. Aku tahu dia, tak sengaja bertemu ketika aku mampir ke rumah Rena. Tapi aku cukup tahu diri, aku menyingkir dan menutup mulut rapat-rapat.

Lain lagi Sita. Dialah yang kena batunya dari mahluk turunan Adam. Sudah dua tahun dia bertunangan dengan Rama, sampai akhirnya dia tahu bahwa Rama sudah memiliki pacar simpanan yang belakangan Sita tau juga ditunanginya. Hampir satu bulan aku sampai harus menemaninya tidur karena dia sedikit tertekan. Aku dan dialah yang tidak sengaja menemukan tempat ini ketika aku menemaninya keliling kota saat dia kumat susah tidurnya.

Hati kami mungkin memiliki struktur yang serupa, merasakan hiruk pikuk dunia yang berwarna sama. Kadnag-kadang kami sendiri bingung ketika masalah yang menerpa kami berbenang merah, menghubungkan kami dalam duka yang sama juga. Aku dan mereka.

Cerita-cerita tentang cinta yang kami jalani, membawa kami kepada dataran ini, tempat kami bisa berbagi. Pada rumput kami tumpahkan kekesalan dan pada langit kami teriakkan kesakitan. Cintalah satu-satunya yang membuat kami gila, menghamba pada minuman setiap malam Minggu. Cintalah yang menjadikan kami keras seperti karang, tetapi juga terlalu lemah seperti tahu. Ya, tahu. Tahu putih yang rapuh, menjadi kekuningan ketika terlalu lama disimpan. Tidak berguna jika tidak pernah diolah.

Ketika cerita cinta terurai dalam ayunan malam, kami sisakan sedikit untuk dibagi dengan diri sendiri. Hati kami sebenarnya tidak benar-benar kering, hanya lembab karena buliran kasih perlahan-lahan tidak lagi disimpan, menghilang pelan-pelan. Cukup sudah. Kami akhirnya satu-persatu tumbang, menyatakan kekalahan untuk saat ini, berjuang untuk bangkit kembali.

(bersambung lagi,,,)

No comments: