Friday, February 27, 2009

permintaan sederhana... (sebuah surat untuk saudariku)

Setiap orang di dunia memiliki peran masing-masing. Saya menikmati peran yang saya lakoni, apapun itu. Sebagai seorang anak, adik, kakak, sahabat, teman main, kekasih gelap, pencinta dan yang dicinta, seseorang yang dianggap buruk, seseorang yang dianggap malaikat, seseorang yang apa adanya, dsb.

Ketika peran itu harus berganti setiap menit atau bahkan detik, saya pun menyadari betapa cepat kita berubah dari malaikat menjadi penjahat. Ketika kita dianggap sebagai orang yang iri terhadap kebahagiaan orang lain, padahal kita hanya ingin menyelamatkan jiwanya yang rapuh dan kewarasannya yang tinggal setengah. Atau ketika kita dianggap sebagai penghasut, padahal kita hanya berusaha menjadi jujur dan mengungkapkan fakta. Serba salah juga ketika peran itu tidak pas, tidak cocok antara yang terdapat pada naskah saya dengan orang lain. Terasa tidak bisa disambung-sambungkan, terutama dengan lawan main yang angkuh dan sulit menyimak.

Saya pikir, saya juga sempat jatuh dan dikuatkan. Inilah kekurangan saya juga, ketika harusnya menguatkan justru malah saya menjadi lemah. Harusnya sedikit tutup mata dan telinga, menahan air mata supaya tidak meleleh dan berkata sekeras-kerasnya. Tapi apa daya ketika orang yang kita sayang mengiba pada kita? Dan sekarang, sudah lupalah dia apa saja yang dia katakan dan ketika dia memohon-mohon aku untuk lakukan permintaannya. Saya salah lagi. Salah langkah lagi.

Saya hanya mengungkapkan kebencian pada dia, tetapi ternyata kamu menuntut sebuah alasan. Tidak ada yang bisa aku kemukakan. Rasanya sama seperti benci melihat kucing yang wajahnya kadang-kadang menyebalkan atau benci melihat baju yang harus dipakai hari itu ternyata terlipat kusut dan tidak bisa dipakai. Hanya sebuah benci yang sulit untuk dicari pangkalnya, tiba-tiba saja menjadi tidak suka. Mungkin karena dia adalah gender yang mulai aku tidak sukai. Entah apa alasannya.

Aku memang masih bisa bermanis manja pada lelaki. Aku raup kepuasan dari sebuah kasih sayang yang tulus, tanpa tuntutan. Inilah peran yang ingin aku mainkan, sedikit mengesampingkan kebencianku pada lelaki. Mungkin memang karena aku pernah tersakiti, tapi bukan karena perlakuan yang aku terima dengan yang kau terima tidak sama. Berpikirlah bijaksana! Aku justru bahagia dengan perlakuan yang aku dapatkan, tanpa penjelasan aku dicampakkan. Memang itulah jalannya, bukan berarti aku tidak dipertahankan. Memangnya kenapa dengan ditinggalkan? Masa depanku lebih baik dengan seperti ini. Ternyata dia mengerti apa yang aku butuhkan, sebuah perpisahan yang pahit namun bisa aku lewati bukan? Oooh…terima kasih padanya yang berbaik hati menyakiti aku dengan cara yang kejam. Dia telah membuat aku kuat dirajam.

Janganlah berusaha untuk memahami saya, karena kadang-kadang saya pun dibuat bingung dengan empat dimensi diri sendiri. Tidak perlu juga berbelas kasihan, saya tidak butuh. Apalagi kalau kamu ingin berdialog tentang hal semacam ini. Ini tidak butuh dimengerti, jadi diam sajalah.

Aku terluka karena sebaris kalimat yang diucapkan penuh makna menyakitkan. Kamu pikir siapa dirimu bisa menilai aku dengan cara seperti itu? Berani sekali kamu menguji keyakinan saya tentang cinta. Apa yang kamu tau dari masa lalu? Saya disakiti? Janji yang dulu dibuat lalu patah arang? Saya menjadi orang yang terkasihan? Kamu salah, sayang sekali. Ini adalah titik balik dari kehidupan saya, pembelajaran yang membuat saya sedikit lebih pintar menyiasati segalanya. Bahkan bisa saya katakan, membuat saya sedikit lebih pandai ketika menghadapi kamu.

Kamu pasti akan mengeluh lagi dan berusaha berargumentasi. Saya tidak punya waktu untuk itu. Cukuplah saya melangkah mundur dengan anggun, dan kita lihat ketidakberdayaan kata-kata yang sempat kau ucapkan itu akan melunglai suatu saat nanti. Ini bukan tentang saya, saudaraku. Ini adalah tentang kamu. Duduklah tenang sejenak. Ingat lagi apa saja yang terdengar oleh telingamu yang bersumber dari mulutku. Saya hanya ingin menanyakan kabar. Lalu mengucapkan sebuah kata maaf tadinya. Betul? Sebuah maaf karena merasa salah telah menjadi orang ketiga, karena telah menjadi penyambung lidah, karena saya tidak bisa menjadi penguat bagi kamu. Dan menit-menit selanjutnya melantur menjadi caci maki dan meruaklah semua kekesalan serta emosi.

Silahkan maju dengan peranmu. Aku akan tetap disini, sebagai seorang anak yang mencoba berbakti, adik yang penuh kasih dan tahu diri, kakak yang mendoakan adiknya setiap hari, sahabat yang sering mengeluh, teman main yang merepotkan, kekasih gelap yang berawal dari sebuah kejujuran, pencinta yang memang apa adanya, orang yang dicinta dengan juga apa adanya, seseorang yang dianggap buruk oleh mereka yang tidak berhak menilai, seseorang yang dianggap malaikat oleh mereka yang tahu usaha-usaha kecilku, seseorang yang apa adanya begitu saja, dsb…dsb…

Cukuplah kita bertengkar. Tiada pangkal dan ujung yang manis dari keegoisan masing-masing. Saya menyadari betapa tidak berhaknya saya untuk mengatakan ini semua. Tapi inilah jalan untuk saya bisa membuka hati dan menuangkan amarah. Sebuah kata maaf, apakah cukup bagimu? Sebuah kata itu apakah bisa merubah pandangan negative kalian? Mungkin tidak, tapi lagi-lagi peran ini aku tanggung sebagaimana mestinya. Saya juga mengetahui kekalutan hati, kebingungan diri, kehilangan jiwa, dan semuanya. Doa-doa itu tetap didengar, saudaraku. Saya tidak bisa lagi bicara pada kamu atau dia. Inilah saatnya kita berdiri pada pilar ketegaran masing-masing. Dan ketika kau sudah lemah, atau tak berdaya, atau putus asa, yakinlah saya tetap ada. Tidak sekarang, ketika kau menegakkan kepalamu begitu tinggi atau menutup telingamu dan hanya mendengarkan otak dan hatimu bicara. Tapi nanti, ketika suatu malam sebelum tidur kamu berdoa seperti biasa atau bangun dalam keadaan pasrah. Suatu hari nanti kau akan menyadari, keberadaanku tidak bisa terganti. Dan rasa sayang yang aku beri, tidak akan surut dari asalnya. Saya hanya mendoakan kalian. Dan sekali lagi, doa-doa itu tetap didengar, oleh Tuhanmu atau Tuhanku, ketika kau berlutut di Gereja atau ketika aku bersujud di atas sajadah.

Permintaanku sederhana. Sebuah maaf untukku saja… Maafkan saya.

(27 Februari 2009, 03.45 am)

No comments: