Sunday, February 15, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 1

Warna itu adalah warna biru yang berbaur dengan kelabu. Menjadikannya tidak biru sempurna. Membuat beberapa pasang mata memandang sendu. Kami berkumpul di bawah naungan langit malam yang terbentang luas. Kami adalah para mahluk bebas kini. Setiap akhir minggu kami akan menghabiskan malam panjang secara bersama-sama dan menjadi sedikit gila. Karena kami membutuhkan sedikit canda dan lebih banyak alkohol untuk memantapkan kerisauan jiwa.

Sebagian dari kumpulan ini adalah wanita seperempat abad yang sukses di berbagai bidang, mulai dari seni, pendidikan, hingga dagang. Mereka kerap kali datang dengan mengendarai mobil mewah yang kini pengendaranya memadati sebuah ruang tanpa sisi. Dataran yang sedikit lebih tinggi dari daerah lain kota ini.

Sisanya yang lain adalah pengelana. Tidak memiliki cita-cita terlalu tinggi, bahkan takut untuk merajut sebuah asa. Tapi mereka memiliki kebebasan yang tidak dirasakan oleh anggota lainnya. Mereka lebih banyak bergerak tanpa aturan, bicara tanpa santun, berlaku tanpa canggung. Semua terlihat biasa, mungkin bisa disebut lebih menyerupai manusia.

Jumlah kami tidak banyak, tak melampaui sepuluh orang. Kadang-kadang membengkak memang, kalau ada saja saudara atau teman kerja yang getol ingin bergabung karena merasa kelompok kami ini menyenangkan dan sangat mencengangkan.

Coba bayangkan. Kami selalu disapa oleh hawa dingin menusuk, tetapi tak seorang pun dari kami yang peduli duduk berlama-lama di atas rumput untuk memandang langit malam yang tidak setiap minggu selalu cerah. Kadang kami bahkan tidak peduli rumput sedikit basah, menyisakan noda kecoklatan pada balutan busana mahal beberapa diantara anggotanya. Kami cuma dihangatkan oleh tawa dan cerita-cerita nan renyah yang seringkali sudah terlupa ketika kami beranjak pulang ke rumah. Tapi kami merasa bagian ini disatukan oleh hati.

Sudah beberapa bulan ini kami sengaja berkumpul, menyisakan sedikit waktu melompat dari rutinitas mingguan. Aku adalah salah satu pencetus ide sekaligus penemu tempat ajaib ini. Secara tak sengaja, aku beserta tiga temanku yang lain menyusuri keheningan malam. Ternyata tidak semua tempat terlelap. Tempat ini terlalu cantik untuk disembunyikan dalam mimpi. Terlalu benderang seakan memang menyiapkan diri untuk menyambut kami dan mengajak berbagi kesepiannya.

Lalu datanglah kami memecah-belah sunyi tempat ini. Rumput yang mengalasi hamparan bidang landai itu disiapkan dengan sendirinya oleh alam. Satu-satunya tempat kami bisa berkumpul tanpa harus merasa terganggu atau mungkin terlalu mengganggu. Kami seolah diundang untuk meletakkan otak sejenak, menggantinya dengan spon tanpa neuron sehingga kami benar-benar tidak berpikir. Melepaskan sedikit ketegangan dan meluapkan segenap perasaan.

Tak jarang, beberapa di antara kami datang dalam keadaan sedikit mabuk. Tidak ada aturan yang mengikat kami, tidak pula untuk memisahkan kami. Semua bebas datang dan bebas pergi. Namun sampai saat ini, belum ada satu pun yang menolak untuk tinggal.

Seperti untuk pertama kalinya, kami merasakan hidup berjalan dalam detik yang sama. Selama ini kami bergerak terlalu berbeda. Bagiku, dua puluh empat jam dalam sehari dilewati untuk enam jam tidur, dua jam istirahat alias tidur siang, enam jam menonton televisi, dua jam shopping, dua jam nongkrong, dan sisanya untuk kegiatan tak jelas. Bagi mereka yang lain, mungkin butuh waktu empat puluh jam sehari untuk memenuhi rutinitas mereka.

Satu hal yang sama. Kami benar-benar membutuhkan satu masa tanpa ketegangan. Satu masa dalam kebersamaan. Kami tahu bahwa salah satu alasan adalah, di sini kami melepaskan topeng kami. Aku setiap hari terlihat sangat bahagia dan bebas merdeka. Di depan mereka aku menjadi seorang yang sungguh berbeda dari biasanya. Aku yang lemah, lelah dengan segala kebebasanku. Aku ingin dikurung, dalam sebuah hubungan yang nyata.

Malam ini kami duduk berdamping-dampingan, berikut sebotol bir di genggaman. Masih tersisa banyak di belakang, menunggu untuk disesap guna menghalau suasana beku. Kami berselonjor seadanya. Seperti biasa,pada menit-menit pertama kami akan menunggu bulan meninggi. Dalam diam kami menyadari keberadaan diri. Dalam senyap kami menilik eksistensi.

Tak perlu waktu lama. Salah seorang dari kami akan bersenandung sebait lagu, yang selalu menjadi tema percakapan berikutnya. Kami menyebutnya ‘song of the day’. Kadang-kadang bernada riang, tetapi lebih sering sendu mendayu. Menit selanjutnya menjebak kami dalam percakapan panjang. Kami bertukar cerita, bersilang pendapat, saling mendukung dan menyanggah. Dan pada akhirnya akan membawa kami ke sebuah ujung tanpa konklusi.

Bir dalam botol mengering, menyisakan sedikit buih pada dasar yang kelam. Sedikit menggigil, kami beranjak merapatkan barisan, mencari perlindungan dari kejamnya angin malam pada satu sama lain.

Malam ini, Dinda sedikit lebih mabuk daripada biasanya. Dia hanya menggunakan kaos tanpa lengan dipadu celana jeans hitam ketat tanpa penahan dingin lagi di atas pakaiannya. Dia bersandar padaku, menitikkan air mata. Hari ini lagu bersenandung, masih dari pemilik suara emas yang sama, Rena. Rena yang manis. Rena yang kekanakan. Rena yang selalu menjadi pujaan. Dia menyanyikan sebuah lagu dengan tema perpisahan. Perpisahan yang sangat mengharukan karena dilandasi rasa cinta yang sangat, sebuah perpisahan yang tulus untuk kebahagiaan.

Kami lalu berdiam diri, mengatupkan bibir rapat-rapat, menghentikan pergerakan sekecil apapun, mengatur nafas menjadi lebih pelan. Kami merasakan kesunyian. Kami menikmati angin. Kami mendengarkan malam. Lagu itu masih sayup-sayup berkumandang, melewati embusan angin dan nafas masing-masing. Menyisakan sedikit pedih, siap untuk bertarung melawan sedih.

“Walau hati ini terus menangis menahan kesakitan ini. Tapi kulakukan semua demi cinta.” Sebait nada bergema dalam keremangan. Hatiku gamang. Lagu ini mengingatkan aku pada kesakitan yang aku tahan sekian lama. Tapi tidak bagi Sita. Dia terlihat jijik, dengan segala lirik yang bergaung dalam aroma kesedihan. Dia lalu tersenyum, meratapi kebodohannya. Kami tahu, dia hanya mencoba menjadi seorang wanita.

“Sudahlah, jangan terlalu terhanyut menjadi manusia bodoh. Kita tidak bodoh. Kita cuma tidak mau melihat. Kita tidak mau belajar, belajar melepaskan dan belajar untuk mencari,” katanya ketika lagu sudah habis dinyanyikan.

Isak tangis mengepung telingaku. Dinda menangis terlalu lepas, persis ketika kepalanya tersandar lemah di bahuku. Aku bingung harus bicara apa. Aku tidak berkata-kata, selain menaikkan lenganku dan kuletakkan di pundaknya. Tiga kali tepukan ringan itu membuat badannya semakin terguncang. Dia lalu mengatakan sesuatu yang lebih terdengar seperti rintihan.

“Aku memang bodoh. Aku tahu aku bodoh. Aku hanyut dan menjadi bodoh dan lebih bodoh lagi setelah aku tahu aku bodoh tetapi aku tetap tinggal dalam kebodohanku.”
“Dinda… Aku kenal kamu yang tidak bodoh,” sahutku.
“Iya, Dinda. Dulu aku tahu kamu yang sangat pintar. Tiga tahun kuliahmu selesai dan dua tahun setelahnya gelar mastermu kamu dapat,” hibur Riva yang duduk di sebelahnya.
“Hentikan mengucapkan kata bodoh. Malam ini si bodoh harusnya membenci kita karena kita selalu menyebut-nyebut dia,” Ayu lalu angkat bicara.

Kami terdiam sejenak. Aku melihat Dinda mengambil sebotol bir lagi. Dia meneguknya tanpa henti, dan airmatanya tetap mengalir lewat pipi. Setengah botol dihabiskannya kali ini. Aku ikut mengambil sebotol, lalu mereguknya seperti kehausan. Kerongkonganku kering, tercekat dalam kebimbangan sendiri.

3 comments:

Irwan Chen said...

keren..

4EVER InCraBb said...

Fiuh...two thumbs up for your story... I love it :)

lidya Agusfri said...

belom beres tuh cerpennya... bersambung yaaa... ada tiga part... panjang banged jadi dipisah2... pasrt tiga belom beres. liaht endingnya yaang kerennn banged ya ntar... hahahaha...

thx 4 ur support