Friday, February 20, 2009

Bulan Kuning di Lembah Temaram...Part 3

Setiap cerita memiliki akhir yang berbeda, walaupun dalam romansa yang serupa. Kisah tentang aku pun melebur, seperti hatiku yang kini siap untuk aku kubur. Ketika kemarin aku melangkah dengan anggun, meninggalkan arena pertempuran antara aku dan dia, persis saat itu juga aku menunduk layu. Semua sisi diri telah kulepaskan meski aku enggan.

Aku dan Abi. Teror-teror tanpa henti yang mematikan langkah kami. Aku dibangunkan mencari kenyataan, dengan cara yang sulit aku cerna. Tidak sedikit yang aku korbankan demi mencari cinta dan mempertahankannya. Abi sulit digenggam. Dia memiliki hidup yang lain, dunianya yang kedua setelah dunianya yang penuh dengan aku dan dia. Dua tahun lalu tepatnya, ketika percintaan yang rumit itu aku telisik dengan sungguh-sungguh.

Kini cinta itu tidak lagi aku uraikan. Asaku hilang, seiring jalan yang makin berat aku tempuh. Jangan katakan aku tidak berusaha, kami sudah berkali-kali mencoba. Membangun segala sesuatu dari awal lagi dan lagi. Kami menyusun rencana yang tidak hanya cukup satu. Upaya untuk membangun sebuah hubungan yang biasa-biasa saja tidak semudah yang kami pikirkan. Justru karena kami sangatlah tidak biasa.

Jadi kini, terjeratlah aku dalam sebuah tempat yang sungguh hening. Umpatan-umpatan kasar dari mulut Sita sajalah yang saat ini bergaung di udara. Pohon-pohon bergerak seirama, tapi hanya terdiam tanpa kata. Bila pohon bicara, dan awan yang berarak mampu berkata, mungkin mereka akan balik mengumpat, menyuruh kami untuk pergi. Mereka tentu menginginkan kami untuk berhenti mencemari kesucian tempat ini.

Dua motor berkejaran di jalan raya, sepuluh meter dari tempat kami bersemedi. Suara sumbang itu menghentikan Sita yang mulai hilang kewarasan. Dia berdiri, tegap, meninggikan kepalanya. Lalu sesaat, dia menguraikan air mata. Air mata yang aku tahu rasanya, pedih ketika mengalir membuncah keluar dari pelupuk mata yang tadinya kering. Aku mengerti, dia masih melihat bayangan yang sama. Dia dan kami pun masih menanti keajaiban yang kami rasa telah habis kami sia-siakan demi pria.

Lihatlah barisan kami sekarang, enam wanita yang mengisak. Menaburkan bulir-bulir peluh, bahkan dalam keadaan sedingin ini. Kebebasan itu telah menampakkan diri di depan mata. Peluh ini akan tergantikan, dan pasti nanti terbayar sempurna. Mahluk-mahluk bebas seperti kami hanya butuh sedikit lagi waktu untuk bisa mengerti dan belajar dari kesulitan yang menghalangi kami. Kami cuma butuh waktu untuk bangun dari kekalahan dan menemukan perjuangan baru.

Kami lalu menghabiskan satu jam lagi, sebagian duduk dengan santai dan sebagian lagi berbaring. Beban demi beban satu-persatu menguap pergi, memenuhi ruang bebas di luar diri. Suasana lalu menghangat dengan celoteh ringan tentang rencana liburan akhir bulan depan, rencana membeli sebuah mobil baru, rencana untuk membuka sekolah gratis, dan beberapa rencana lain yang terdengar menyenangkan.

Tepat pukul dua belas malam, bulan penuh menggantung tinggi. Sedikit awan tipis membayangi senyumnya yang merekah. Bulan kuning itu membisikan pada kami, sebuah harapan tentang hidup. Mengajari kami menjadi manusia biasa, dengan angan-angan yang sederhana. Memberitahu kami bahwa esok dia akan datang lagi, dan masalah-masalah tetap silih berganti. Hari ini kami puas. Dan terlebih penting lagi, kami telah bebas.

Aku memulai ritual penutup kami dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Lima menit lamanya mata kami tertutup dan mulut kami terkunci. Aku lalu menyuarakan sebaris puisi.

“Dan ketika langkah mengayun begitu saja
Dalam bimbang dan sesak
Dalam redup dan gulita
Dalam sakit dan derita

Esok akan datang lagi
Sebuah bulan yang terbit tinggi
Di birunya malam
Walau langit kadang kelam

Selamanya harapan tetap ada
Dan teman selalu setia”


Wajah-wajah sembab menyapaku, mereka terlihat letih tapi lega. Kami bahagia, bahwa sisa tenaga dari pergumulan kami masih ada karena teman selalu bisa menjadi sandaran. Lalu kami membuat lingkaran, merangkul tiap-tiap jiwa yang hadir di situ. Air mata itu tidak tampak, bersembunyi untuk dibagi mungkin pada akhir minggu selanjutnya lagi.

Aku meraih sepasang sepatuku. Mereka mengikutinya sambil terburu-buru, menanggalkan alas kaki dan memegangnya agak tinggi. Lea berteriak, “Satuuuu!” Lalu kami pun melanjutkan menghitung sampai tiga dalam tawa. Barisan kami siap. Pada hitungan tiga, aku berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak. Meninggalkan beberapa botol minuman yang sekarang bersarang dalam kantong sampah di bawah sebuah pohon entah apa namanya. Menitipkan kesedihanku pada lembah ini. Meletakkan kelelahanku pada angin. Mengejar hari esok yang tetap sama sebagai seorang wanita, bernama Lidya. Dengan napas tersengal kami sampai di tepi jalan. Dan kepada langit malam ini, pada bulan kuning, pada lembah temaram, pada udara, pada semuanya, kami berbisik, “terima kasih telah mengajari kami sekali lagi”.

1 comment:

4EVER InCraBb said...

Mantaplah... :) try to send it to some magazines.. might be they will interest on it... then your hobby will be your passive income too :) ganbatte..!