Tuesday, January 5, 2010

Berbekal Sebuah Lagu (mendiang) Meggy Z.

Kalau bosan bernyanyi nada-nada pop seperti lagu populer kebanyakan, terkadang lagu penghibur hati yang lara adalah yang tentunya berirama "Indonesia Sekali". Jempol tak kurang, pasti ada dua yang bergoyang. Lantunan nada mendayu yang merangkai lirik sedih seringkali berkumandang dalam hati, walaupun malu2 bila harus menyanyikannya dengan gegap gempita plus iringan liukan badan ke kiri dan kanan. Jadi lebih banyak saya bernyanyi dangdut cukup di kamar mandi atau sembunyi-sembunyi saja. Bukannya tidak cinta negara, tapi rasanya aneh kalau menyanyikan dangdut ini tidak di sebuah konteks kegiatan yang sepadan.

Berbekal satu lagu terpopuler Meggy Z juga lah, saya akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur ke sebuah praktek dokter gigi. Setelah sibuk ber-plurking-ria dan berpikir matang-matang, saya lalu mengangkat pantat yang santai berselonjor di kasur. Mungkin lirik berikut masih terngiang selalu di telinga beberapa di antara anda:

"Putus lagi cintaku
putus lagi jalinan kasih-sayangku dengannya
cuma karena rupiah lalu engkau berpaling muka
tak mau menatap lagi"

Itu sih bukan bagian yang membakar semangat saya. Pada akhirnya, lirik berikut yang membuat saya pantang mundur ke medan pertempuran bernama "ruang praktek dokter gigi". Ini dia liriknya...

"jangankan diriku
semut pun kan marah
bila terlalu… sakit begini

daripada sakit hati
lebih baik sakit gigi ini
biar tak mengapa"

Halah, setua ini masih takut sakit gigi? Pikir saya, "patah hati sudah biasa dalam hidup saya, mas Meggy aja lebih milih sakit gigi". Jadi kenapa saya harus mengalah pada si sakit yang belum tentu terjadi ketika si gigi dicabut nanti. Apapun yang terjadi, terjadilah...

Tiga jam yang lalu tepatnya, nangkring-lah saya di sebuah dental house dekat kost. Ternyata tempat praktek itu hari ini sepi pengunjung (belakangan saya baru tahu salah satu alasannya). Alhasil, malam ini saya menjadi pasien pertama si dokter "sebut saja Bunga" (padahal laki2).

Dokter Bunga senyum sumringah kepada saya begitu saya sampai di depan ruangannya. "Aduh, lidya rupanya sudah berani. Pergumulannya sudah berhasil diatasi ya?" Saya cuma bisa ngangguk-ngangguk tanpa bisa berkomentar. Dalam hati saya, "koen iku, seenak udel mu dewe. Weis, sakarep mu lah dok!" Senyum pun saya lemparkan sebagai jurus maut untuk menenangkan diri sendiri.

"Duduk...tenang...tarik napas...baca doa...tutup mata...tutup kuping...dan terakhir, kalau masih tidak kuat..tutup mulut!" begitulah mantra2 yang saya ucapkan selama beberapa menit awal di bangku pesakitan. Dokter yang duduk di sebelah saya kedip2 memperhatikan saya dan terlihat takjub, sampai-sampai dia nanya, "kenapa lid?". Sambil mesem, saya bilang "nggak papa dok. Saya lebih baik sakit gigi daripada sakit hati kok". Si dokter lalu tertawa kencang (sebentar saja) dan berikutnya tanpa tedeng aling-aling mengambil berbagai peralatannya, bersiap menerkam ruang mulut saya dan membasmi si gigi sialan itu.

"tak..tok..siiiing..cruut..siiiing...klotak...aw..aaaw..." Dua puluh menit dalam ketegangan (tapi aneh, karena gak sakit sama sekali) akhirnya selesai. Saya kira berakhir sudah semuanya, karena si dokter meletakkan peralatannya ke tray. "Ini tidak bisa dicabut biasa, saya operasi kecil ya."

*GUBRAAAK!!!*

"Apaaa??? Saya mau dioperasi doook???" Terbayang-bayang sudah jari jemari si dokter merobek gusiku di berbagai tempat. Belum apa-apa saya sudah merasa lemas tak berdaya. Tapi mau bagaimana lagi, usaha si dokter Bunga rupanya sudah maksimal dan tidak mendapatkan hasil memuaskan (sebenernya ini lagi ngomongin apa sih??).

Scene berikutnya seperti terjadi dalam gerakan lambat. Sorot lampu, mesin pemotong, sundae, kaca mulut, kapas, penyedot liur, penyemprot air, tang, dan aneka jenis tools seliweran di depan mata. Dua puluh lima menit kemudian, si dokter mengangkat dua potong akar gigi premolar saya itu sambil cengar-cengir. "DONE!" katanya.

Session menjahit sebagai penutup ternyata so much much easier. Tidak sampai 10 menit, sudah selesai lah mulutku minus 1 gigi dan saya langsung disuruh duduk tenang. Saya pikir, dokter Bunga akan mengajak saya berdoa (benar-benar pemikiran bodoh!), ternyata dokter menjelaskan kepada saya berbagai pantangan yang jumlahnya bejibun.

"Trus gak jadi doa nih?" ujar saya setengah becanda, sambil beringsut-ingsut bangkit dari the hot seat. Si Bunga hanya ketawa sambil melepas sarung tangannya. Dari situ terlihat bahwa bunga memakai cincin (another stupid mind) dan hilanglah sudah rasa senang gembira hati ini. Ternyata betul, sakit gigi tidak seberapa bila dibandingkan dengan sakit hati.

Saya harus banyak mengucapkan terima kasih pada sang master sakit gigi, mendiang Meggy Z. Berkat beliau lah, saya berani melaksanakan tugas dan kewajiban saya sebagai pesakit-gigi-an. Dan berkat beliau juga, saya masih bisa bertahan sekarang dalam nyeri dan serangan si "nyut2" setelah anestesi maha dasyat itu hilang.

Sekarang saya sedang berandai-andai lagu Meggy Z itu terkenal sampai ke luar negri. Pasti liriknya akan sulit sekali dibuat untuk disesuaikan dengan nadanya. Untunglah Mas Meggy ini lahir, tinggal, besar, dan ngetop di Indonesia jadi Bang Obbie Messakh nggak susah-susah mentransalte-nya ke dalam bahasa inggris. Terima kasih Tuhan, karena sudah menganugerahi saya sebuah otak kurang waras sehingga bisa menghibur diri sendiri saat sakit seperti ini. Terima kasih juga untuk kesempatan anda membaca tulisan kurang penting ini dan membuat anda ingin men-donlod lagu Sakit Gigi dari Youtube supaya anda bisa ingat kembali sperti apa lagunya.

Note: Ingat alasan mengapa tempat itu sepi? Saya tahu ketika sampai di counter dan received those bill.... (tebak saja lah!) Beruntunglah anda2 sekalian yang tidak salah jurusan seperti saya yang sekarang menyesal karena tidak menjadi dokter gigi...

No comments: