Sunday, January 24, 2010

Sepenggal Kisah Langit

Perempuan itu bersimpuh di kakinya. Rambutnya yang biasa tergelung kini menguraikan garis-garis hidupnya, panjang, bergelombang, dan hitam. Urat tergambar dan mengalir jelas di sela-sela hatinya yang keruh. Ia terluka. Dengan segenap jiwa. Ia menganga. Mengais setiap duka yang dia punya.

Perempuan itu mengurai tangisnya. Pecahan kaca di matanya jatuh juga. Pada dinding batu yang dingin dia sandarkan segenap pilu. Dia menangis dalam diam. Pelan-pelan dan tanpa suara. Ia bicara dengan bahasa manusia. Batu juga bisu, tak mengerti kata hatinya yang membucah semena-mena. Mereka tidak saling berkata. Menyandarkan pipi pada kelabu dinding batu, perempuan itu berkasih pada dirinya sendiri.

Ada kata-kata yang tak ingin diucapkannya pada bumi. Tapi ia terlanjur runtuh. Langit itu.

Bumi, belahan jiwanya, tempatnya biasa menapaki diri, separuh kenyataannya, sebagian kepastian, pasangan, cinta.

Perempuan itu tak mampu bangun. Pantatnya menempel pada lantai keramik yang kusam. Usang. Kaku menjamu pergelangan kakinya. Betisnya menegang, menunjukkan sebuah penolakan. Seluruh punggungnya linu, ototnya tertarik tak karuan. Tapi ia tidak mampu lagi. Ia tertunduk saja, melemahkan indera.

Ia ingin menjadi asap. Menerbangi setiap celah tanpa tepi. Kepulan mimpi pun tak apa, asal tidak menjadi manusia. Perlahan naik dan terus membumbung, lalu pecah. Tercampur dengan debu, aroma, setiap nafas, dan gas lain di udara. Ia ingin menjadi bukan siapa-siapa.

"Bakar aku menjadi abu," pintanya. Supaya terserok oleh sapu dan pengki di pagi hari. Supaya detak dan derap hatinya terbagi menjadi serpihan yang tak dapat lagi ia kumpulkan. Supaya sebagian demi sebagian bisa menyesap ke dalam tempat yang kecil dan terlupakan. Hilang.

Peluh si perempuan bercucuran deras, berlomba dengan riak air matanya. Masing-masing berlarian jatuh dan menghantam keusangan keramik yang sudah ada sejak lama. Yang satu kecut, dan satu lagi asin. Berkumpul mereka, menggenang di balik kain yang dipakai olehnya. Air-air yang keruh. Curahan hati yang bisu.

Isak. Lalu isak yang penuh sesak memenuhi segala sudut ruangan. Disusul raungan. Teriak dan cacian. Penuh, penuh, dan terlalu padat.

"Cabut nyawaku!"

Hening lagi. Tersisa sepenggal keluh yang lembab menerawangi sekeliling. Pohon sudah berhenti bergoyang. Hari sudah hampir subuh. Senyap dan masih gelap. Ketika orang-orang melindur dalam tidur mereka, ketika nyawa terkumpul lagi dalam raga mereka, ketika adzan belum berkumandang. Sebagian melantunkan bait-bait mimpi, sebagian lagi terjaga karena sudah semestinya dan beban mereka.

Perempuan itu lalu bergelung, meringkuk dan bermanja dengan dirinya sendiri. Ia menggumam, berbicara tak jelas, merutuk, dan sisanya hanyut karena tangis. Berbagi pada siapa, ia tak berani. Langit runtuh, menggerayangi setiap muka bumi. Langit itu.

Dengan sisa tenaga, ia merobek sebagian kain yang dipakainya. Kain yang basah karena darah.

"Robek lebih banyak. Kain itu kotor. Aku kotor," pikirnya.

Kain yang menjuntai lemah mengalungi pinggulnya. Darah di mana-mana. Ia melemas dan mengerang. Tapi di sana tak ada seseorang. Ia hanya sendiri, bersama dinding batu, berikut lantai keramik usang. Mungkin sobekan-sobekan kain, dan darah, dan air matanya juga. Tapi dia tidak menghitung, tidak merasakan kehadiran benda-benda.

Tak sempat terbit matahari, ia tenggelam lebih jauh dan tersiksa. Neraka yang tak terasa menghiasi hatinya. Menelusup lebih dalam dan menggaruk lukanya yang tetap menganga. Makin pedih. Matahari itu belum sempat terbit, dan langit sudah runtuh. Langit itu.

Terbujur kaku, tanpa tarikan nafas walau sederhana. Perempuan itu bersandar dengan dirinya, membentuk formasi tubuh yang aneh dan tak biasa. Rambutnya kusut di atas darah yang menggenang makin lebar. Matanya terkatup, melindungi bola matanya yang sudah keruh. Ia lelah. Dan tertidurlah ia ke alamnya sendiri saja. Menjadi asap. Menjadi abu.

Dinding batu dingin dan keramik usang hanya diam. Tubuhnya tergeletak. Fajar yang senyap. Pendaran cahaya pun menapaki langit. Tapi bukan langit itu, karena langit itu sudah runtuh.

Dan pisau bersimbah darah pun jatuh dari tangannya.

Tepat runtuh. Langit itu.

No comments: