Sunday, April 26, 2009

bagi para perempuan bangsaku...

“Earning for the Children (Ragat’e Anak)” adalah salah satu karya gabungan dari empat film dokumenter Indonesia yang kemudian diberi judul At Stake (Pertarungan). Film ini diputar di Berlinale Film Festival (Berlin Palas) Februari tahun ini. Memang kesemuanya memiliki benang merah yang sama, yaitu mengangkat cerita tentang perempuan. Kesedihan mengalir ketika ulasan film ini ditayangkan di Metro TV tadi malam. Sumpah, saya menangis waktu menulis ulasan ini, karena saya juga dilahirkan sebagai seorang perempuan.

Nur dan Mira. Mereka adalah pemeran utama yang seharusnya meraih penghargaan sekelas Academy Award. Pekalongan adalah tempat syuting film tersebut, kota kecil yang tidak lebih maju dari daerah asal saya (Palembang) dan kota tempat saya tinggal kini, Bandung. Mereka adalah pekerja-pekerja seks komersil yang menjajakan diri di sebuah sudut kota Pekalongan, tempat orang-orang yang sudah meninggal disemayamkan untuk selamanya, daerah pekuburan.

Bisa? Tentu saja bisa. Buktinya mereka dengan nyaman bergerilya dengan hidup mereka, di sekitar kuburan-kuburan Tionghua. Berapa banyak jumlah perempuannya? Sekitar 80 orang yang aktif berdagang dengan lelaki. Umur berapa saja? Dari 20 tahun sampai 50an tahun. WOW… Fantastis untuk ukuran seorang PSK. Berapa tarif mereka? Jangan terkejut, jangan pula tercengang. Mereka hanya dibayar Rp. 10.000 untuk kali berhubungan. OH MY GOOOSSSH!!! Saya langsung tutup mulut dan merasa ngeri. Kurang kaget apa saya jadinya? Kurang miris gimana? Berapa banyak dalam semalam mereka melayani pria-pria (bajingan)? Dua sampai empat orang… Sekali lagi, OH MY GOOOOSSSSH!!! Kali ini saya memukul-mukul kepala sendiri.

Anda mungkin tidak ragu-ragu ingin marah melihat perempuan-perempuan itu menjual dirinya untuk harga yang tidak lebih mahal dari makan malam saya (yang biasanya saya habiskan dalam waktu 20 menit). Saya tinggal nge-kost di daerah universitas swasta yang lumayan mahal, tentu saja biaya makan dan lain-lain jadi lebih mahal di bandingkan dengan daerah kost universitas negri. Uhm… Jantung saya langsung tidak bisa berdetak pelan. Keringat membasahi telapak tangan walaupun udara dingin. Perasaan campur aduk ada di dalam diri saya.

Tapi jangan marah dulu, Anda harus melihat apa yang dilakukan mereka pada siang hari. Mereka BEKERJA!!! Tetap bekerja sebagai pemecah batu. Satu waktu, film ini sedang menyorot kegiatan Nur memecah batu bersama anak bungsunya yang perempuan. Tangannya tidak sengaja terluka karena terpukul palu. Telunjuk kirinya berdarah. Tapi Nur tidak menghentikan pekerjaannya barang semenit pun. Dia tetap mengambil bebatuan di sebelahnya dan terus memecah batu. Tidak sakitkah itu? Padahal kalau terjepit pintu, saya langsung menangis atau malah memaki-maki. Melihat itu, hati saya pun melunak. Mata saya berair, bukan karena saya memang lagi sakit mata (kebetulan sudah 3 hari). Sedih dan pilu sekali rasanya melihat dia yang luar biasa tabah menjalani hidup tiga sisi, siang sebagai pemecah batu, malam sebagai penjaja seks, dan pekerjaan seumur hidup sebagai seorang ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil.

Dengan alasan perjuangan hidup, mereka lalu meletakkan kehormatan mereka di tempat yang sangat rendah. Dengan ukuran ekonomi, mereka lalu membiarkan tubuhnya dikerjai oleh lelaki. Saya menghapus air mata, geleng-geleng sambil mengelus dada. Apa saya bisa membantu mereka-mereka itu, Nur dan Maya serta yang lainnya? Mungkin memang tidak ada, karena boro-boro membantu, kenal saja tidak.

Saya tahu dan mengerti sekali, mereka pasti akan memilih bisa hidup nyaman tanpa harus bekerja semacam itu. Mengingat betapa susahnya mendapat pekerjaan yang baik di tempat terkecil begitu, rasanya tidak mungkin mereka serta-merta meninggalkan sumber nafkahnya. Kisruh hidup mereka tidak bisa hilang karena uang. Mereka percaya, inilah yang harus mereka jalani jadi cukup bertabah hati saja.

Ngomong-ngomong soal penghargaan diri, maaf kalau saya melenceng sedikit dari ulasan film tadi. Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang betapa berharganya seorang perempuan sebagai manusia yang berkewajiban mengandung dan melahirkan.

Seringkali saya pernah melihat seorang perempuan menggendong bayi di dalam angkutan umum. Dua-tiga kali saya melihat ibu-ibu dengan tanpa ragu membuka sebagian pakaiannya dan menyusui anak mereka. Dadanya terlihat, menggantung penuh dan jelas. Orang sekitar menjadi risih, serba salah, kikuk, bingung. Ada yang tertunduk, ada yang diam-diam mengamati, ada juga yang tidak diam-diam ikut mengamati, ada yang memandang jijik, ada yang memandang kesal, ada yang langsung tertegun, ada yang kaget. Tapi jarang sekali, bahkan belum pernah saya lihat (mungkin anda pernah), ada orang yang memandang kagum lalu tersenyum pada si pemberi ASI alias si ibu yang menyusui anaknya. Pernah satu kali malahan, seorang ibu yang berbuat hal itu turun terlebih dahulu dari saya. Dua orang lelaki dan perempuan yang duduk di sebelah saya mencibir dan mengomentari si ibu tadi. Kurang sopanlah, tidak tahu situasi lah, tidak berpendidikanlah, dan sebagainya.

Sebenarnya saya sangat mengagung-agungkan seorang ibu dan perjuangannya menjadi ibu, termasuk menyusui bayi. Tapi saya juga tidak bisa menerima keadaan semacam ini, dimana wanita “memajang” bagian dadanya di depan umum, walaupun dengan tujuan sangat mulia. Tiga ibu yang pernah saya temui, kebetulan semuanya tidak memakai semacam kain penutup atau penghalang pandangan apapun. Padahal mereka bisa saja menutupinya dengan kain bukan? Saya pernah lho melihat ibu-ibu lain melakukannya, tapi dengan lebih terhormat. Entah mereka sudah biasa atau merasa malu atau tidak merasa atau tidak peduli. Saya Cuma bisa gigit jari, dan malu dengan diri saya sendiri. Bukankah seharusnya mereka menghargai diri sendiri, menghargai keindahan mereka, menghargai tanggung jawab untuk melahirkan dan menyusui???

Lebih baik kita kembali lagi pada si cerita Nur dan Mira. Ada lagi adegan yang membuat saya naik darah. Seorang lelaki diwawancara mengenai keadaan tempat itu. Dia adalah preman penguasa, begitu ceritanya. Dengan gamblang dia menjelaskan ini dan itu, termasuk kebiasaan mereka untuk menjadikan salah satu perempuan sebagai gundik, bahkan ada yang punya lebih dari satu. Ada juga pria lain yang kemudian mengoceh tentang perempuan yang sudah seharusnya dijadikan pemuas nafsu mereka. Dia bicara seperti tidak memiliki otak, tidak memiliki anak perempuan, tidak pernah punya ibu, tidak diberi akal, tidak seperti manusia lah pokoknya. “Wanita itu ya harusnya begitu. Di sini kalau ada yang baru, ya dicicipi dulu. Kalau enak, ya lanjut. Kan pertamanya kita melihat saja, berikutnya harus mencoba. Kelihatannya bagus, belum tentu kalau dicoba memang beneran enak,” begitu kira-kira isi bualannya. Sempat lagi si pria pertama bilang, “itu namanya test drive”.

Saya langsung saja memaki-maki. @#$%^&*!@$%^&*! Kurang ajar bener tuh pria-pria bodoh, dalam hati saya. Namun apa boleh buat, ketiadaan empati lantas membuat mereka menjadi tiada malu lagi untuk berbicara seperti itu di depan kamera. Mereka juga menjadi tiada rasa takut, tiada rasa risih. Sampai kapanpun, mereka meletakkan perempuan di bawah kaki mereka, berderajat tidak sama, mungkin bisa dibilang tidak menghargai sedikit pun seorang wanita dan menganggap mereka layaknya barang yang bisa dipakai, disimpan, lalu dibuang begitu saja.

Saya melemahkan jemari, menulis tanpa henti membuat mata saya lelah. Lalu saya sejenak meratapi perjalanan hidup saya sebagai seorang wanita. Diskriminasi yang tidak begitu kentara memang, karena saya tinggal di sebuah kota yang menjanjikan pendidikan bagi mereka yang tinggal di sana. Tapi tidak juga menihilkan ketimpangan-ketimpangan antara lelaki dan perempuan. Ada saja cerita-cerita bagaimana saya diperlakukan kurang adil, kurang sopan, kurang dihargai, dan sebagainya.

Namun bagi Anda, para ibu, saudara-saudara wanita, tante, nenek, sahabat-sahabat arisan, tetangga, penjual pecel, penjual nasi kuning di pasar, mahasiswa, guru, tukang cuci, pembantu rumah tangga, pramuniaga, pramugari, pramusaji, sales promotion girl, polisi wanita, dan perempuan-perempuan dengan titel apapun… Saya berikan penghormatan yang paling tinggi untuk perjuangan kita sebagai perempuan yang mengindahkan dunia, yang memberikan kelahiran, yang mengerti merawat rumah, yang lincah mengasuh anak, yang suka menangis, yang cantik, yang lemah lembut, yang meratui hidup. Kita adalah perempuan bangsa, dan saya bangga.

Selamat Hari Kartini
21 April 2009
Lidya - seorang perempuan Indonesia

No comments: