Thursday, April 9, 2009

carpe diem (2'nd part.. END)

Blok berikutnya, aku berbelok ke kiri. Aku lantas melintas ke seberang, menuju sebuah flat tiga lantai berwarna abu-abu, berjendela dua di tiap lantainya. Pintunya terlihat begitu kecil sekarang. Entah karena aku memang masih jauh dari sana atau memang ukurannya berubah begitu saja dalam kepala, efek dari sensasi senang yang berlebihan. Dua orang, sepasang lelaki dan perempuan baru saja keluar dari sana, saling merangkul dan merengkuh. Sedikit kecemburuan terbit di dalam hati, mengingat hampir tidak ada satu pun kenanganku seperti yang mereka lakukan sekarang saat melangkah keluar dari pintu itu.

Untungnya mereka menuju ke arah yang lainnya, jadi kami tidak perlu berpapasan dan aku juga tidak perlu melihat raut penuh cinta yang mereka tampilkan. Aku tidak mengurangi kecepatan, terus bergerak dan menyemangati diri yang sebenarnya sudah memaksa ingin berhenti. Sudah dekat. Kini pintu itu telah kembali dalam ukuran normalnya di hadapanku. Dekat sekali rasanya, sampai-sampai aku bisa membaui kertas itu dan tinta yang menempel di atasnya. Kertas dan tetesan tinta yang melengkapi perjalananku, melengkapi lagi jiwaku.

Dengan pintu itu kini aku berhadapan. Sebuah keputusan yang sudah lama aku nantikan, terletak persis di baliknya. Aku memutar kenop pintu perlahan, membatasi gerakan dan keinginanku untuk lebih cepat lagi menemui kenyataan. Karena hatiku menginginkan untuk menikmati setiap detik menuju saat itu, menikmati debaran jantung yang berdegup keras, menikmati angan yang melayang-layang, menikmati momen-momen yang sampai kapanpun akan aku kenang. Kenikmatan luar biasa mengaliri setiap pembuluh darah ketika aku melihat tanda merah di depan kotak suratku. Tanda itu mengisyaratkan bahwa ada sebuah kiriman di dalamnya. Kotak kecil itu berukuran 50x50 cm dan panjang ke dalam, dengan sebuah tangkai kecil berbahan logam.

Aku menarik kotak nomer 202 milikku dengan hati-hati. Sebuah amplop coklat mengacaukan pikiran, membuyarkan konsentrasi sehingga aku terpaksa mengeja dengan teramat pelan baris demi baris tulisan di halaman depan. Namaku tertera disitu, lengkap dengan alamat tempat tinggalku di flat ini. Aku lantas membaliknya, melihat sang pengirim dan pada momen berikutnya kekuatanku benar-benar habis, mengirimkan aku pada lantai berlapis kayu koridor itu. Aku terduduk di sana, entah untuk berapa lama.

Pada akhirnya, kubuka segel yang merekat pada pinggirnya. Dua lembar tulisan yang diketik rapi harusnya cukup terbaca. Tapi air mata yang menggenang membuatnya buram. Aku lantas menyapu sudut mataku yang basah, membiarkan air mata itu jatuh berderai. Kemampuan melihatku membaik dan aku mulai membaca satu persatu kata yang terangkai di sana.

Lembaran pertama berisi ucapan selamat atas keberhasilanku menyelesaikan program studiku yang telah didanai, tepat pada waktunya. Tiga tahun yang aku jalani penuh beban kini menguap bebas. Debar jantung pun seakan-akan berhenti melihat lembaran berikutnya. Sebuah tanggal tertera di situ, tanggal kepulanganku. Tanggal kebebasanku. Tanggal yang aku hitung dan nantikan hari demi hari sejak pertama berada di kota ini.

-o-0-o-

Bandung, 1 Agustus 2008. Kini aku kembali pada tanah kelahiran yang sejuk dan tenang. Di atas sebuah bukit, aku menikmati senja yang membaur, mewarnai langit menjadi merah menyala, berbatasan dengan biru yang makin kelabu di ujung cakrawala. Perlahan-lahan udara membeku, memeluk aku yang diam tanpa kata. Melayangkan kembali ribuan waktu yang berjalan sebelumnya, detik-detik yang terangkai menjadi memori berbingkai mimpi. Aku kelu, menyaksikan kehadiran anak-anak yang tertawa dan bercanda dengan bahasa yang sama, bahasa ibu yang kupelajari sejak 22 tahun yang lalu. Hari ini, adalah tepat hari ini. Hari ini aku menginjakkan kaki lagi pada bumi, bukan sekedar tanah tempat orang-orang sekitarku berada. Inilah bumi yang aku kenal sejak lahir ke dunia.

Lalu apa yang terjadi pada esok hari? Setelah segala masa yang kualami semenjak tiga tahun terakhir yang penuh dengan isakan dan tangisan serta segukan hampir setiap malam. Esok hari, adalah tepat hari esok. Kurang tujuh jam lagi dari sekarang, segalanya mungkin akan berubah. Orang-orang akan menuliskan tanggal yang berbeda, mengulangi rutinitas mereka, mengerjakan sedikit lagi tanggung jawabnya, belajar di sekolah, atau hanya mengisinya tanpa makna. Hari ini, walaupun hanya sedikit tersisa, aku akan menikmati menjadi diriku yang telah pulang ke dunia.

Hari ini aku sudah melewati jalan-jalan yang membentang, pergi ke sana kemari. Hari ini membawa aku dalam ketenangan luar biasa, kenikmatan penuh, dan kesadaran total mengenai diri. Kelelahan jiwaku tergantikan dengan keindahan tempat ini. Kekosongan yang telah menenggelamkanku pada sendu, terisi dengan alunan cantik nuansa ini. Kemarin aku masih meringkuk dalam kesendirian, di balik selimut biru di sebuah flat nun jauh di sana. Kini, pada detik yang tersisa ribuan jumlahnya, aku menegakkan kepala menghadap dunia yang aku rindukan sekian lama.

“Lara, ayo kita pulang,” suara berat itu memanggil dan menggenggam tanganku lebih erat.

Pasangan jiwaku kini aku temukan dalam wujudnya yang telah utuh kembali. Dia adalah bayanganku sampai dengan akhir hari. Kucondongkan badanku semakin dekat, memeluk segenap raganya berikut jiwa yang ada. Tak akan aku habiskan waktuku tersia-sia, tidak kali ini. Tidak hari ini.

Kulihat jam di lengan yang berwarna perak, serasi dengan terusan putih yang aku kenakan. Jarum yang lebih panjang kini menunjuk angka dua, berarti sudah lewat sepuluh menit dari pukul lima. Aku masih punya banyak waktu untuk mengumpulkan kembali kenangan dan masa. Tapi lalu aku berkata, “Lima menit lagi lalu kita boleh bergegas pergi”.

Carpe Diem, Quam Minimum Credula Postero
. Hiduplah untuk hari ini, jangan terlalu percaya pada esok. Raihlah hari yang tersisa.

No comments: