Monday, April 6, 2009

carpediem (1'st part)

Dua kupu-kupu itu berlarian dari rumpun bunga satu ke bunga yang lain. Kupu-kupu kecil yang lincah, menari-nari menikmati angin yang terbang dengan cantik menyapa beberapa pejalan kaki yang singgah. Satu berwarna kuning muda, yang lain berwarna putih dengan sedikit corak abu-abu di ujung sayap kecilnya.

Jam di tanganku menunjuk angka sepuluh dan angka satu. “Baru lima menit,” pikirku. Aku masih ingin santai sejenak menyesapi udara yang jarang sekali segar. Biasanya lembab, di musim dingin seperti saat ini. Tapi hari ini entah mengapa matahari tidak gentar menunjukkan kegarangan, menyinari terik pohon-pohon yang seolah menunduk, ingin menghindari sengatannya. Termasuk aku, menikmati udara tetapi tetap mencari perlindungan kepada pohon tua berusia puluhan tahun salah satunya.

Bahuku terasa berat dan kakiku terasa lemah. Ternyata usia muda tak membuat aku mampu membawa buku-buku tebal dalam tasku untuk waktu yang lama. Aku memutuskan untuk duduk saja, membiarkan kakiku meluruskan lagi bentuknya yang kaku, daripada berdiri terus dan bersandar terlalu lama. Sepuluh menit lagi, tidak akan terlalu terlambat.

Saat aku melihat kupu-kupu yang berkejaran itu, aku serasa hanyut dan ingin bergabung. Mungkin terbang menjadi cara yang baik untuk meletakkan sedikit beban. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya sayap walaupun kecil dan aku ingat bahwa ketinggian menjadi salah satu kelemahan terbesarku selama ini. Bahkan untuk bermain kursi ayun, aku tak berani. Jadi pasti bukan terbang caranya. Aku pasti tidak bisa.

Keadaan di sekitar bisa saja membuat aku lengah, lantas aku disibukkan dengan menjadi angin atau menjadi daun gemerisik, sehingga aku sering kali lupa waktu. Tapi tidak kali ini. Tidak mungkin aku lengah saat ini.

Lima menit berlalu begitu cepat. Kulirik jamku yang berwarna tembaga, serasi dengan kemeja cokelat muda yang aku kenakan hari ini. Jarum yang lebih panjang kini menunjuk angka dua, berarti sudah lewat sepuluh menit dari pukul sepuluh. Aku masih punya sedikit waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga yang hampir tersisa hanya setengah. Lima menit lagi dan aku harus bergegas pergi.

Aku masih bisa melihat kupu-kupu itu bermesraan satu sama lain. Kadang-kadang yang satu akan hinggap di atas pasangannya. Mungkin mereka sedang bermain saja. Entah mereka memang memadu kasih. Aku membersitkan senyum yang tulus, mendoakan mereka. Kuharap mereka akan baik-baik saja. Setidaknya mereka bisa menikmati kebebasan seperti seharusnya.

Dua menit lagi aku habiskan untuk ikut merasakan kegembiraan. Kini aku benar-benar berharap bisa terbang, melupakan sedikit cara berpikir rasional seorang manusia. Aku membayangkan tubuhku menyusut, lalu sepasang sayap mungil tumbuh menghiasi punggungku, kemudian perlahan aku terbang melintas dan mengganggu kesenangan mereka. Kalau boleh memilih, aku akan mewarnai bagian sayapku dengan sedikit warna jingga, bercampur ungu. Mungkin semangat yang terpancar di balik warna oranye akan menutupi sisi gelap yang aku miliki. Ungu terlalu terkesan sedih. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang cantik tapi penuh rahasia, karena aku yakin setiap manusia memiliki sisi gelap hidupnya. Sebuah rahasia yang tidak semua orang mengetahuinya.

Aku tidak lagi berkhayal terlalu jauh. Masalah menjadi kupu-kupu ini tidak membuat aku terlalu lupa diri, karena aku memang harus pergi. Sudah cukup aku mengisi kembali kekuatanku untuk berjalan yang tersisa hanya beberapa meter lagi. Dua blok dari sini, aku akan menemukan jawabannya. Tinggal dua blok lagi.

Rumput kering menempel di celana panjang berwarna hitamku. Beberapa di antaranya berhasil terselip dengan mudah di sepatu yang bagian depannya sedikit terbuka itu. Aku bangkit, menepuk-nepuk pantatku, membersihkan celana bagian bawahku, lalu sedikit rumput kering kecil di sepatu. Lalu aku pun melangkah, mengayunkan kaki dengan semangat. Kecepatan langkah membuatku tampak seperti sedang melompat-lompat. Persis anak kecil yang kegirangan setelah membeli es krim rasa stroberi di tengah hari. Buku-buku tebal dan beberapa dokumen di tas ikut melonjak-lonjak, menimbulkan sedikit sensasi aneh pada bahu kiriku. Kadang terlalu berat, kadang tidak terasa. Aku cuma tertawa.

Lalu aku berpapasan dengan seorang wanita tua dengan rambut yang seluruhnya memutih karena usia. Padanya aku sedikit menundukkan kepala dan memasang senyum semanis aku bisa. Dia lalu mengangguk dan membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya. Pada saat dia menjajari langkahku, dia berhenti lalu menepuk pundakku sekali. Aku melihat senyumnya makin lebar, hampir seperti sebuah seringai yang agak dipaksakan. Mungkin dia jarang sekali bertemu orang seramah aku. Aku jadi salah tingkah dan cepat-cepat pergi. Ketika melangkah tiga kali, aku berbalik dan melambai padanya. Kuucapkan sebuah salam, sampai jumpa lagi. Dia tidak membalas dalam kata, hanya menaikkan sebelah tangannya dan melambai kaku. Begitu kaku, seperti tidak memiliki daya untuk menggerakan tangan ke kanan dan ke kiri. Dalam hati aku berkata, “mungkin kita tidak akan berjumpa lagi.”

Tidak lama lagi. Tidak sampai setengah jam lagi.

Aku memegang bagian bawah tasku untuk mengurangi rasa pegal yang berdenyut di bahu. Kutahan saat aku berjalan, sambil menambah kecepatan. Aku tidak ingin membuang waktu. Aku tahu saatnya sebentar lagi. Ketika itu, aku boleh berjalan lebih pelan. Ketika itu, aku boleh berjalan-jalan santai di taman. Ketika itu, aku boleh menghabiskan masa untuk melakukan apa saja. Tidak sekarang. Tidak saat ini. Karena hanya tinggal sebentar saja.

Di sebelah kanan jalan setelah belokan pertama, gedung-gedung tinggi yang berwarna gelap tidak memaku semangatku. Kapan-kapan aku akan menikmati redupnya tempat ini, sebuah blok yang terkesan kusam. Aku sering sekali melewati jalan ini, terutama setelah menyantap makan malam di dekat taman. Ada sebuah restoran yang menyajikan masakan dengan menu makanan laut. Itu adalah tempat favoritku untuk duduk berlama-lama, memesan kopi setelah makan dan membaca buku apa saja. Kadang-kadang aku bahkan baru beranjak setelah seorang pelayanan lelaki yang aku kenal sibuk mengangkat kursi untuk menutup restoran. Larut sekali.

Tiga tahun yang lalu, tempat ini begitu asing. Kendaraan jarang melintas, berbeda dengan tempat tinggalku yang dulu, penuh dengan asap berwarna kelabu. Pepohonan di sini rindang, berbaris dengan anggun di tepi jalan. Trotoarnya lebar-lebar, hampir semua orang yang tinggal di daerah sini pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Deretan toko kecil mulai dari mini market, penyedia peralatan listrik, toko buku, toko souvenir, dan pakaian juga menghiasi jalan dengan kaca-kaca besarnya. Belum lagi udaranya yang sempat membuat aku harus menderita flu dua atau tiga kali dalam sebulan. Aku mengingat tahun pertama yang kurang menyenangkan itu.

Lalu kini, aroma euforia memenuhi kantung udara dalam tubuhku. Sengatan semangat yang begitu terasa, menaikkan tekanan darahku dan membuat jantung ini terasa lebih cepat berdenyut, seakan-akan mendesak rusuk dan ingin melompat keluar. Kaki ini pun digerakkan oleh jiwa yang hadir begitu saja, bukan jiwaku yang seperti biasa. Jiwa seorang yang penuh harapan, sebuah kata benda yang jarang sekali aku masukan dalam kamus hari-hariku belakangan ini.

Sebentar lagi. Mungkin pada saat itu, jantung ini benar-benar copot dari kungkungannya. Mungkin pada sebentar lagi yang aku punya, kaki ini justru melemah, mendaratkan aku pada lantai kayu di balik pintu. Mungkin pada saat itu, aroma euforia meningkat menjadi sebuah istilah yang jauh melebihinya, yang tidak satu kata pun mampu menjelaskan. Lima belas menit lagi, bila aku terus melangkah dalam kecepatan seperti ini. Itu berarti, hanya sembilan ratus detik dari ribuan detik yang aku punya hari ini.

No comments: