Saturday, November 21, 2009

Aneka Obrolan Taxi

Bila kita berada di kota besar layaknya jakarta atau Anda adalah seorang yang sangat dan diwajibkan mobile ke mana-mana tanpa sebuah kendaraan, satu-satunya pengharapan adalah taxi. Taxi ini begitu saya sanjung ketika musim hujan seperti sekarang, karena tentu saja keberadaan taxi kosong sangat sulit didapat. Ketika capek meloncat dari satu meeting ke meeting lain, karena selama perjalanan menggunakan taxi kita bebas tidur. Atau saat sedang melayani banyak telepon dari para klien yang ribet dengan permintaan itu dan ini, taxi jugalah yang memberi tempat nyaman untuk komunikasi telepon seluler.

Dalam sebulan ini, tidak terhitung jumlah taxi yang sudah saya tumpangi. Mulai dari taxi dengan logo si burung biru, burung perak, atau burung-burung yang lain. DAri keragaman jenis taxi yang saya naiki, makin beragam pulalah cerita yang bisa saya dapat selama menikmati jadi penumpang. Berhubung termasuk orang yang tidak bisa diam, saya sering membuka pembicaraan dengan sang sopir. Ada-ada saja topiknya. Biasanya sih, kalimat pembukanya adalah, "kok jalanan macet terus ya pak?". Betul-betul pertanyaan yang sangat-amat-tidak-penting, karena basa-basi ini bukan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Semua orang juga tahu, Jakarta bukan sebuah kota yang jalannya ramah. Sama seperti saya nanya kepada rumput yang bergoyang, "kenapa langit warnanya biru ya?"

Tapi anehnya, pertanyaan saya itu bisa menimbulkan reaksi macam-macam. Keluhan saya ini padahal cuma sebuah pancingan supaya saya bisa ngobrol lebih lama dengan si pengemudi. Ada saja yang bilang, "Wah kalo gak macet, bukan Jakarta namanya Neng!" Ada juga yang menjawab, "Kalau tidak mau macet, lebih baik kita bikin jalan raya sendiri saja neng." Sampai ada juga yang bikin emosi jiwa, kalau pertanyaan saya malah dijawab dengan nada sengit, "Terus mau bagaimana lagi neng?"

Owalaaaah... Susah juga ya. Saya benci sekali kalau ditanya, "mau lewat mana". Jelas-jelas pada waktu ditanya, saya itu cuma diberi pertanyaan, tujuannya ke mana atau mau diantar ke mana. Begitu. kalau ada pertanyaan lanjutan begini, biasanya saya jawab saja, "sesuka bapak deh, ang penting gak macet". Tapi pernah juga, salah satu sopir taxi yang saya tumpangi malah balas menjawab, "kalau mau lewat jalan yang tidak macet neng, kita lewat jalan sabar saja". Si bapak menjawab itu tanpa ragu, bikin saya yang di belakang jadi mesem-mesem sendiri, tertohok dengan kata-katanya.

Lalu pernah juga, seorang sopir taxi tidak saya ladeni karena terlalu bawel. Di tengah perjalanan, dia malah menawarkan nomor simp**i cantik. Saya bilang saja, tidak punya hape pak, biasanya pake radio panggil. Eh, dia malah ketawa dan meneruskan jualannya dengan nomer seri provider CDMA. Begitu saya bilang, "saya itu udah cantik pak, jadi gak perlu nomer yang cantik lagi. Nanti takut kelewatan cantiknya", baru dia mingkem. Perlu dikasih pelajaran juga nih sopir, sampai saya mencatat nama dan nomer seri taxinya supaya nanti saya buat pengaduan.

Kemarin siang, waktu saya naik taxi sendiri dari arah bandara ke BEJ, saya juga ngobrol yang panjang dan lama dengan si sopir. Kita ketawa-ketawa dengan berbagai lelucon tentang bajaj dan kopaja sampai bergosip tentang menangnya si empunya taxi Gam*a terhadap tuntutannya ke Blu*Bi*d. Berlanjut ke kasus KPK vs Polri. Berlanjut lagi ke kasus pembunuhan di Tj.Duren. Berlanjut lagi ke curhat colongan si bapak yang keluar dari salah satu bank dan menjadi sopir taxi, gara2 perusahaan outsourcing. Di topik yang satu ini, saya cuma diam. Ketar-ketir juga. Jangan-jangan saya diturunkan di jalan, kalau saya sempat membela perusahaan2 outsourcing itu...hehehe...

Pernah, dalam perjalanan saya ke daerah kemang, saya ngobrol panjang lebar dalam taxi. Si bapak sopir menasehati saya dengan bijaknya. Kata dia, "Orang baik itu ada tiga macam. Yang pertama, memang dia berhati baik. Yang kedua karena dia ingin dianggap sebagai orang baik. Dan yang ketiga, hanya karena merasa kasihan." Saya cuma bisa mengangguk-angguk dan mengiyakan perkataannya ditambah dengan nasihat panjang lebar selama 15 menit berikutnya. Tapi saya senang, karena si Bapak memberikan saya banyak pelajaran juga. Makasih ya Paaaak...

Tapi ada satu pengalaman tak terlupakan dengan sebuah taxi. Saya lupa namanya pengemudinya. Yang pasti, pria, usia sekitar 40 tahun, tinggi tidak diketahui karena saya tidak pernah melihat si bapak dalam posisi berdiri, rambut hitam, muka seperti orang kebanyakan jadi susah dihapal. Begini ceritanya.

Malam itu, saya pulang dari kerja di daerah senayan menuju kost di daerah Benhil. Saya cuma sendirian. Di depan Mal tempat saya mengantri taxi, ada banyak orang yang juga ingin menggunakan jasanya. Saya mungkin salah satu dari 10 orang yang mengantri dan jumlahnya terus bertambah. Akhirnya saya dapat juga, dan menyandarkan pantat saya yang besar ini di jok belakang kursi penumpang.

"Malam bu," sapa si bapak.
"Malam Pak. Saya mau ke Benhil ya Pak," saya menjawab tak kalah sopan.
"Baik bu"

Tak lama kemudian, seperti biasa saya jugalah yang tak tahan berlama-lama dalam kebisuan. "Habis mengantar saya kke Benhil, bisa pulang lagi dong pak ke senayan? Tadi banyak banget yang ngantri mau naik taxi. Dari Benhil kan deket ya pak? Bisa dapet satu orang lagi tuh." Dengan semangat berapi-api saya mengajukan usul yang sebenernya kurang penting.

"Oh, nggak neng. Saya mah mau pulang sehabis mengantar Neng ke Benhil."
"Lho, kan masih pagi pak? Baru jam 11 kurang," kata saya lagi.
"Saya mau pulang saja neng, kebetulan sudah dapat setorannya," katanya pelan.
"Wah, baguslah kalau begitu pak. Pasti rame ya hari ini?" saya menyahut dengan senyum centil.
"Ya, syukur alhamdulillah neng. Cukup."

Si Bapak mengingatkan saya untuk bersyukur pada malam itu. Saya kadang terlalu mengejar ini dan itu, sampai lupa untuk merasakan nikmat dan kecukupan yang diberi oleh Tuhan begitu luar biasa. tapi itu belum selesai. pada saat sampai di depan pintu kost, argo menunjukkan angka 16.500 rupiah. Saya cuma punya uang 50rban. Akhirnya saya mintalah kembalian 30rb. Tapi si bapak malah mengeluarkan uang 35rb dan menyodorkan kepada saya. Karena ingat mau membeli gorengan untuk sarapan besok pagi, maka saya cuma mau mengambil 30rb saja dan menanyakan apakah si bapak punya uang seribu rupiah selembar. Kan lumayan, kalau ada. Ternyata si bapak menolak, dan memaksa saya untuk menerima kembalian yang dia siapkan. katanya, "Neng, ini uangnya neng. Kalau saya cuma kembaliin 30rb, terlalu banyak. Saya gak mau neng. Ini saja kembaliannya, pas kok."

Yang terjadi selama dua menit berikutnya adalah adegan sodor-menyodorkan uang 35ribu itu. Pada akhirnya saya lah yang mengalah karena si bapak terlihat kekeuh sekali dengan kata-katanya malam itu. Saya cuma bisa menyampaikan salam perpisahan, "terima kasih banyak, Pak. Mudah-mudahan selamat sampai rumah ya, Pak." dan kalimat saya itu dibalas dengan senyum berikut ucapan terima kasih yang terlihat tulus sekali.

Dari semua tipe pekerjaan yang saya kenal dekat saat ini, mulai dari creative agency sampai sopir taxi, saya melihat bahwa orang-orang sabar itu kebanyakan yang berprofesi sebagai sopir taxi, apalagi yang ada di Jakarta. Sudah setiap hari harus menghadapi macetnya ibu kota, sampai meladeni penumpang yang cerewet seperti saya. Bagi para sopir taxi, maafkanlah kesalahan-kesalahan saya. Mudah-mudahan saya terus berjodoh dengan taxi-taxi yang baik hati. Amin.

3 comments:

vista situmeang said...

hmmm kita mesti belajar niyy dari bpk sopir taxi nan bijaksana ini ting.. hohohoo

edri said...

amin di doain punya jodoh supir taxi.. ups.. hhihihi

lidya Agusfri said...

Sopr taxi juga manusia. Siapa tahu memang berjodoh dg manusia yg tak punya otak macam saya... hahahaha....