Tuesday, January 13, 2009

aku, kau, dan hujan

Hari ini hujan sudah mengguyur kota bahkan sebelum mentari menerbitkan sinar ke atas kepala. Pagi-pagi benar aku melangkah, menguatkan diri, terlebih lagi hati. Aku duduk dalam bus yang akan membawaku ke sebuah benua tinta dan lautan ilmunya.
Aku disadarkan oleh hujan pagi ini. Air yang tumpah ruah bergerak menyusuri taman monumen kota. Titik-titiknya meluruhkan debu yang menempel pada daun dan tiang-tiang penerangan. Syukur kepada Allah, sebuah pujian sederhana, menghadirkan keeksisan diri akan Tuhanku. Aku hanya mampu berbisik dalam senyum getir yang terbingkai sederhana.
Awan mendung masih menggelayut. Mataku menerawang jauh ke atas langit. Ada bias berwarna merah di balik sejumput kapas di sana. Aku teringat pada raut wajahmu. Raut wajah yang menerbangkan aku ke lain dunia. Dunia berpintu hati dan bernama cinta.
Dalam hitungan hari kau telah pergi. Melangkah ke belahan bumi yang berbeda. Aku begitu merindukanmu. Menghadirkan perih dalam kalbu dan sedikit-sedikit menyentakku terlempar dari kenyataan. Setiap tetes hujan menyiratkan kebutuhanku padamu, seperti bumi yang dahaga akan curahan tangisan langit. Sejuknya udara mengingatkanku pada suaramu saat bersenandung. Bahkan hembusan angin di atas balkon akan menyapaku persis seperti gayamu, lincah dan memberikan kesegaran pada jiwa.
Perjalananku kali ini menyisakan kepedihan. Karena kesendirian tetap pada tempatnya, enggan beranjak dari sudut hati. Aku terus menatap gedung-gedung yang seolah berlari ke belakang. Gedung-gedung dengan kemiringan yang sama, membayang pada kaca-kaca besar jendela bus yang sepi penumpang. Kau sudah memutuskan untuk pergi, membiarkan aku terpaku. Aku tertinggal jauh darimu.
Seketika aroma itu menyergapku. Melayangkan angan kembali pada dirimu. Sawah di pinggiran jalan bebas hambatan mengabur dalam pandangan, tergantikan oleh suasana bau tubuhmu. Indera penglihatanku mati. Lidahku hilang rasa. Kini hanya sensasi aroma yang hadir menepi dalam diri. Bau itu selalu menjadi bahan celaan untukmu dulu. Tapi cintaku juga dibuahi ketika aku memelukmu, menyesakkan keharumanmu dalam paru-paru. Aku lalu menghidup udara sebanyaknya, berusaha melepaskan getir ingatan. Aroma itu kadang-kadang masih datang, hingga aku benar-benar mati raga, bukan hanya rasa dan irama.
Perjalanan ini terasa semakin lama. Semakin mengharukan karena bulir-bulir kenangan. Aku rindu pada segalanya tentangmu. Bagaimana kita saling mengucap salam ketika bertemu, diiringi kecupan ringan pada punggung tanganmu.
Ternyata masih jauh kata henti, aku tetap terbenam memupuk mimpi. Kucoba bersandar dan memalingkan pandangan dari kerapuhan bumi di luar sana. Aku lalu menutup mata, menarik nafas sebisanya. Lalu kau kembali hadir mengikuti udara yang deras mengalir.
Aku ingat pertemuan kita yang luar biasa. Sebenarnya hanya sebuah pertemuan sederhana. Namun begitu mudah aku menjadi sayang padamu. Cukup dua jam perkenalan kita mampu membuatku jatuh cinta. Kita melekat dalam diam di balik basa-basi dan kebisingan manusia sekitar kita. Kau dan aku tidak banyak berkata-kata, hanya saling menyapa lewat hati kita. Ketika aku tertawa, kau menyelipkan senyum tipis dari sudut hatimu, mengirimkan aku kedamaian. Sebuah kedamaian.
Aaah… Akhir-akhir ini hujan sering turun tanpa mengenal kondisi. Dinginnya udara selalu membuat aku tersesat dalam rindu. Malam terangkai tanpa kau, membekukan kaki sekaligus jiwaku. Tak terkecuali hari ini. Kemudian, semenit lalu aku mengaku kalah pada rintik air yang diluapkan oleh angkasa. Aku mulai bersahabat dengan hujan. Karena hujan hari ini adalah hujan yang sama yang kita lalui selama setahun kemarin. Seringkali hujan mengiringi momen-monen kita.
Aku teringat dengan kenyataan. Bus berguncang keras melewati satu undakan terakhir sebelum tujuan. Mungkin hanya tinggal beberapa menit lagi aku terluka, merasakan hatiku menganga karena kesendirian. Aku menatap penumpang lain yang tertidur persis di bangku sebelah. Dia juga duduk sendiri, tapi ada sedikit perbedaan kami. Dia tidur tanpa emosi, meletakkan penatnya beberapa saat. Sedangkan aku berhari-hari tidak pernah tertidur, dicemaskan oleh berbagai emosi. Aku tidak menemukan cara untuk meletakkan kesakitanku.
Tanpa aku sadari, aku menatapnya begitu lama. Mungkin sedikit terpukau dengan keringanan hatinya. Lalu bus ini pun berhenti tepat ketika dia mulai menegakkan kepala dan sedikit kebingungan mencari tahu keberadaan dirinya. Ternyata dia begitu lelap tadi. Aku iri.
Aku mulai menyusuri jalan yang banyak tergenangi. Hujan masih malu-malu untuk berhenti. Beberapa orang mulai berlari melewatiku, enggan kebasahan. Justru aku yang melangkah pelan. Aku ingin merasakan sentuhan hujan, mencari persamaan dengan sentuhan tanganmu yang pernah menghujaniku. Jawabannya adalah, keduanya serupa. Menyentuh cepat tetapi menyusup pelan ke balik lapisan kulit. Tak butuh waktu lama untuk menjadi kuyup. Aku sadar selama ini aku pun kuyup oleh cintamu, perlu waktu untuk mengeringkannya. Untuk melepaskan sepenuhnya rasa dingin saat air atau sentuhanmu meninggalkanku. Keduanya menyisakan sensasi dingin luar biasa.
Malas. Ingin diam. Aku perlu detik-detik yang kukumpulkan dengan sulitnya untuk hanya berhenti. Pikiranku selalu sulit terkendali. Lagi-lagi kaulah yang harus bertanggung jawab telah mengacaukan kewarasanku, meninggalkan aku pada jurang kegilaan. Semua karena sebuah ikatan, sebuah jarak yang luas membentang, juga karena ketidakpercayaan. Kau tidak pernah mengerti arti dari hujan hari ini, begitu pula hujan-hujan sebelumnya.
Hujan adalah kerinduan. Suasana yang tepat untuk membingkai angan. Suasana yang tepat ketika sudah lama aku tidak berbicara pada Tuhan. Hujan adalah kesadaran. Momen yang membawa aku pada keutuhan jiwaku. Momen untuk aku mengerti kerapuhan diri dan hatiku.
Hujan kali ini merengkuh segenap perasaanku, baik kebahagiaan yang hanya sedikit tersisa, sampai ketakutanku dan keresahanku untuk bisa membawamu kembali pulang. Hujan ini membuyarkan harapan, seperti saat jutaan air membuncah ketika menyentuh bumi. Hujan ini adalah diriku. Diriku yang berteman dengan kesendirianku. Aku yang berlarian jatuh, menghantam tanah, menjadi genangan tanpa makna.

2 comments:

4EVER InCraBb said...

Hujan itu tidak membuyarkan harapan say..., tetapi memupuk harapan bahwa setelah hujan pasti ada pelangi...

Hujan juga bukan dirimu yg menjadi genangan tanpa arti...tetapi hujan adalah temanmu yg ada ketika kau butuhkan ditengah-tengah panasnya bumi tempat dirimu berpijak...

Percayalah my dearest sist...semua akan baik-baik saja...cinta itu akan datang kembali dengan wujud laki-laki lain dan harapan baru...dan cinta tidak pernah berubah, manusialah yang berubah...

Berbuatlah sebanyak mungkin kebaikan untuk menutupi rasa sakit di hatimu.... Okey??

If u need me, i'll always be there for you :)

Anonymous said...

hi, numpang komentar ya. semoga diterima dengan ikhlas. hehe..

memory adalah kenangan, dan masa lalu tidak bisa kembali.
memory manis untuk dikenang, yg jelek untuk dilupakan.

waktu adalah sebuah garis lurus, terus maju ke depan. kalau aku terlalu sering menoleh ke belakang, aku akan kurang persiapan untuk yg didepan.

waktu adalah sebuah lingkaran,
aku tau, musim semi akan kembali lagi. saat bunga2 bermekaran.

waktu itu tidak beraturan, kadang cepat, kadang lambat. seperti saat dia mengucapkan kata perpisahan itu, derita ini begitu lama.

waktu itu adalah sesuatu yg pasti, setiap detik adalah sebuah rentang waktu yg sama. dan saya tahu pasti, saya akan telah tidak bersedih, di kemudian hari.

waktu itu tidak ada pangkal dan tidak ada ujung, saya juga tidak mau mengekang diri, saya ingin merasakan seribu indah dan perih hidup di dunia ini!