Sunday, January 11, 2009

ketika dia bicara

aku mulai menangis,,, karena pedih membayangkan suaranya, bukan karena apa yang sudah dia bicarakan. Ketika dia bicara, aku mulai menangis,,,meratapi perjuangan yang mengiringi langkah kami, karena perjuangan itu dengan kencang mendera sampai kami berhenti.

Aku, di sebuah sisi jurang jiwa. Antara kewarasan dengan kegilaan, mengharap sosok dia datang. Aku cuma ingin berada dekat dengannya, tanpa banyak kata. Kami pernah, duduk diam bersampingan, mendengarkan hati kami dekat terbagi. Aku merindukan masa-masa itu. Ketika kami saling memeluk, tanpa angkuh dan ego, tanpa canggung dan ragu. Kami menjadi satu, tak terbantahkan.

Ketika dunia berbisik, aku kehilangan arah. Dia lenyap, mencari perlindungan pada dunia lain. Dia berharap masa depan datang dengan menyajikan sebuah kata 'kesuksesan'. Aku iri pada dia yang tegar melangkah, tidak menghiraukan kesakitan dan kepedihan, karena sebuah perpisahan. Aku iri pada mereka yang selalu tersenyum dalam doa, bukan seperti rapuh jiwaku yang selalu menangis mengharapkan dia kembali. Aku ingin menjadi nyata saat ini, benar-benar tertawa atau menangis, menanggalkan kepura-puraan diri.

Aku hanya ingin sebuah senyum terbingkai dari wajahnya. Tersaji dalam bentuk yang sulit dilukiskan, yang jarang terbayangkan begitu saja. Aku ingin memeluk raganya, bukan cuma jiwanya. Menghamburkan sejuta sentuhan yang menyiratkan kecintaan, yang dulu seringkali aku lakukan.

Dia sudah jauh dibungkus dalam angan. Sulit kugapai karena jarak, karena komitmen, juga karena keputus-asaan. Aku diam dan dia juga diam. Kami berhenti pada masa ini. Lelah beragumentasi.

Ketika dia berhenti bicara aku mulai tertawa,,,membayangkan kebodohan diri kami. Lalu kami berjalan lagi, menyusuri hidup masing-masing. Tanpa bisa benar-benar berhenti, menyesakkan berbagai memori baru terjalin dalam sebuah hari. Kami bertualang dalam kehidupan. Meletakkan harapan pada Sang Khalik, terus membangun diri.

No comments: