Monday, August 10, 2009

Menghargai apa yang patut dihargai


Beberapa waktu yang lalu saya sempat melihat uang di jalan yang tergeletak begitu saja. Memang jumlahnya hanya seribu rupiah, tapi ternyata selama beberapa langkah ke depan, tidak ada yang mau memungut (mengambil, red) selembar kertas berwarna biru tersebut. Lalu di benak saya, menari-narilah bayangan dua batang wafer coklat (merk tidak dapat disebutkan) yang harga satuannya hanya 'gopek'.

Lantas apa yang terjadi ketika seorang tua renta, nenek yang menggendong bungkusan di punggungnya melewati jalan itu? Si nenek lalu tersenyum dengan sangat bahagia. Dia tidak menggunakan sandalnya, yang hanya di'tenteng' dengan tangan kanannya. Entah untuk alasan apa. Mungkin karena tidak mau sepasang sandal yang ia miliki menjadi cepat rusak, maka dia rela berpanas-panas kaki di sepanjang jalan Jatinangor. Si nenek dengan cepat, tanpa menurunkan bungkusan yang digendongnya, lalu mengambil dan menyimpan selembar uang seribuan tersebut.

Hati saya meringis. Ada sekilas berita numpang lewat di otak saya, berita tentang kemiskinan yang sudah bertahun-tahun melanda negara ini, berita tentang rakyat yang masih banyak hidup di bawah taraf hidup yang layak, berita tentang pengemis dan gelandangan yang kemudian ditangkapi lalu dibawa pergi jauh-jauh dari kota supaya tidak merusak keindahan kota besar, macam Jakarta.

Apa yang bisa saya lakukan kemudian? Tidaklah mungkin rasanya jika saya lalu membiayai hidup ratusan ribu jiwa yang menderita kelaparan atau mereka mahluk-mahluk kecil, generasi penerus bangsa yang tidak berdosa itu saya sekolahkan. Sempat ingin rasanya saya lalu berteriak pada dunia, "berilah kami hidup yang nyaman, masing-masing jiwa yang bersemayam di dunia ini". Tapi dunia pun tidak sanggup menjawab pertanyaan saya. Saya yakin, dunia hanya bisa diam.

Rasa malu beranjak memasuki hati nurani. Terlalu licik bila saya hanya menginginkan dua batang wafer coklat, sementara si nenek renta pengemis itu mungkin bisa makan satu kali, membeli beras untuk keluarganya. Menunduklah saya, terdiam dalam sebaris doa yang saya sampaikan pada Ilahi. Mudah-mudahan doa saya didengar dan kemudian Tuhan Yang Maha Agung mau mengabulkan.

Malam ini juga, saya merasa disentil oleh kejadian yang serupa. Pernahkah Anda merasakan jerih payah Anda ternyata tidak dihargai dengan sepatutnya? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk tujuan yang penting bagi jiwa Anda, namun orang lain hanya mencibir akibat setitik kesalahan yang sulit dihindari? Daripada berpusing-pusing ria, mungkin lebih baik Anda mendengarkan dulu cerita saya dari awalnya.

Pagi ini, saya bangun dalam keadaan rumah kontrakan yang sepi, tanpa satu orang pun. Saya pergi mandi, lalu memasak Indomie untuk menu makan siang saya. Dengan tujuan yang baik, saya ingin belanja kebutuhan supaya saya bisa memasak makan malam untuk rekan-rekan satu kontrakan yang sedang sibuk menjaring mahasiswa baru. Bodohnya saya, saya tidak melihat bahwa anak kunci pintu depan (yang saat itu sedang terkunci), ternyata tergeletak begitu saja di atas meja. Inisiatif tinggi, saya keluar membawa dompet (saja) dan Hp gsm, keluar lewat pintu dapur, mengunci pintunya, lalu pergi ke warung sebelah. Ternyata eh ternyata di sana tidak ada sayur yang menarik untuk dibeli. Pulanglah saya. Sekali lagi, dari pintu dapur. Ternyata eh ternyata (lagi), si kunci tidak bisa dibuka. Siang hari ini sangat terik. Dalam kebingungan, saya lalu pergi saja ke supermarket untuk belanja di sana daripada menunggu yang lain pulang di halaman yang super panas.

Di tengah jalan, saya teringat pada mama yang sekarang sedang dalam pengobatan untuk penyakit batu ginjalnya. Saya kangen sekali. rindu rasanya mendengar suara mama. Ada pula keinginan saya untuk pulang ke rumah, merasakan lagi nikmatnya dilayani di rumah sendiri, menyantap masakan mama yang lezat luar biasa. Lalu saya menelepon mama dan berbincang-bincang sebentar, menanyakan kabar. Hampir menangis, saya menanyakan mama cara memasak sop jagung kesukaan saya. Beliau menjelaskan satu persatu bahan yang harus dibeli plus cara mengolahnya. Sambil mendengarkan suara mama yang terdengar lemah, saya mengambil satu demi satu bahan dari beberapa keranjang yang disediakan di supermarket. Rasanya ingin saya peluk mama saat itu.

Alhasil, saya mendapatkan beberapa bahan, kecuali satu. Telur puyuh! Cerita punya cerita...saya ikut bertemu teman-teman untuk makan siang dulu di dekat gerbang. Lalu barulah saya melanjutkan mencari telur-telur puyuh keramat itu demi menyempurnakan masakan saya. Saya pergi ke supermarket lain membeli telur, plus parutan, en saringan keran (karena ingat air di kontrakan sangat keruh kalau tidak disaring).

Pulang dan sampai ke rumah, saya mulai meracik bahan dan mempersiapkan segala sesuatu. Mencuci, memotong, merebus, mengupas, dan memarut (jagung sebagian diparut, sebagian lagi dipereteli). Di potongan jagung terakhir yang hendak saya parut, si jagung terselip dari tangan. Pada akhirnya jari tengah ini 'terparut' dengan suksesnya. Tapi dengan tegar dan pantang menyerah (lebay mode: ON), saya tetap melanjutkan pekerjaan penting ini. Demi membuat sop jagung kesukaan saya, resep langsung dari mama, karena kerinduan hati saya dan sop ini nanti akan kupersembahkan bagi beliau yang jauh di sana.

Brak..bruk..brak..bruk..setelah dibantu tiga rekan lainnya yang baru bangun tidur, dalam waktu dua jam selesainya semua masakan kami. Nasi putih, dengan telor dadar, plus tempe oseng sambel, dan SOP JAGUNG dambaan saya. Puas rasanya melihat kerja keras ini akhirnya berhasil juga. Makan malam pun siap..ap..ap...

Acara makan bersama dimulai setelah sebagian besar penghuni dan simpatisan sudah datang mengerubungi meja ruang tamu. Saya mengambil semangkuk sop jagung, terpisah dari nasi dan lauk piring saya. Doa saya panjatkan, berterima kasih atas anugerah Allah dan mengirimkan doa bagi mama. Tak disangka tak dinyana, ternyata si sop jagung yang menurut saya super enak, ternyata dianggap aneh oleh beberapa orang (entah berapa banyak yang berpikir demikian). Tanpa ba bi bu, si orang yang dimaksud kemudian mengatakan bahwa daging sapi yang ada di dalamnya terasa aneh. Bahkan seperti belum puas, beliau ini lalu mengambil satu potong, diberikan di piring tetangga, lalu mengatakan dalam bahasa yang tidak saya mengerti (saya tidak menguasai Hokkien) beberapa kalimat sambil saling melemparkan si onggokan daging ke piring satu sama lain. Bagaikan tersambar petir, dada saya nyeri. Tak lama, mata saya yang ikut panas. Tidak bisa ditahan, tetesan air mengerubungi mata berdesakan ingin keluar. Saya pergi ke dapur belakang, menangis sejadi-jadinya tanpa suara sambil memakan semangkuk penuh sop jagung yang tadi sudah saya siapkan untuk saya sendiri sambil dihibur oleh penghiburan tanpa kata oleh salah satu sahabat baik saya.

Kejadian itu membuat saya terkejut sekaligus sedih. Saya kecewa dengan tanggapan yang menurut saya, kurang sopan, mengingat beliau itu tidak membantu proses masak-memasak. Begitu tega beliau men-judge hasil keringat saya selama 2 jam dengan melakukan hal-hal yang tidak terpuji demikian.

Apa yang seharusnya kita hargai, karena di balik sesuatu yang kita lakukan terdapat runtutan proses yang akhirnya mencapai suatu hasil. Apa yang seharusnya kita hargai, karena sesuatu bermakna lebih bagi orang lain daripada sekedar apa yang kita pikirkan. Apa yang seharusnya kita hargai, karena di balik sesuatu itu tersimpan doa, harapan, keinginan, kerinduan, ucapan syukur, dan suka cita.

Ternyata apa yang kita lihat, belum tentu seperti yang terlihat pada dasarnya. Permukaan kasar dari sebatang bambu, akan bermanfaat bila dijadikan tiang jemuran. Warna hitam kue lapis, ternyata sungguh nikmat dimakan dan memiliki lapisan berwarna di dalamnya. Hujan yang mengguyur bumi, ternyata sangat diharapkan oleh petani dan menghasilkan campuran warna bernama pelangi yang menghias langit.

Banyak hal yang seharusnya kita hargai, apapun yang patut kita hargai. Pada dasarnya setiap tingkah laku, setiap tetes embun, setiap bunyi angin berhembus, setiap sinar mentari, setiap kedipan bintang, merupakan kuasa Tuhan. Dia lah yang memiliki akses pada segala sesuatu, dan kita wajib bersyukur terhadap semua itu. Maka saya ingin sekali mengajak kita semua, termasuk saya, untuk belajar menghargai segala sesuatu yang sebenarnya patut dihargai.

Hargailah itu, apa yang ada di depan matamu.

No comments: